2. Bertemu Kembali

554 145 7
                                    


Aku gak bosen"ingetin kalian untuk tinggalkan jejak di setiap ceritaku. Gak perlu komen, cukup like aja karena itu jadi penyemangat juga untuk penulis receh kayak aku ini.

So, mari saling menghargai ya.

Happy reading





💗💗





Sepanjang hidupnya, perjalanan dari Swiss ke Indonesia adalah perjalanan terpanjang, melelahkan dan menyiksa yang pernah Qinara rasakan.

Lelah fisik yang dirasakannya sama sekali tidak sebanding dengan lelah hati dan pikiran yang saat ini dirasakannya. Bahkan untuk memejamkan mata walaupun sebentar, Qinara tidak bisa melakukannya. Pikirannya selalu dipenuhi pertanyaan tentang keadaan Papanya yang saat ini tengah terbaring di rumah sakit.

Semua salahnya. Ia terlalu egois. Seharusnya ia tidak meninggalkan Papanya sendirian hanya karena patah hati. Seharusnya, patah hati tidak membuatnya menjauh dari satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Orang yang paling menyayanginya di dunia ini. Tapi Qinara sadar tidak ada gunanya ia menyalahkan diri sendiri. Nasi sudah menjadi bubur. Yang bisa dilakukannya hanya memperbaiki apa yang sudah dirusaknya.

Begitu keluar dari pesawat, Qinara melangkah cepat menuju pintu kedatangan internasional. Supir keluarga yang sudah menunggu langsung menghampiri Qinara begitu ia keluar.

"Langsung ke rumah sakit," kata Qinara begitu ia sudah duduk di dalam mobil.

"Baik Nona."

Qinara mengeluarkan ponsel dan menghubungi Lilly, memberitahu wanita itu kalau ia sudah dalam perjalanan ke rumah sakit.

Apa yang terjadi hari ini kembali menyadarkan Qinara betapa egoisnya ia selama ini. Ia pergi bersenang-senang meninggalkan Papanya seorang diri hanya untuk menyembuhkan luka hatinya karena pria sialan itu. Dan sekarang, saat Papanya sakit, ia tidak ada disamping sang Papa. Kalau terjadi hal yang buruk pada Papanya, Qinara tidak akan pernah memaafkan dirinya.

"Kita sudah sampai Nona."

"Bapak bisa kembali ke rumah. Aku akan di rumah sakit menunggu Papa," Qinara mengambil tas yang berisi beberapa pakaian yang sengaja dipisahkannya untuk menginap di rumah sakit sebelum keluar dari mobil.

"Baik, nona. Nona bisa menghubungi saya jika membutuhkan sesuatu."

Qinara mengangguk. Ia berjalan menuju kamar Papanya. Ia tertegun ketika membuka pintu dan melihat sang Papa yang tengah diperiksa dokter.

"Papa."

Dengan langkah tergesa, Qinara langsung menghampiri dan memeluk Papanya. Ia tidak memperhatikan semua orang yang berada di dalam ruangan itu. Satu-satunya yang menjadi fokus utamanya adalah Papanya.

"Papa," Qinara terisak. Ia menangis dalam pelukan hangat sang Papa. "Maafkan aku, Pa. Maafkan aku."

"Sstt... jangan menangis sayang."

Qinara menggeleng. Bagaimana mungkin ia tidak menangis mengetahui keadaan sang Papa?

"Papa baik-baik saja," Rudi tersenyum melihat Qinara yang tidak kunjung berhenti menangis. Ia mengelus puncak kepala Qinara dengan lembut. "Papa sudah baik-baik saja."

"Kenapa Papa tidak memberitahuku lebih cepat? Kenapa aku harus tahu dari orang lain?" Qinara mengabaikan teguran lembut Papanya. Saat ini ia hanya ingin menangis.

"Papa tidak ingin membuatmu khawatir."

Qinara melepaskan pelukannya "Justru dengan Papa seperti ini membuatku jauh lebih khawatir. Sepanjang perjalanan kemari aku merasa hampir mati karena ketakutan tidak sempat bertemu dengan Papa."

(Tamat) Qinara (Sequel Of Nanda) Where stories live. Discover now