Bab 1 | Aku ingin bersinar seperti para bintang.

Start from the beginning
                                    

Aku tersenyum pahit, lagi. Mengikutinya keluar UKS. Baru dua langkah, aku hampir menabrak seseorang yang tengah berlarian di koridor. Sebelum aku benar-benar mengucapkan kata maaf, lelaki itu sudah melesat pergi. Hanya punggungnya yang tersisa untuk kuamati.

"Kejar." Kinara berujar. "Suruh dia minta maaf."

Aku menggeleng pelan. "Aku yang salah."

Aku yang salah. Aku yang tiba-tiba berada di jalurnya. Padahal aku sudah tahu kalau pada jam istirahat, koridor pasti ramai. Terlebih koridor UKS yang terletak di bagian depan gedung dekat dengan kantin.

Kinara menggeleng tak habis pikir, namun, ia berhenti menarik atensi pada hal itu dan kembali menggerakkan kaki menuju kantin.

Setelah diam beberapa saat, gadis itu bergumam lagi. "Kalau kamu cemen begitu, kau nggak akan pernah berhenti digangguin si Sarita."

Kepalaku menunduk dalam. "Aku tahu," bisikku. Kinara geleng-geleng kepala. Helaan napasnya menandakan bahwa ia juga tidak bisa berbuat apa-apa untukku.

"Tenang aja. Sarita nggak makan di kantin yang ini," ujar Kinara sesampainya kami di kantin.

Untuk ukuran orang dengan kepribadian apatis sepertinya, gadis itu menyadari kecemasanku dengan begitu cepat. Aku memang tidak mengatakan apa-apa. Tapi, mataku berlari ke berbagai arah. Ada rasa takut saat kakiku menginjak kantin yang terhubung dengan tiga koridor--utara, selatan dan barat. Mewaspadai orang-orang yang muncul dari tiga jalur itu.

Bisa saja itu Sarita atau teman-temannya. Pikiran akan kemungkinan itu tidak pernah gagal membuatku gemetar sepanjang badan. Fakta itu membuatku merasa semakin menyedihkan.

"Aku mau pesan bakso. Kamu juga sana, pesan apapun yang kamu inginkan."

Dia tidak memberiku kesempatan untuk merespon satupun perkataannya dan pergi begitu saja. Kuhela napas panjang. Tiga bulan aku bersekolah di SMA ini, bisa terhitung jari seberapa sering aku mengunjungi kantin. Jika tidak diajak Kinara, aku tidak akan pernah berinisiatif datang sendiri. Bagi orang sepertiku, tempat ini tidak ada bedanya dengan ruang penyiksaan. Aku sudah pernah mengalami berbagai hal memalukan di sini. Mengingatnya benar-benar membuatku tersiksa dua kali.

Kantin ini punya banyak hal untuk dijajakan pada para murid. Tapi, bagi orang sepertiku, makan di tempat ini rasanya bagai melakukan hal tabu di tempat terlarang. Meskipun aroma rebusan mi instan dan bumbu siomai menggoda hidungku, dan suasana hangat canda tawa orang-orang bergumul di udara, tidak ada perasaan yang membuatku merasa diterima di tempat yang sama. Seolah-olah ... aku hidup di dunia yang berbeda.

Tidak berminat memesan apapun, kuputuskan untuk menghampiri Kinara yang tengah berdesakan mengerumuni tukang bakso. Namun, laguh-lagah yang tiba-tiba menyerobok sunyi menghentikan langkahku yang baru terhitung dua. Sontak saja jantungku memompa keras. Kakiku membeku di tempat.

Ini bukan berita baik. Jika Sarita atau orang populer yang tengah ingin mencari mangsa datang ke kantin khusus anak kelas satu, aku akan jadi bulan-bulanan. Tanganku mengepal berusaha menenangkan diri saat aku menolehkan badan ke sumber keramaian. Belum ada siapapun yang muncul dari lorong utara. Akan tetapi aku bisa melihat orang-orang yang tengah berjalan di jalur itu menyingkirkan diri mereka mengapit ke dinding seolah-olah ada tangan tak kasat mata yang menghalau mereka dari tengah jalan. Murid-murid lain yang tengah bergumul di kantin bangkit dari bangku mereka dan membentuk kerumunan-kerumunan di sekitar mulut lorong.

"Itu Gandara!" seru seseorang di antara kerumunannya.

Saat itulah lima orang dengan bet kelas tiga muncul dari lorong koridor tersebut. Berjalan berarak melintasi kantin dengan seluruh pasang mata tertuju pada kelimanya.

GandaraWhere stories live. Discover now