[18] Dilarang Terbawa Arus Perasaan

16.5K 2K 38
                                    

Kalian nungguin aksi apa lagi?



<3 Aya


oOo


"Saya kan, sudah minta mereka naikin kualitasnya. Mereka pemain lama, nggak salah dong saya percaya kredibilitas mereka."

"Mereka pemain lama untuk segmentasi yang berbeda dengan permintaan Bapak. You're not fully understand supplier capabilities!"

Oh my God. Kalau Mbak Afni sudah ngomong pakai Bahasa Inggris itu artinya kemarahannya sudah sampai ubun-ubun. Perdebatan Mbak Afni dan Dewang sudah berlangsung lebih dari lima belas menit tanpa jeda.

"Oke, sori." Dewang akhirnya angkat tangan dan Mbak Afni baru berhenti menyerang. Dia tampak sudah ingin menyudahi rapat, tapi lalu teringat sesuatu. "Kita perlu risk mitigation setelah kontrak dengan beberapa supplier disudahi."

"Risiko itu harusnya datang dari luar, kenapa Bapak harus nambah-nambahin kerjaan saya dengan bikin ulah sama supplier?"

"Lho, kita harus kerja sama supplier yang fleksibel. Kalau enggak, sudahi saja."

"Bukan enggak fleksibel, tapi Bapak terlalu banyak maunya. Kalau kekurangan orang, kita pasrah saja jadi retail, fokus sama pengembangan fitur platform e-commerce-nya, fokus cari barang dari produsen yang bagus buat kerja sama, bukan sok ngide bikin-bikin barang sendiri.Bikin produk kreatif itu nggak sekadar kreatif, tapi juga harus dilihat marketnya mau nggak sama ide kreatif Bapak?"

Tamparan yang bagus Mbak Afni! Hahaha. Aku cuma pasangan Dewang bohong-bohongan, dalam adegan begini, aku tetap #TimMbakAfni.

"Kalau mau bisnis, jangan tanggung-tanggung, jangan takut ngambil risiko. Saya nggak takut sama risiko, makanya berani bikin bisnis. Kalau takut sama risiko, jatuhnya ya kayak kamu, banyak pengalaman, banyak omong, tapi nggak berkembang."

Dewang lahir dengan mulut tanpa filter. Kalau ngomong otaknya suka ditinggal. Nyelekit gila! Aku sampai tidak tega melihat muka Mbak Afni. Dewang mengakui pengalaman Mbak Afni, makanya ditahan-tahan resign karena Dewang tahu kapasitasnya mumpuni.

"Ambil risiko bukan berarti nggak punya managemenrisiko!" Mbak Afni tutup buku. "Kamu mungkin nggak takut collaps, tapi coba pikirkan apa yang dialami orang-orang yang bekerja buat kamu kalau sampai mereka dirumahkan karena kecerobohan kamu. Saya nggak bikin bisnis saya sendiri bukan karena nggak bisa membuka bisnisnya, tapi saya nggak bisa lihat orang nanggung akibat kecerobohan saya. Kecuali saya sudah muak banget sama Bapak, saya pilih berbisnis sendiri saja gimana?"

Ancamanresign terselubung Mbak Afni membuat Dewang langsung bungkam seribu bahasa. Mbak Afni berdiri dari kursinya.

"Saya tahu kamu lebih berpengalaman soal suplier dibanding saya, tapi terkadang apa yang ideal belum tentu bisa diterapkan. Siapa tahu kamu lupa, suplier yang kamu tolak itu pernah menjadi penyokong Kreativa ketika pertama berdiri. Sampai di sini, saya harap kamu mengerti."

Mbak Afni yang sudah berdiri karena kesal kini jadi diam. "Sori."

Aku tidak tahu sejarah apa yang pernah terjadi saat pendirian Kreativa, tapi perdebatan tak habis dan ancaman resignberujung saling minta maaf ini membuatku mengerti bahwa tidak ada tendensi saling melawan atau mau menang di antara keduanya. Perdebatan dan pertentangan adalah cara mereka menguatkan bisnis dengan saling koreksi.

"Ada cara lain yang bisa kita lakukan ketimbang pilih jalur beresiko begini." Mbak Afni bicara dalam suara rendah. Lebih tidak emosi.

"Oke. Kita diskusi lain kali."

Mbak Afni mengangguk. "Hari ini saya izin pulang cepat. Rapat negosiasi harga sama vendor sore ini bakal di-handle sama Dadan."

Dewang cuma mengangguk-angguk. "Tumben. Kamu sehat, kan?"

Dewa Angkara Murka (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang