6. 28 Agustus 1997

43 9 16
                                    

Badanku sakit semua. Semalam, aku tidak bisa tidur. Gelisah campur sedih dan takut menyelimuti perasaanku. Aku tidur di kamar adikku. Tempat tidurnya busa. Rasanya panas sekali. Mungkin karena aku tidak biasa tidur di kasur itu. Ditambah lagi dengan mimpi yang sangat menakutkan. Aku mimpi buang air besar di dalam sumur yang sangat dalam dan tidak selesai-selesai sampai keringatku bercucuran menahan sakit perut yang tak juga berhenti.

Akhirnya aku bangun, lalu kubalik bantalku. Bukannya aku dapat tidur nyenyak, malah aku ketakutan yang semakin menjadi. Aku mimpi lagi.

Di sebuah jalanan yang berkelok-kelok. Jalan itu sangat kukenal. Karena jalanan berkelok itu menuju kuburan umum PULO. Tiba-tiba, ada seekor banteng dengan gerobak besi berlari sangat cepat. Mengejarku tak henti-hentinya. Kulihat ke belakang, ada seorang yang mengendarai banteng tersebut sambil mengacung-acungkan pedang yang sangat tajam. Banteng itu terus menerjangku sampai aku tak sanggup lagi berdiri. Dan orang itu menusuk tepat di ulu hatiku. Aku berteriak sekuat tenaga. "Astagfirullahaladzim." Aku terbangun dari tidurku. Kulihat jam satu malam. Aku tidak bisa tidur lagi kecuali berdzikir sambil menahan ketakutan yang amat sangat.

Paginya ketika adikku bangun, aku langsung menceritakannya. Terlontar dari mulutku, "Ada apa ya, Tut?" Rasa aneh berputar di kepalaku. "Seumur hidup, Mbak baru mimpi seperti ini. Terus kenapa kejadiannya di jalan menuju kuburan ya, Tut?"

"Udahlah, Mbak. Itu kan cuma mimpi. Jangan dipikirin. Nanti kalo urusan Mbak udah selesai ke dokter dan bayar BTN udah selesai, kita makan siang di restoran yang enak. Aku yang traktir deh." Dia terus berusaha menghibur.

Sesuai dengan rencana semula, pagi-pagi aku bawa Dila ke dokter THT. Kata dokter, dia tidak apa-apa. Hanya ada luka di pinggir gendang telinga sehingga bengkak.

Aku tenang. Lalu, aku pulang ke rumah Ibu bawa Dila dan langsung jalan lagi ke BTN Klender. Sesuai janji Tutut, dia mengajakku makan enak di Hoka-Hoka Bento. Lalu, bayar BTN di Klender. Karena memang setiap pembayaran cicilan rumah yang di Cibinong selalu di Klender, belum ada cabang di Cibinong.

Tiba-tiba, Tutut mengingatkan aku untuk menelepon Dila bahwa aku sedikit terlambat. Aku pergi ke telepon umum, kudengar suara Bi Inah, pembantu kakakku, Riri, ada di situ menyahut. "Bi, kapan datang? Kok ada di situ? Sama siapa? Mana Ibu? Ini Mbak Titi." Suaraku kencang mendengung karena suara orang banyak di telepon umum yang tengah mengantre.

"Semuanya pada ke Cibinong. Bibi sendirian di rumah. Dila ikut Mbah dan Pak Didi ke rumah sakit. Fataya kecelakaan, ditabrak mobil. Tadi waktu Bu Titi pergi dengan Mbak Tutut, ada telepon dari rumah sakit. Jadi semuanya ke sana."

Rasanya seperti tersambar petir. Badanku lemas dan lunglai. Aku seperti tidak menginjak bumi. Pusing dan pening, lalu aku menangis.

Anakku, buah hatiku mengalami kecelakaan. Bagaimana keadaannya sekarang?

Aku berlari mencari Tutut yang menunggu di tangga ruang tunggu. Adikku bingung melihat aku yang menangis sampai tidak bisa berbicara.

"Ada apa, Mbak??" tanyanya, kaget.

"Taya, Tut. Dia kecelakaan lalu lintas. Kejadiannya tadi pagi jam sembilan lebih."

Tutut memelukku dan menangis kejar. "Telepon ayahnya, Mbak. Kasihan dia masih terlalu kecil. Aduh, gimana dia keadaannya ya, Mbak?"

Dia kelihatan lebih panik. Dia terlalu sayang kepada Fataya. Dari kecil, anak ini selalu mendapatkan perhatian plus darinya.

Aku langsung mengangguk. Badanku gemetaran. Rasa takut dan bersalah pada suamiku juga begitu besar. Aku mengizinkan Fataya pulang bersama Atun. Aku sesali semuanya. Coba tidak jadi pulang, semuanya tidak akan begini. Nasi sudah menjadi bubur. Sesal kemudian tiada arti. Aku harus minta maaf pada suamiku. Kutekan nomor telepon kantor suamiku.

CATATAN SEORANG DIFABELWhere stories live. Discover now