5. Luka yang kembali

239 52 0
                                    

Sekarang Vee dan Airin sudah berada di dalam mobil yang sama. Dimana pemiliknya adalah Vee sendiri yang kini sedang menyetir untuk Airin. Seperti yang dikatakan sebelumnya, dia berniat mengantarkan Airin pulang.

Vee tak masalah kalau harus mengantar jemput Airin. Tak perduli dengan status mereka sebagai boss dan karyawannya. Vee hanya ingin jika dia dan Airin bisa memiliki hubungan yang tidak se formal itu terus. Dia sendiri yang sudah memutuskan hal itu sejak pengakuan perasaannya beberapa bulan lalu.

Bedanya, sampai tadi pagi mereka berhati-hati agar tidak ketahuan berangkat dan pulang bersama. Sedangkan sekarang, Vee malah terang-terangan pulang bersama Airin. Belum lagi, dengan apa yang terjadi sebelumnya di kantor. Hal yang membuat Airin bahkan masih memikirkannya hingga sekarang.

"Airin? Jangan khawatirkan apa pun," ucap Vee untuk yang ke sekian kalinya.

Airin lantas menggeleng pelan dengan helaan nafas dalam yang dia lakukan. Sebelum dia menghembuskannya dengan kasar.

"Bagaimana bisa aku tidak mengkhawatirkan apapun kalau tatapan mereka saja seperti itu tadi," ucap Airin lirih.

Dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi. Bukan hanya masalah tentang gosip yang akan menyebar, tapi juga tentang Arsen yang mungkin akan mendengarnya nanti. Airin bisa-bisa harus menyiapkan puluhan alasan agar Arsen mengerti tentang hal itu.
Iya, setidak suka itu Arsen terhadap Vee.

Sebenarnya, bukan hanya pada Vee. Arsen selalu seperti itu setiap ada yang mendekati Airin. Mungkin, karena itu juga naluri seorang anak yang tak ingin kehilangan kasih sayang ibunya. Padahal, Airin sendiri pasti akan tetap menyayangi Arsen apapun yang terjadi. Bahkan dengan kehadiran Aster juga tak akan membuat Airin mengurangi kasih sayangnya untuk Arsen.

Tapi, bagaimana lagi, kalau Arsen adalah remaja yang belum memahami semua itu dengan baik. Harus menerima seseorang yang baru hadir setelah mereka hanya tinggal berdua saja, pasti memang sulit untuk Arsen. Dia masih membutuhkan pengertian yang lebih tentang hal itu.

"Maaf, aku tidak berniat membuatmu tak nyaman begitu sebenarnya," ucap Vee dengan rasa bersalah yang dia rasakan.

Airin menoleh sejenak pada Vee. "Bukan masalah tidak nyaman, Vee. Tapi, seharusnya kau tidak melakukan itu karena itu juga bisa berdampak pada nama baikmu."

"Nama baikku? Kenapa begitu?"

Airin mengangguk. "Memangnya kau pikir mereka akan menyangka hal yang baik saja saat kau mengatakan hal seperti itu padaku? Seorang wanita yang empat tahun lebih tua darimu, wanita yang memiliki anak tanpa pernah menikah. Wanita yang hanya bekerja sebagai manager pemasaran. Mereka tidak hanya akan mengatakan hal buruk tentangku, pasti namamu juga akan terseret ke dalamnya, Vee."

"Aku tidak perduli. Mendengarkan perkataan orang lain tak akan ada habisnya," respon Vee tenang.

Airin setuju, Vee memang benar dengan apa yang dia katakan barusan. Tapi, tetap saja menurut Airin tak sepenuhnya benar sebab baginya, perkataan orang lain selalu berefek besar di dalam kehidupannya.

Seperti 17 tahun yang lalu. Alasan yang lantas membuat Airin hidup berdua bersama Arsen, padahal saat itu dia juga tak mengerti apa pun. Seorang wanita berusia 17 tahun yang harus hidup terpisah dari keluarganya dengan bayi yang harus dia rawat seorang diri.

Dan itu, karena perkataan orang lain yang terus menerus menjudge Airin sebagai wanita murahan hingga keluarganya lebih memilih angkat tangan dan menyuruh Airin pergi ke tempat lain.

