3. Arsen dan Aster

329 58 3
                                    

Jangan lupa vote dan komentarnya, ya. 💜

_____

"Apa itu begitu mengejutkan untukmu?" tanya Airin saat pria di sampingnya ini malah terdiam setelah apa yang dia katakan.

Airin juga sempat terkekeh kecil karenanya. Entah apa yang lucu, tapi Airin malah terkekeh seperti itu. Kekehan yang singkat. Sebelum akhirnya tersenyum tipis dan mengangkat kedua bahunya saat Vee menatap ke arahnya.

"Jadi, bagaimana kau bisa mem—"

"Ceritanya panjang, Vee. Dan itu salahku juga," ucap Airin lirih.

Sebenarnya, Airin cukup sensitif jika membahas masa lalunya. Sebab akan membawa rasa pilu di dalam dada. Dia terlalu menyedihkan dengan hidupnya selama ini. Meski pada akhirnya, dia mencoba kuat dan bertahan karena Arsen. Satu-satunya hal yang tak pernah membuat Airin merasa menyesal. Karena menurutnya, kehadiran putranya itu bukanlah hal yang pantas disesali.

Pada faktanya, putranya yang menjadikan Airin tetap berada di dunia ini. Kalau tidak, mungkin Airin sudah memilih mengakhiri hidupnya.

"Oke, kau hebat, Bae. Maksudku, kau bisa bertahan sejauh ini. Kau juga membesarkan Arsen dengan baik," ucap Vee dengan senyuman yang berusaha dia tunjukan.

Vee tak masalah sama sekali dengan apapun masa lalu wanita yang kini berada di sampingnya. Dia juga tak ingin bertanya lebih jauh kalau bukan Airin yang mengatakan padanya. Vee tak mau di lihat sebagai pria yang terlalu mendesak dan memaksa Airin untuk mengatakan semua ceritanya.

"Tapi, masalahnya sekarang adalah Aster yang tiba-tiba datang. Aku senang dengan kehadirannya, tapi Arsen tidak." Airin kembali memikirkan tentang hal ini.

"Mungkin kau bisa bicara dengan Arsen secara perlahan," saran Vee.

Airin mengangguk. Kalau itu, dia juga sudah akan melakukannya. Mungkin, saat dia sudah selesai bekerja nanti, dia bisa mengajak keduanya berbicara. Memberikan pengertian, terlebih pada Arsen yang terlihat paling sulit menerima kehadiran Aster.

"Tapi, ngomong-ngomong. Kau bilang selama ini Ars—, maksudku Aster tinggal bersama ayahnya 'kan?"

Airin menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan jika sampai ayahnya datang dan mencari Aster ke tempatmu?" tanya Vee berhati-hati.

Airin terdiam. Dia tidak tahu jawaban seperti apa yang harus dia katakan. Dia juga sempat memikirkan hal itu sebelumnya. Rasanya sulit. Bertemu kembali bersama masa lalu yang meninggalkan banyak luka untuk dirinya, teramat sulit untuk Airin. Apalagi, Airin juga sudah lama sekali tak bertemu dengannya. Sama seperti begitu lamanya Airin tak bertemu dengan Aster.

"Mungkin, aku akan menunjukan kalau aku juga bisa baik-baik saja tanpanya. Sehingga dia juga melihat, jika aku juga bisa menjaga Arsen dan Aster dengan baik. Aku akan tetap mempertahankan dua putraku untuk tetap bersamaku kali ini."

Airin menghela nafasnya sejenak, matanya menatap lurus ke depan. "Tidak akan aku biarkan dia membawa Arsen lagi, seperti dulu."

Vee menatap Airin untuk beberapa saat. Dia melihat tekad yang kuat pada wanita itu. Entah apa dan bagaimana ceritanya, Vee akan tetap bertahan di tempatnya.

"Aku akan membantumu, Airin. Dengan cara apapun, aku juga akan pastikan kalian bisa bersama-sama."

***

Arsen melangkahkan kakinya dengan malas. Dimana dia juga membiarkan terik matahari menyinari tubuhnya. Tak begitu menyengat, sebab hari juga sudah mulai sore. Dimana dia juga tengah menuju rumahnya.

Sejak tadi, saat di sekolah, Arsen tak dapat fokus sama sekali pada pelajarannya. Dan sekarang, dia juga tak fokus pada jalanan yang ada di depannya. Membuat Arsen hampir terjatuh karena tersandung trotoar jalan.

"Arsen! Hati-hati!"

Arsen menahan tubuhnya agar tak terjatuh. Dimana tangannya juga sudah ditarik oleh seseorang. Seorang wanita yang baru saja nyaris berteriak saat Arsen hampir terjatuh.

