22. Marahnya Orang Sabar

Começar do início
                                    

"Assalamualaikum Ma, Raka beli cream cheese dua kilo sama whipcream cair dua liter ya. Merk apa aja yang stoknya masih banyak. Bi Odah mau belajar bikin cheese cake, semalam abis video call sama Mbak Lily," ucapan Raka membuyarkan lamunan Mama Uwi.

Setelah setengah hari jaga toko, akhirnya ada pengunjung datang. Dada Mama disesaki perasaan haru. Raka bukan hanya sekedar pacar Uwi. Raka selalu menolong keluarganya. "Mas, Mama nggak tau harus membalas kebaikan Mas Raka dengan apa. Terima kasih banyak ya Mas."

Mata Mama berkaca. Akhir-akhir ini Mama kesulitan menjadi wanita tegar. Apalagi pagi ini beliau disuguhi oleh tayangan televisi mengenai anak sulungnya.

"Ma, Raka beli karena memang butuh. Lagipula Mama udah Raka anggap sebagai orangtua Raka sendiri." Raka meyakinkan Mama. Raka nggak ingin Mama menganggap bahwa Raka membeli karena rasa kasihan.

"Sini kamu masuk dulu, Mas." Bukannya mengambil barang pesanan Raka, Mama malah mengajak masuk.

"Hmm...Sebetulnya Raka cuma mau mampir sebentar. Ini ada mie ayam untuk Mama. Udah makan siang belum Ma?" Raka menaruh sebungkus mie ayam di atas etalase.

Mama sumringah. "Kebetulan belum. Makasih ya Mas Raka. Mie ayamnya Mama makan, tapi harus bagi dua sama kamu ya. Ayo duduk dulu, temani Mama makan."

Setelah memastikan Raka duduk, Mama berjalan ke belakang, mengambil dua mangkuk plastik dan sendok garpu.

"Ma, kalau dibagi dua nanti Mama nggak kenyang." Raka menolak halus.

"Kan memang harus berhenti makan sebelum kenyang, Mas. Ini, dimakan ya Mas. Mama yakin Mas Raka juga belum makan siang." Mama membagi seporsi mie ayam ke dalam dua mangkuk. Di antara dinding lembab dan etalase kaca, Raka bersempitan duduk lesehan dengan Mama Uwi.

Keduanya makan mie ayam dengan perasaan yang hangat. Raka menghabiskannya dengan cepat. Terdiam sejenak, dia memutuskan untuk bertanya pada Mama. "Ma, tadi Uwi berangkat ke kantor naik apa?" Raka resah, Uwi nggak membalas chatnya sejak pagi.

"Dia bawa motor sendiri, Mas. Kalian lagi berantem?"

Raka menggelengkan kepala. "Engga kok, Ma. Cuma salah paham."

Mama menyodorkan segelas air putih ke hadapan Raka. Tersenyum tipis, Mama menyemangati, "Yang sabar ya, Mas. Sebetulnya nggak sulit menghadapi Uwi. Tapi kalau lagi banyak pikiran, dia lebih sensitif."

Wajah Mama berubah murung. Teringat masalah yang menimpa anaknya.

"Ma, mengenai gosip yang beredar, Raka minta maaf. Semua ini salah Raka." Sebetulnya Raka nggak ingin membahasnya sekarang. Dia ingin membereskannya terlebih dahulu. Tapi melihat wajah murung Mama, Raka merasa bertanggungjawab.

"Memangnya Mas Raka yang menyebarkan gosipnya?" tanya Mama.

"Bukan, Ma." Raka menggelengkan kepala.

"Apa kamu termasuk salah satu netizen yang menghina Ruisha?"

"Bukan, Ma."

"Berarti kamu nggak salah apa-apa." Mama menepuk pelan bahu Raka.

Raka menampik, "Tapi Raka salah satu penyebab si pelaku menyebarkan gosip itu."

"Tetap aja, kendali berada di tangan pelaku, Mas. Seluruh netizen pun punya kendali atas jari mereka. Mereka yang menyakiti hati Uwi dan keluarga kami, bukan Mas Raka."

"Maaf Ma. Kehadiran Raka menambah beban hidup Uwi dan keluarga Mama." Sungguh, Raka merasa bersalah. Tapi meninggalkan Uwi bukanlah suatu pilihan.

Mata Mama berkaca. Raka melihat kesedihan di sana. "Mas Raka, kamu itu sudah banyak sekali membantu keluarga kami. Nggak terhitung beban yang sudah kamu angkat. Jutaan terima kasih nggak pernah cukup untuk Mama ucap. Terima kasih ya, Mas."

Memetik Bulan [Completed]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora