20. Gangguan Kecil

Start from the beginning
                                    

Uwi mengerutkan dahi semakin dalam. "Lo maunya?"

"Jangan. Jangan pergi. Jangan kemana-mana." Raka meremas tangan Uwi.

"Yaudah. Gue nggak kemana-mana. Raka, gue sama Aga tuh udah selesai jauh di belakang. Putusnya memang gara-gara beda agama. Tapi banyak faktor lain yang ngebuat gue ilfeel sama dia. Kalo dia mau pindah agama, yaudah itu urusan dia. Gue harap ya karena maunya dia, bukan gara-gara orang lain."

Raka mendengar penuturan Uwi secara seksama. Menggangguk-anggukkan kepala, sambil menggenggam tangan Uwi kian erat. Layaknya anak kecil yang takut ditinggal Ibunya pergi ke pasar. Lagi, Raka menunjukkan raut wajah menyedihkan. Raka memang takut kehilangan Uwi.

Membuat hati Uwi trenyuh. Membelokkan kepala ke arah tv, pandangan Uwi menerawang. Sebulan belakangan dia mencoba berpikir. Mempertimbangkan ajakan menikah Raka. Tapi logikanya selalu mencegah untuk menerima.

Uwi memang butuh uang Raka. Toh tanpa mereka menikah, Uwi masih bisa mendapatkannya.

Memandang Raka kembali, Uwi menumpahkan isi pikiran yang memenuhi kepalanya satu bulan belakangan. "Raka, tanggungan gue tuh makin banyak. Omset yang makin kecil ngebuat Mama nggak mempekerjakan karyawan lagi. Gue harus bantu Mama jaga toko. Di rumah gue punya tanggung jawab ngurusin adek-adek gue, ngurus rumah. Anter Papa terapi, bantu urus Papa, meski ada Mas Anto sama Bi Siti."

Uwi sulit menelan ludah. Napasnya terasa sesak, ada bongkahan batu di dalam dadanya. Mengambil napas berat, mata Uwi memanas. "Menikah tuh...bukan prioritas gue saat ini."

"Gue belum siap bukan gara-gara Aga." Uwi menekankan kembali.

Raka dihantam rasa bersalah karena salah prasangka. Hatinya mencelos mendengar penuturan jujur dari Uwi. Tanpa Uwi ungkap, Raka tahu betapa lelahnya fisik dan batin Uwi hampir sebulan belakangan. Raka nggak menyangka, itu menjadi penyebab Uwi ragu menerima ajakan menikah.

Karena beban Uwi, kesulitan-kesulitan Uwi, tanggung jawab yang dia emban, Raka ingin meringankannya.

Raka membawa Uwi ke dalam pelukan, mengusap-usap punggungnya. "Maaf, Wi. Gue nggak mau ngedesek lo. Tapi gue bisa bantu menanggung kesulitan-kesulitan lo."

Uwi menggelengkan kepala. "It's not about money, Ka. Oke, gue emang butuh duit. Jujur aja gue butuh duit elo, Ka. Tapi menikah bukan hanya sekedar gue dijatahin duit sama lo, atau lo nafkahin keluarga gue. Tanggung jawab gue bakal bertambah, bukan hanya sebagai anak dan kakak sulung, tapi juga sebagai istri. Atau mungkin...sebagai seorang ibu? Gue belum siap saat ini, sorry."

Beban muatan kepala Uwi sudah penuh, dia belum sanggup kalau harus ditambah lagi.

"Nggak apa, Ruisha. Gue senang lo berbagi isi kepala lo ini sama gue. Membuat gue nggak menerka-nerka lagi. Gue ngerti, sugar, gue ngerti. Lo harus ingat, gue selalu ada, Wi. Gue siap kapanpun lo butuh bantuan." Raka mengusap punggung Uwi naik turun. Memancing tangisan Uwi lebih deras.

Tepat saat tangisan Uwi mereda, bel rumah Raka berbunyi.

===
===

"Bisa nggak sih gerakan lo lebih cepet lagi?" Gairah Maura segera surut kala tubuhnya dimasuki oleh Bagas. Senjata milik Bagas terasa kecil, keluar masuk dengan kaku dan amat lambat.

Bagas berusaha meningkatkan kecepatannya. Oke, lumayan. Maura mulai menikmati. Baru saja bibir Maura meloloskan rintihan, gerakan Bagas malah terhenti diiringi pecahnya desahan. Lelaki itu sudah mencapai puncak kenikmatan.

"Ah, shit. Udah keluar?" teriak Maura.

"Sorry, Mo. Gue nggak tahan," ungkap Bagas tanpa betul-betul merasa bersalah.

Memetik Bulan [Completed]Where stories live. Discover now