Kekejaman Agra

354 10 0
                                    

°°°°°°K

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°
°
°
°
°
°
K

A

F

K

A
                                  01

———————————————————

Psutt...

Psutt...

"Dasar tolol! kenapa kamu bisa kalah dari adik kamu yang kelas 1 SMP? dia bisa dapat ranking pertama, kenapa kamu jadi ranking 30 dari 35 siswa?" hardik Agra.

"Kenapa diam? Ayah tanya kenapa bisa nilaimu seperti ini? Apa aku memberi makanan berkelainan dengan adikmu?"

Agra terus menerus meluapkan emosinya. "Sejak kecil Ayah sudah mengumpulkan uang sedikit demi sedikit agar kalian bisa sekolah yang tinggi, biarpun Ayah cuma punya toko sembako. Ayah tidak mau kalian mengalami nasib sama seperti Ayah. Ngerti kamu!"

"Nge-ngerti Yah..hiks."

"Selain bego, ternyata kamu cengeng juga yah."

Agra melihat suasana sekitar, dan melihat ada sebilah rotan. Rotan bekas kursi mereka yang terlepas dari jalinannya. Tanpa basa-basi Agra memukulkan rotan itu dibetis Adnan.

Jerit kesakitan Adnan sama sekali tidak dihiraukan oleh Agra. Kafka yang tidak tega melihat itu langsung maju menghalau ayahnya, namun tubuhnya berakhir dilantai setelah didorong oleh Agra.

Adnan memberi isyarat pada Kafka agar segera pergi, sembari menyeka air matanya. Kafka bersembunyi dibalik pintu hingga penyiksaan itu selesai. Setelah melampiaskan amarahnya Agra keluar dari kamar begitu saja.

"Kakak, hiks..." Kafka menangis sembari mendekat kearah sang kakak.

"Gapapa Kaf. Nanti sakitnya juga hilang kalo dibawa tidur. Pertahankan prestasimu Kaf, sementara kakak harus lebih giat lagi belajar. Kaf jangan sampai kamu terkena rotan itu." peringatan Adnan pada Kafka, ia tak ingin adiknya merasakan kesakitan seperti dirinya.

Kafka melihat betis Adnan yang merah dan beranjak membiru. Bahkan kulitnya sedikit terkelupas.

Setelah keluar sekitar 20 menit, Agra kembali membawa sebotol salf.

"Oleskan salf ini pada kaki kakakmu. Ini peringatan juga untukmu! Semester depan harus tetap mendapatkan ranking 1. Dan kamu harus masuk 10 besar." ucap Agra sembari menunjuk Adnan.

Dan semester berikutnya hal itu kembali terulang, Adnan hanya mendapat ranking 25. Betisnya kembali menjadi sasaran rotan keramat, dan Kafka selalu membantu kakaknya untuk mengoleskan obat.

                        ••••••••••

Hari kelulusan telah tiba, Kafka memarkir motornya dengan tergesa-gesa sembari membawa sebuah tropi. Sekarang dia memang tidak sekolah satu tempat dengan Adnan.

"Ayah...Ayah..." teriak Kafka dari luar rumah hingga masuk kedalam.

Agra tersenyum saat melihat Kafka membawa tropi besar. Dia sudah menduga itu, Kafka akan selalu membuatnya bangga.

"Yah, ini tropi buat Ayah. Dikamar Kafka udah gak ada tempat, udah penuh piala-piala sama medali."

Agra mengangguk sambil menyimpulkan senyum kebahagian yang sedari tadi terpancar di wajahnya. Anak bungsunya ini sangat sering membuat dirinya bahagia ketimbang anak sulungnya.

"Oh ya, kak Adnan mana?" tanya Kafka

"Belum pulang." ketus Agra.

Kafka sangat gelisah, terlebih saat melihat bilah rotan disamping tempat duduk ayahnya. Dia tidak henti-hentinya mondar mandir didepan teras. Sementara ditempat berbeda, Adnan sedang menangis tersedu-sedu dibawah pohon besar. Saat ini dia takut pulang, karena dinyatakan tidak lulus oleh pihak sekolah.

