10. How Revenge Sounds

132 12 3
                                    

"Tumpahkan saja dalam sebuah lagu. Luapkan semuanya. Sejadi-jadinya, sampai kamu cukup lega."

Sandar tak paham kenapa harus kalimat Pradipta itu yang menancap dalam-dalam di benaknya. Padahal Sandar sudah berusaha mengabaikan kehadiran orang itu kembali di kehidupannya.

Namun pada akhirnya, ucapan itu pula yang menjadi obat bagi semua kesulitan Sandar. Lewat lagu, lewat bait lirik, perasaan rindu yang berkecamuk, rasa cinta yang tak pernah tuntas Sandar bebaskan dari hatinya yang remuk.


***


Sandar sudah bosan mengusir. Pradipta muncul kembali satu minggu setelah Sandar kembali ke rumah. Alasannya untuk membantu Saka mengubah kamar di lantai bawah rumah Sandar untuk jadi studio musik kecil tempatnya dan Saka bisa bekerja, memasang busa kedap suara, membawa piano listrik, dan sebagainya. Tapi ternyata, kontraknya jadi lebih panjang dari itu.

"Maaf, San .... Aku tahu hubungan di antara kalian nggak begitu baik. Tapi kalau urusan musik, kadang aku masih butuh Dipta. Aku nggak bisa menolak kalau dia ingin jenguk kamu," ujar Saka saat itu.

Cuma Sandar yang bisa menolak. Tapi Pradipta terlalu kebal. Dan Sandar sudah lelah bersikap buruk.


***


Petang itu, Sandar tidur terlalu lama. Ketika bangun, matahari sudah lenyap. Sandar melangkah terpincang dari dalam kamar, mencoba menemukan siapa yang datang malam ini untuk menemaninya dan sudah menyalakan seluruh lampu rumahnya. Saka? Atau Sean?

Sandar memanggil-manggil nama mereka. Tapi tak ada jawaban. Malah bias lampu dari ventilasi studio baru yang menunjukkan ada seseorang di sana. Sandar melangkah mendekat. Membuka pintu, dan menemukan Pradipta sedang memainkan piano.

Sepasang alis Sandar bertaut marah. Bukan hanya untuk kehadiran Pradipta yang tak pernah ia harapkan untuk berjaga di rumahnya, tapi juga untuk melodi yang lelaki itu mainkan. Terasa asing, tapi bukan hal yang baru di dalam kepala Sandar.

"Apa-apaan kamu?!" desis Sandar setelah berdiri di hadapan piano Pradipta. Seperti tebakan Sandar semula, Pradipta sedang memainkan melodi yang semalam Sandar tuliskan di buku coretannya di studio.

Sandar ingin marah, tapi titik kecil di sudut hatinya merasa terhanyut oleh denting piano yang mewujud dari gores tangannya yang berantakan di sana. Pradipta mendongak, berusaha memajang senyum meski akhirnya hanya tampak hambar.

"Lagu baru ...?" tanya Pradipta dengan getir. Alasannya tentu saja karena penggalan lirik yang sudah Sandar tuliskan di sana.

Sandar tak menjawab. Ia merenggut buku catatannya dan terpincang ke kursi lain tempatnya biasa memangku gitar.

"Lagu tentang Banyu?" tanya Pradipta lagi saat Sandar meletakkan buku itu di book music stand dan mengambil gitar.

Sandar masih tetap diam. Tanpa banyak bicara, ia memainkan lagu yang ditulisnya semalam lewat petikan gitar. Tak ada nyanyian, hanya ceruk di antara alis yang makin dalam. Pradipta menghela napas panjang, sadar kalau ia tak akan mendapat jawaban. Atau malah, diam itulah yang pantas ia dapat sebagai jawaban.

Jemari Pradipta memberanikan diri mengiringi. Menyela melodi petikan gitar Sandar dengan gubahan piano dari lagu yang Sandar tulis itu. Raung rindu dari gitar berpadu dengan denting pilu pemilik hati yang patah.

Sandar menulis lagu itu sebagai ungkapan rindunya untuk Banyu, hati Pradipta patah sekali lagi untuk itu. Tanpa mereka tahu, dua minggu kemudian, potongan musik itulah yang membuat nama Sandarsaka dikenal banyak orang.









Baca chapter lengkapnya di KaryaKarsa :)

Saat ini Biru Langit sudah sampai chapter 14, lho! See you there!

Biru Langit [TAMAT]Where stories live. Discover now