5. Tinggal Bersama

477 106 7
                                    

Yang mau beli pdf semua ceritaku bisa chat langsung ke no 081917797353.

Jangan lupa tinggalkan jejak and happy reading




💗💗






Pernahkah Qinara mengatakan kalau ternyata Arkaan masih sangat mempengaruhinya? Pernahkah Qinara mengatakan kalau ternyata pelariannya selama ini tidak menghasIlkan apa pun? Pernahkah ia mengatakan kalau ia sangat merindukan Arkaan? Pernahkah ia mengatakan kalau ternyata ia masih sangat mencintai pria itu? Pernahkan ia mengatakan jika semua hal tentang Arkaan masih sangat mempengaruhinya?

Jika pernah anggap saja apa yang ia katakan tadi hanya angin lalu, tapi jika belum maka ia akan mengatakannya sekarang. Arkaan masih sangat mempengaruhinya. Pelariannya tidak menghasilkan apa pun. Ia masih sangat merindukan Arkaan dan ternyata ia masih sangat mencintai Arkaan. Jantungnya masih berdetak kencang setiap kali berada di dekat Arkaan. Hatinya masih terus meneriakkan nama Arkaan. Tubuhnya masih sangat mendamba sentuhan pria itu. Aroma tubuh Arkaan masih mampu membuatnya terbuai. Suara serak Arkan masih sangat disukainya. Tatapan Arkaan, masih sangat mempengaruhinya. Tatapan itu selalu berhasil membuatnya tidak berkutik seperti yang saat ini Arkaan lakukan.

Ketika manik abu Arkaan menatapnya lekat, Qinara tahu kalau ia tidak bisa membohongi diri sendiri lagi. Ia telah kalah. Kepergiannya untuk melupakan Arkaan sama sekali tidak menghasilkan apa pun. Arkaan masih sepenuhnya menggenggam hatinya. Pria itu masih memegang kendali tertinggi dalam dirinya.

Qinara menghela nafas. Ia mengalihkan tatapan kearah lain. Enggan berlama-lama terjebak dalam manik abu Arkaan yang selalu disukainya.

"Aku mau ke rumah sakit sekarang," kata Qinara pelan. Ia lelah. Berdebat dengan Arkaan menghabiskan begitu banyak tenaga. Apalagi ketika hatinya tidak henti ingin berada di dekat pria itu membuat Qinara semakin lelah.

"Ikut aku," Arkaan berbalik. Melangkah lebih dulu menuju mobilnya sementara Qinara mengikuti dari belakang tanpa mengatakan apa pun.

Sepanjang perjalanan tidak ada yang bicara. Qinara memilih menatap jendela, menghindari kontak dengan Arkaan, sementara Arkaan berkonsentrasi pada jalanan di depannya.

Begitu sampai di rumah sakit, Qinara langsung turun, berjalan cepat. Menjauh secepat mungkin dari Arkaan. Ia butuh udara segar yang bisa membuat otaknya bisa berpikir dengan jernih.

Saat membuka pintu kamar perawatan sang Papa, Qinara tertegun mendengar pembicaraan Papanya dengan Daddy dan Mommy-nya.

"Apa maksudnya semua ini? Singapura? Papa mau kesana?" Qinara menghambur masuk sambil melontarkan pertanyaan. Ia menatap Papanya yang langsung mengalihkan tatapan ke arah lain. "Papa bilang keadaan Papa sudah membaik, tapi apa ini? Kenapa Papa harus ke Singapura? Apa yang Papa sembunyikan dariku? Katakan yang sebenarnya, Papa."

Rudi hanya diam. Ia memilih mengalihkan pandangan kearah lain. Menghindari kontak mata dengan Qinara yang menuntut penjelasan.

"Pa," Qinara meraih tangan Rudi. "Jangan rahasiakan apa pun dariku. Katakan apa yang sebenarnya terjadi."

"Qinara harus tahu, Rud. Kau tidak mungkin pergi tanpa memberitahu apa-apa padanya," tegur Pras.

Qinara menatap Pras. "Ada apa ini Daddy, apa yang tidak aku ketahui?"

"Kalau kau tidak ingin mengatakannya, aku yang akan bicara," Pras menunggu sebentar tapi saat Rudi hanya diam saja, ia kembali bicara. "Daddy berniat membawa Papamu ke Singapura untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut. Bukan berarti Negara kita tidak memiliki fasilitas kesehatan yang bagus, hanya saja di Singapura, Papamu bisa mendapatkan perawatan yang lebih bagus. Disana ada rumah sakit khusus yang menangani masalah jantung. Mereka sudah sangat terkenal dan berpengalaman menangani masalah jantung. Daday pikir, disana mungkin Papamu bisa sembuh lebih cepat."

(Tamat) Qinara (Sequel Of Nanda) Where stories live. Discover now