Waktu begitu cepat berlalu....
Hari ketika aku berjalan memunggungimu terasa semakin jauh....
Kamu tahu? Hari itu, aku sangat ingin menggenggam tanganmu... tapi aku tidak mampu... aku bahkan tidak sanggup menatap wajahmu....
Adakalanya aku menyalah...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Aku mendapati diri terduduk disebuah lorong. Aku berdiri perlahan, menyeka debu yang ada di celanaku, memperhatikan sekitar. Sepi tidak ada seorangpun di dalam lorong itu. Hanya ada obor api yang menerangi di sepanjang dinding. Aku melihat lurus kedepan, pandanganku terkunci pada satu sosok. Aku menyipitkan mata berusaha melihat apa yang ada di depan sana. Aku melihat bayangan seseorang samar-samar. Wajahnya tidak terlihat tetapi aku bisa melihat perawakan orang itu dengan jelas. Tubuhnya tinggi besar. Orang itu mengenakan kemeja berwarna biru langit dan celana kain hitam panjang. Pikiranku menebak-nebak. Bayangan orang itu perlahan semakin jelas. Aku sekarang dapat melihat wujud seorang pria memakai kacamata hitam dengan lensa berbentuk persegi panjang. Wajahnya bulat dengan pipi tembam. Kulitnya berwarna kuning langsat. Ya, aku mengenali pria itu. "Kak Steven?." Tidak ada jawaban, hanya senyuman hangat yang tersungging di bibirnya. Aku mengerutkan kening, tak mengerti maksud dari senyuman itu. Aku berjalan perlahan mendekati Kak Steven. Masih dengan keadaan yang sama, dia hanya berdiri disitu. Aku menjulurkan tangan ke arahnya, hendak meraih pundaknya yang gagah, aku merasa bahagia. Tapi hanya sampai disitu, rasa bahagia yang berganti dengan tanda tanya, juga rasa taku. Jemariku tidak dapat menyentuhnya. Kak Steven mengulurkan tangan membelai kepalaku dengan lembut. Hanya belaian kosong, aku tidak dapat merasakan tangan Kak Steven. "Tetap semangat Efa," kata-kata yang akhirnya keluar dari mulut Kak Steven. Tubuhnya perlahan memudar menjadi tembus pandang, kemudian menghilang.
Tubuhku tersentak. Keringat membasahi wajahku. Aku melihat-lihat sekeliling, langit-langit gelap. Aku berusaha mengangkat tubuhku yang masih terasa lemas. Aku mengusap wajahku. "Kak Steven," mulutku bergumam lirih. Perlahan Mataku terasa panas, setetes air meluncur membasahi pipiku. "Aku merindukanmu." Di tengah malam yang sunyi itu, Aku terisak tanpa suara.