"Sedang banyak pikiran sekali, ya? Lelah? Kau terlihat berbeda sekali hari ini." Park Aily, wanita yang baru saja menarik tangan Arsen berjalan mundur tepat di hadapan pria itu.

"Aily, jalan yang benar," ucap Arsen tanpa menjawab pertanyaan Aily sebelumnya.

"Jawab aku, Ars. Aku sampai mengikuti mu ini, takut terjadi apa-apa padamu di jalan," ucap Aily dengan mata yang membulat. Lucu.

"Aku tidak memintamu mengikutiku, Aily. Pulang saja."

"Tidak!"

Arsen menghentikan langkahnya, membuat Aily juga mengikuti. Gadis itu menghentikan langkahnya dan berjalan mendekat pada Arsen.

Sebenarnya bukan tanpa alasan Arsen menghentikan langkahnya. Sebab, dia bisa melihat seseorang berjalan di belakang Lily, kalau Lily tak menghentikan langkahnya, gadis itu pasti akan menabraknya.

Akan tetapi, jelas Arsen tak menunjukan sejelas itu. Dia juga hanya menatap Aily dengan wajah yang datar. Seolah alasannya berhenti karena Aily tak mendengarkan perintahnya.

"Ars, kau masih marah soal apa yang aku katakan kemarin, ya? Aku ditolak tidak apa-apa, tapi aku masih mau berteman. Tidak mau di abaikan lagi. Masa kau tega pertemanan kita selama dua tahun ini berakhir begitu saja?!"

Arsen menatap Aily dalam diam. Dia juga kembali teringat saat Aily kemarin baru saja menyatakan perasaan padanya. Padahal, selama ini mereka berteman dengan baik. Dua tahun yang mereka lalui, rasanya aneh saat Aily tiba-tiba menyatakan perasaan. Sampai membuat Arsen tak memberikan jawaban sama sekali dan hanya meninggalkan Aily.

Hingga akhirnya, gadis itu yang kini mengekori dirinya sampai perjalanan pulang. Padahal, arah rumah mereka berbeda.

"Aily, dengar. Ak— Sialan!"

Fokus Arsen teralihkan. Dia bahkan tak melanjutkan kalimatnya untuk Aily dan malah mengumpat. Tepat saat netranya telah mendapati seorang pria yang mendekat ke arahnya. Pria yang memiliki wajah yang persis dirinya.

Aster.

"Arsen! Here!" Aster berteriak. Tangannya juga melambai pada Arsen saat sorot mata mereka berdua bertemu.

Aily lantas menolehkan kepalanya. Dia juga mendengar panggilan untuk Arsen di sana.

"Astaga!" Aily terkejut. Dia menatap Arsen dan Aster bergantian. Matanya membulat sempurna. "Arsen? Apa pelajaran matematika tadi efek sampingnya bisa membuatku berhalusinasi, ya?"

Arsen lantas menarik tangan Aily. Dia menggeser posisi Aily untuk berada di sampingnya. "Kau pulang saja, Aily."

Bukannya mendengar perintah Arsen, Aily malah terlalu sibuk menatap Aster yang mendekat ke arahnya.

"Aku sudah menunggumu sejak tadi, Arsen. Wow! Jadi siapa gadis cantik di sampingmu, Arsen?" Aster menunjukan senyuman lebarnya. Dia juga telah menatap Aily dengan lambaian tangannya.

Arsen kembali menggeser tubuh Aily. Kali ini ke belakang tubuhnya. "Kenapa masih ada di sini?" tanya Arsen pada Aster. Masih terlihat ketidaksukaan di sana.

Aster hendak menjawab. Namun, Aily yang mengintip dengan hanya kepalanya saja yang muncul di balik punggung Arsen membuat Aster terkekeh.

"Hai! Aku Aster. Saudara kembar Arsen," ucap Aster dengan ukuran tangan yang dia berikan pada Aily.

Aily sempat terlihat ragu saat menatap Aster. Apalagi saat Arsen masih menahannya dengan satu tangan agar tetap berada di belakang Arsen.

Tapi, jelas bukan Aily namanya kalau menurut begitu saja.

"Aku Aily. Park Aily. Teman Arsen, sahabat Arsen. Teman sekelas Arsen," ucap Aily panjang lebar bersamaan dengan tangan yang bergerak meraih uluran tangan Aster.

Aster terkekeh sekali lagi. "Nama yang cantik untuk gadis cantik sepertimu, babe."

Sialnya, yang dikatakan Aster membuat Aily tersipu. Rasanya, seperti Arsen yang baru saja mengatakan hal itu padanya. Berbeda dengan Arsen yang sudah berbalik dan menarik tangan Aily untuk berjalan bersamanya.

Arsen, tak suka dengan Aster. Sangat!

TO(GET)HERWhere stories live. Discover now