6. Sebuah perdebatan

193 51 0
                                    

Vee memang pernah berpikir jika pria itu mungkin akan hadir kembali di dalam kehidupan Airin. Apalagi saat keduanya terikat oleh putra mereka, darah daging mereka. Tapi, tak pernah Vee sangka kalau ternyata akan secepat itu dia dapat bertemu dengan pria itu secara langsung. Secepat itu kekhawatiran muncul di dalam benak Vee akan kehadiran masa lalu Airin.

Pun begitu, Vee juga tak bisa menghindarinya. Di saat dia bahkan sudah bertekad untuk tetap berusaha mendapatkan Airin, meluluhkan hati satu— ah, dua putra Airin. Ya, halangan sebesar apapun rasanya tak akan mempan jika Vee tetap bersikeras untuk berjuang mendapatkan Airin untuk menjadi istrinya.

"Vee, sebaiknya kau—"

"Tidak! Aku ikut bersamamu!" Seru Vee memotong pembicaraan Airin.

Dia tahu jika Airin pasti akan menyuruhnya kembali atau semacamnya. Terlihat jelas Airin akan memintanya pergi, dimana sudah jelas Vee tak akan melakukannya.

"Tapi, Vee. Kau lihat ada dia," lirik Airin ke arah Juna.

"Iya, aku tahu. Lalu, apa masalahnya? Ini tidak seperti aku akan membuat keributan dengan menantangnya berkelahi," ucap Vee santai. Kedua bahunya juga sudah terangkat.

Airin paham. Dia juga tak berpikir seperti itu. Hanya saja, akan terasa aneh jika Vee bertemu dengan Juna. Bukan tidka mungkin jika Juna juga memikirkan yang tidak-tidak tentang Airin dan Vee. Walaupun memang Airin tak terlalu perduli dengan itu, tidak ada urusannya juga dengan Juna.

"Ayo, kita turun," ajak Vee.

Dimana Vee sendiri sudah terlebih dahulu turun dari mobilnya, dan berlari kecil untuk membukakan pintu Airin.

Airin lantas turun, mau tidak mau, dia memang harus menghadapinya. Dimana dia yakin, orang-orang di sana kini telah menatap ke arahnya yang tengah keluar dari mobil Vee.

"Perlukah aku menggenggam tanganmu?" bisik Vee begitu pelan.

Airin lantas menatap tajam ke arah Vee, memberikan ancaman dengan sorot matanya. "Jangan macam-macam!"

Respon yang lantas membuat Vee terkekeh pelan.

Vee sendiri merasakan ketegangan suasana di sana begitu Airin dan dirinya berjalan mendekat pada mereka. Entah karena tatapan tak suka Arsen dan Aster akan kehadiran Vee, atau sorot mata tajam yang saling menyorot satu sama lain antara Airin dan Juna, atau bahkan, tatapan juna yang sesekali menatap Vee penuh penasaran.

"Ai—"

"Bicara di dalam. Aku tidak mau para tetangga melihat dan berusaha mencari tahu," seru Airin sebelum Juna memulai menyapa dirinya.

Airin juga sudah terlebih dahulu melewati semua yang ada di sana. Auranya begitu dingin, semuanya menyadari hal itu dari Airin. Dimana wanita itu sudah jelas tengah benar-benar serius untuk saat ini tanpa ingin tersenyum sama sekali.

Mengekor di belakang Airin, Juna menjadi yang terlebih dahulu untuk masuk ke dalam rumah. Sebelum akhirnya Arsen dan Aster juga menyusul. Sedangkan Aily, gadis itu malah terlihat kebingungan dan menatap ke arah Vee.

"Teman Arsen, ya?" tanya Vee saat melihat kebingungan Aily.

Dimana pada akhirnya Aily mengangguk dengan kedua mata yang membulat.

"Mau masuk bersamaku?" tanya Vee.

Aily sempat terlihat kebingungan. Tapi, niatnya kemari juga ingin mengikuti Arsen dan Aster, penasaran dengan Arsen yang ternyata memiliki saudara kembar. Selain itu, dia juga ingin menyapa Airin sebelum pergi dari sana. Sudah lama sekali sejak dia bertemu dengannya, mengingat dia juga memang cukup dekat dengan Airin sendiri.

Hingga akhirnya, Aily menganggukkan kepalanya. Dia menerima tawaran Vee. Berakhir dengan Vee yang lantas berjalan berdampingan dengan Aily.

"Aku akan membawa Aster kembali," ucap Juna begitu langkah mereka sudah berhenti tepat di dalam rumah Airin.

"Tidak! Aku tidak mau kembali!" tukas Aster.

"Aster, you should go home!"

"No, Dad! I wanna be with Mami Airin here. Mau bersamanya, bersama Arsen juga."

Melihat perdebatan ketiganya, Arsen justru malah melihat ke arah Aily dan Vee di sana. Fokusnya teralihkan, sebab perdebatan itu juga tak menarik untuknya.

Arsen sadar, dia tak hanya tidak menyukai Vee. Ada orang lain yang lebih dia benci. Yaitu ayahnya. Pria yang sama sekali tak bertanggung jawab atas Mami dan dirinya. Bahkan, sekarang? Kedatangan pria itu pun sama sekali tak menganggap seolah Arsen ada di sana.

"Kau bawa saja lagi dia. Jangan ganggu lagi hidupku dengan Mami!" Seru Arsen sebelum akhirnya berjalan ke arah Aily.

Arsen juga mengabaikan panggilan-panggilan yang diserukan untuknya. Dia lebih memilih meraih tangan Aily dan mengajak gadis itu masuk ke dalam kamarnya.

Vee melihat itu, wajah yang suram dari Arsen. Dimana beberapa saat berikutnya dia juga menatap ke arah Airin yang masih berdebat bersama Aster dan juga Juna. Hingga akhirnya Vee memutuskan untuk mengikuti Arsen. Karena tidak mungkin kalau Vee malah ikut campur ke dalam masalah Airin dan Juna. Itu bukan haknya.

"Eum, hai!" Sapa Vee yang kini sudah berdiri tepat di pintu kamar Arsen yang terbuka.

Vee sendiri menatap pada Arsen yang kini tengah duduk di meja belajarnya, sedangkan Aily sendiri tengah duduk di atas ranjang. Gadis itu juga terlihat kebingungan sekarang. Dia mungkin tak tahu harus bagaimana.

"Boleh aku masuk?" tanya Vee pelan.

Tidak ada jawaban dari Arsen, akan tetapi Aily yang mendengar itu lantas menganggukkan kepalanya. Dia sendiri bersyukur Vee masuk ke sana. Sebab, dia menjadi gugup sendiri.

Bukan karena dia hanya berduaan di dalam kamar bersama Arsen, kalau itu dia sudah sering main dan belajar bersama pria itu. Dan memang tak ada yang terjadi, Arsen benar-benar anak yang baik. Aily justru gugup karena dia melihat kemarahan Arsen. Kali pertama dia melihat Arsen semarah itu hingga membuat Aily kebingungan harus bagaimana berbicara dengannya.

"Are you okay?" tanya Vee dengan suara rendahnya sembari mendekat pada Arsen.

Namun, sayangnya lagi-lagi tidak ada jawaban dari Arsen.

"Aily, ya? Eum, bisa tolong ambilkan air minum?" Pinta Vee pada Aily.

Aily lantas mengangguk. Hingga akhirnya menuruti permintaan Vee di sana. Beruntungnya, dia sudah seringkali kemari hingga hafal letak dapur.

Vee menepuk bahu Arsen pelan setelahnya, dimana di detik berikutnya Arsen juga menepisnya kasar.

"Tenangkan dirimu, Ars. Jangan terlalu memikirkannya," ucap Vee.

Arsen mendecih. "Apa urusannya denganmu? Lebih baik kau keluar dari kamarku!" Seru Arsen.

Bukannya segera pergi, Vee justru malah mengambil tempat untuk duduk di atas ranjang, menatap Arsen yang kini terlihat melampiaskan kemarahannya pada sebuah buku yang dia berikan tulisan-tulisan yang tidak Vee ketahui.

"Aku juga pernah merasakan hal yang sama denganmu. Saat seusia mu dulu, aku juga membenci ayahku. Aku membenci saudaraku, aku membenci semua orang yang berusaha menghalangi apa yang ingin aku lakukan." Vee menatap punggung Arsen, dia juga dapat melihat Arsen menghentikan pergerakan tangannya.

Setidaknya, Vee tahu kalau Arsen tengah mendengarkan apa yang berusaha dia sampaikan.

"Tapi, semakin aku bertambah usia, semakin aku mengerti kalau aku juga tak bisa terus menerus membenci mereka," tambah Vee.

"Apa ayahmu pergi meninggalkanmu bahkan sebelum kau melihatnya, tahu bagaimana wajahnya? Tidak 'kan? Jadi kurasa tak perlu membandingkan hidupmu dengan hidupku," ujar Arsen yang kini sudah berbalik dan menatap Vee.

Dimana di sana, Vee sudah menunjukan senyumnya. "Memang tidak seperti itu. Tapi, ayahku justru memiliki istri dua," ucap Vee dengan dua jari yang sudah dia angkat dan tunjukan pada Arsen.

Hal yang lantas membuat Arsen terkejut dan bungkam seketika.

TO(GET)HERDove le storie prendono vita. Scoprilo ora