Pun begitu, Airin lebih memilih untuk tak membalas ucapan Vee. Tidak akan ada habisnya kalau dia terus meneruskan pembicaraan tentang itu. Vee juga tak akan paham dengan apa yang sudah pernah dia rasakan di dalam hidupnya.

"Iya, maafkan aku. Aku hanya tidak suka kalau pria itu terus mengganggumu," ucap Vee pada akhirnya setelah mendapati Airin hanya terdiam.

"Iya. Sudah, jangan di bahas lagi."

"Kau marah?"

"Tidak, Vee. Aku hanya sedikit kesal."

"Sama saja. Aku berjanji akan bertanggung jawab dengan apa yang aku lakukan hari ini, Airin. Kalau kau meminta pertanggung jawabanku, aku bisa melakukannya sekarang. Aku siap kalau harus menikahimu malam ini juga."

Airin lantas menoleh pada Vee dengan mata yang memicing. "Kenapa jadi malah menikah? Seperti kau baru saja menghamiliku."

"Mau aku hamili juga ya memang? Bisa, bisa!"

"Vee!" Seru Airin kesal.

Dimana selanjutnya Vee malah menunjukan senyuman kotaknya dengan satu tangan yang bergerak mengusak rambut Airin lembut.

"Bercanda, kak Airin," ucap Vee dengan kekehannya.

Airin menahan senyumnya. Baru saja Vee memanggilnya dengan sebutan 'kak'. Panggilan pertama yang Vee berikan saat dia mengetahui umur Airin. Dan sebutan itu selalu membuat Airin gemas sendiri. Terkadang, Vee juga memang bertingkah gemas seperti seorang adik untuk Airin. Meski untuk beberapa hal lain, Vee juga bisa terlihat lebih dewasa dan tegas daripada Airin sendiri.

"Mau langsung pulang saja atau bagaimana?" tanya Vee kemudian.

Airin menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sudah sangat sore. Sebaiknya ke rumah saja langsung. Kita bisa delivery makanannya saja."

"Baiklah!" Seru Vee antusias.

Nyatanya Vee memang seantusias itu untuk kembali bertemu dengan dua putra Airin. Karena dengan begitu, Vee bisa mencoba untuk mendekati putra Airin secara perlahan.

Sedikitnya, Airin sendiri sudah merasa lebih tenang dan lebih memilih untuk memikirkan menghabiskan waktunya malam ini bersama Aster dan Arsen. Dia tak sabar untuk bisa bersama dengan kedua putranya meski harus berusaha membujuk Arsen terlebih dahulu.

"Vee, tunggu," ucap Airin saat Vee sudah menghentikan laju mobilnya di depan rumah Airin.

Airin mengubah raut wajahnya begitu mereka sudah sampai. Perasaan antusias Airin juga lantas berubah dengan sebuah perasaan yang terasa sulit untuk dia katakan.

"Kenapa?" tanya Vee penasaran dan mengikuti arah pandangan Airin saat itu juga.

Sebelum pada akhirnya Vee melihat Arsen dan Aster bersama seorang gadis yang memiliki seragam serupa dengan Arsen. Tapi, masalahnya bukan pada tiga orang itu. Melainkan dengan seorang pria dengan perawakan tinggi dan sedikit kurus yang tengah berhadapan dengan tiga anak muda itu.

"Jangan bilang, kalau dia—"

"Jeon Juna. Ayah kandung Arsen dan juga Aster," potong Airin cepat dengan sorot mata yang hampir memerah.

Setelah belasan tahun lamanya, Airin kini harus dipertemukan kembali dengan Juna. Pria yang memberikan luka yang begitu besar dan dalam untuk Airin. Dimana pada akhirnya, kehadiran pria itu sekarang berhasil membuat luka Airin kembali terasa. Luka yang belum sepenuhnya pulih sebab Airin benar-benar tak akan melupakan semua yang pernah terjadi.

Tentang apa yang dilakukan Juna padanya dulu. Tentang Juna dan keluarganya yang harus memisahkan dirinya dengan Aster.

Airin menatap Juna dengan perasaan yang sama tepat seperti 17 tahun lalu. Bersamaan dengan tangannya yang sudah mengepal dengan kuat.

TO(GET)HERWhere stories live. Discover now