5. 27 Agustus 1997

47 7 1
                                    

Si Cantik lagi main sepeda di halaman rumah ibuku yang terletak di Cawang ketika aku pulang kerja dari Rumah Sakit Medistra. Sempat kaget juga karena waktu aku tinggalkan tadi pagi dia ada di Cibinong, tempat tinggal kami yang baru. Hunian sederhana bahkan sangat sederhana, perumahan LIPI tipe 21 couple yang kutempati bulan Februari 1997, dan baru saja kurenovasi belakangnya dan kubuka bagian tengahnya sehingga menjadi satu bagian rumah yang lebih besar.

Dengan mesra kupeluk putriku, badannya yang sintal berisi putih dan gemuk itu tersenyum bahagia dan langsung berkata, "Mama, aku ke sini dengan Mbak Atun naik mobil biru. Aku kangen sama Mama."

Suaranya sangat lantang, sambil membalas ciumanku. Aku mengerti apa yang dimaksud anakku dengan mobil biru. Sebuah mobil angkutan umum yang harus dinaiki sebanyak tiga kali secara bergantian dari Cibinong ke Cawang karena rumahku terlampau jauh. Tapi biasanya anak-anakku enjoy saja karena di dalam mobil bisa tidur atau bercanda-canda sambil nyanyi atau main tebakan seperti biasa yang aku lakukan bersama di dalam kendaraan umum itu setiap kali aku dan anak-anakku ingin ke rumah ibuku.

"Tun, lain kali kalau mau ke sini bilang dulu sama Ibu. Walaupun kamu berani tapi jangan berduaan begini. Rumah dikunci enggak? Ibu kan mau nginap di sini karena besok harus urus pembayaran BTN dan bawa Dila ke Dokter THT," kataku sambil menyeret tangan Atun masuk ke dalam rumah.

"Kakak nangis terus, Bu. Ya udah saya anter." Wajah Atun sedikit merah karena takut. Matanya sedikit berkaca-kaca.

"Besok sekolahnya gimana? Kasihan kan bolak balik. Jauh," lanjutku.

Atun cuma cengengesan.

Aku memang sering singgah ke rumah Ibu. Kadang hanya sekedar melepas lelah setelah bekerja seharian atau memang ada keperluan seperti sekarang ini. Kadang juga kalau dinas siang, aku pulang jam sembilan malam, untuk pulang ke Cibinong aku harus menunggu suami di rumah ibu. Setelah dijemput, baru pulang bersama.

Kujalani hidup seperti ini setelah kami pindah ke Cibinong.

"Bu, ada telepon dari Bapak." Teriakan Atun memanggilku yang sedang memperhatikan anakku bermain.

"Assalamualaikum. Udah pulang? Kok ada Atun di situ?" Suara suamiku di seberang sana.

"Atun dan Taya ke sini berdua. Katanya, Taya kangen. Tapi nanti dia pulang lagi karena besok sekolah," jelasku.

"Jangan, Ma. Jangan pulang berdua. Kalau mau biar Atun aja. Taya besok sama Mama. Enggak apa enggak sekolah, baru kelas satu ini." Nada suamiku sedikit keras dan melarang aku agar tidak mengizinkan Fataya ikut lagi bersama Atun ke Cibinong.

"Iya. Nanti Mama tanya dulu anaknya mau pulang apa enggak."

"Ya udah. Hati-hati. Papa enggak bisa pulang hari ini, ada pekerjaan yang harus diselesaikan." Suara terakhir suamiku terdengar dari seberang sana, dan telepon pun mati.

Aku pergi ke depan melihat anakku yang gembira main sepeda bersama adiknya, Fadila. Mereka hanya berjarak satu tahun delapan bulan. Tinggi badan mereka pun tidak terlalu selisih banyak, hanya 10 sentimeter. Jadi mereka selalu main berdua dan tidak pernah berantem. Kulihat Fataya selalu mengalah setiap kali rebutan sepeda.

Kuhampiri Atun yang sedang asyik menyuapi anak-anakku. "Tun, Bapak enggak ngizinin Taya pulang. Biar dia di sini, pulang bareng Ibu besok. Kamu sendiri saja balik. Rumah jangan kosong karena rawan maling."

"Yah, Ibu, Atun takut sendiri kalo malam. Enggak apa Bu, saya berani. Besok saya anter ke sekolah dan jemput lagi."

Kuperhatikan Atun yang bersungguh-sungguh mengatakannya. "Ya. Tapi Bapak bilang enggak boleh. Taya, kamu mau pulang sama Mbak atau sama Mama besok?" Aku menanyakan anakku.

"Kalo di sini, besok aku pulang sekolahnya gimana, Ma? Aku kan baru masuk, Ma. Entar enggak naik kelas kalau bolos. Pulang aja sama Mama sekarang ya, Ma." Tatapannya memelas dan seperti takut kalau nggak sekolah.

"Mama mau bawa adik ke dokter THT besok. Bayar BTN terus pulang. Besok kan Mama libur kerja, jadi sebentar saja, kalo udah selesai kita pulang."

"Ya udah, terserah Mama."

Tiba-tiba Atun berteriak sambil memaksa, "Yahh... Kakak, kalau Kakak di sini Mbak sama siapa? Mbak takut pulang sendiri."

Kuperhatikan anakku berpikir sebentar terus dia bilang, "Ya sudah. Aku pulang deh sama Mbak. Boleh ya, Ma?"

Tidak ada lagi yang kuingat pesan dari suamiku untuk melarangnya pulang. Aku begitu sayang padanya sehingga aku tidak tega melihat dia merengek. Secepat kilat aku mengangguk. "Tapi hati-hati ya, Kak. Besok sekolahnya dianter Mbak. Jalannya dipinggir, sebelah kiri. Jangan lari-lari seperti kalo Kakak dianter Mama."

"Ya." Anakku tertawa gembira sambil mengayuh sepedanya yang sengaja ditinggal di rumah ibu.

"Ya udah, Sayang, udah sore mau jam empat. Siap-siap ya. Jangan kemalaman pulangnya. Nanti sampai rumah, istirahat. Terus bobo ya, Nak." Tanganku memeluk anakku dan menciumnya berulang-ulang. "Tun, hati-hati nanti di jalan. Jangan meleng nyebrangnya. Kakak dituntun terus. Dia suka lari-lari. Awas ya, Tun. Kamu harus bertanggung jawab sama Kakak. Jangan sampe terjadi apa-apa."

Aku terus berceloteh mengingatkan Atun, karena aku sudah berani melanggar keputusan suamiku yang melarang Fataya pulang ke Cibinong.

Akhirnya, anakku pulang ke Cibinong. Aku memeluknya berkali-kali, rasanya tidak tega melihat dia pergi bersama Atun. Kulepas dia dengan rasa menyesal mengapa dia kubiarkan pulang. Kuantar dia sampai pintu gerbang. "Hati-hati, Tun, nyeberang jalannya. Tuntun Kakak! Dadaaa... Kakak selamat ya, Kak." Tanganku sambil memberikan Atun ongkos pulang.

"Iya, Bu. Insyaallah."

Atun pun pergi bersama Fataya. Aku memandanginya terus sampai dia hilang di tikungan jalan.

Aku masuk ke dalam rumah bersama Fadila. Aku mulai memangkunya dan melihat telinganya yang sedikit bengkak. Menurut Dokter Suryapranata, telinganya ada luka pada gendang telinganya. Jadi aku harus membawanya ke dokter THT untuk memastikan apakah gendang telinganya sobek atau tidak.

Tiba-tiba, Tutut, adikku, pulang dari kantornya dan bilang, "Hai, Mbak. Tadi aku ketemu si Cantik lagi nyebrang sama Atun. Dia dadahin aku. Kok pucat banget sih, Mbak? Dia sakit? Katanya mau pulang ke Cibinong. Kok dikasih sih, Mbak? Enggak pulang sama Mbak saja besok? Kasihan, kan."

Aku terhenyak kaget. "Apa iya, Tut, dia pucat dan kelihatan sakit? Tadi waktu aku peluk dan cium, dia biasa-biasa aja kok." Hatiku mulai gundah gulana memikirkannya. Apa iya dia sakit? Ah, mungkin dia masih di jalan. Aku suruh balik saja. Aku bangun dari tempat duduk dan langsung keluar pintu.

"Mau ke mana, Mbak?" Tiba-tiba adikku berteriak.

"Mau nyusul supaya dia jangan pulang."

"Terlambat. Dia udah naik mobil 06 jurusan Gandaria, Mbak."

Aku lemas. Hatiku cuma bisa berdoa semoga Allah melindunginya dan sampai di rumah dengan selamat. []

CATATAN SEORANG DIFABELWhere stories live. Discover now