Namun se bisa mungkin ia tetap tegar dan bersikap jantan meskipun betisnya kembali jadi sasaran rotan keramat.

Psuutt...

Psuutt...

"Memalukan! Kalau tidak masuk 10 besar, mungkin tidak membuat Ayah malu. Tapi sekarang malah tidak lulus? dasar anak tidak berguna kamu! kenapa nggak mati aja saat lahir. Dasar bodoh!" hardik Agra sembari terus mencambuk betis Adnan kali ini lebih keras dari sebelumnya sampai membuat anak itu merintih kesakitan.

Dibalik tembok Kafka menggeram. Ingin rasanya ia memukuli Agra, tapi saat ingat kata Adnan yang ingin dirinya selalu menghormati sang Ayah, membuat Kafka beberapa kali menutup matanya saat mendengar beberapa kali rintihan sang kakak.

Karena tak bisa menahannya lagi. Kafka memberanikan diri merangkul kedua kaki Agra. "Ayah cukup yah! Kafka mohon berhenti! jangan sakiti kak Adnan lagi."

"Minggir! jangan ikut campur. Kalau tidak Ayah akan menghajarmu juga." ucap Agra.

"Kaf pergi lah! Kakak gapapa. Cepat pergi!!"

"Gak kak..Kafka gak mau." bantahnya.

Wajah Agra terlihat menggelap. "Oh kamu mau ikut-ikutan jadi pembangkang?"

Bruukk...

Agra mendorong Kafka dan memecut punggung anaknya itu beberapa kali.

"Akhh..." Kini Kafka bisa merasakan bagaimana sakitnya dicambuk rotan.

"Bagaimana? masih mau membangkang hah?" hantaman cambuk berikutnya berhasil dihalau oleh Adnan. Hingga dirinyalah yang sekarang merasakan cambukan itu. Ia tak ingin adiknya merasakan kesakitan.

Saat akan mengayunkan rotan lagi, Kafka menangkap benda itu dengan tangan bergetar. Tatapan kebencian begitu menghunus jantung Agra, entah anak itu mendapatkan keberanian dari mana.

Kafka menyentak rotan itu dan mematahkan menjadi beberapa bagian.
"Sudah cukup Ayah melakukannya selama ini. Kafka benar-benar sudah tidak tahan lagi." ujarnya dengan bibir bergetar.

"Anak durhaka! kamu mau melawanku? siapa yang memberimu makan dan membiayaimu sekolah? Ayah cuma ingin kalian jadi anak yang pintar, agar tidak diremehkan org lain." ucap Agra.

"Ayah menuntut kami sempurna. Tidak semua orang mampu dalam bidang akademik, tidak semua orang berotak pintar. Kenapa Ayah tidak mengerti." ujar Kafka.

"Kaf jangan begitu." Adnan sangat takut Kafka menjadi sasaran selanjutnya.

"Kenapa tidak bisa? aku memberikan dia nasi dan ikan yang sama denganmu. Tapi kenapa kamu pintar, sementara dia bodoh?"

"Ayah akan membiayainya sekolah paket. Dan Ayah yang akan mengeluarkan uang, bukan kalian!" hardik Agra kemudian keluar dari kamar itu.

"Hikss.." Adnan menangis sesegukan. Ia sadar kalau otaknya tidak mampu dalam bidang apapun.

"Sudahlah kak. Tidak usah dengarkan omongan Ayah. Tunggu sampai kaki kakak sembuh, kita akan pergi dari rumah ini. Bukankah kita anak laki-laki? kita bisa menghidupi diri kita sendiri dengan cara apapun. Tidak sekolah tidak apa-apa, cari rejeki bisa dengan cara apa saja yang penting kita pergi dari neraka ini." ucap Kafka sembari membantu Adnan duduk ditepi kasur.

°
°
°
°
°
Kamis, 21 September 2022.

K A F K ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang