Lamaran Mendadak

218 66 1
                                    

"Han! Jihan" panggil Atikah. Jihan menghampiri Atikah.

"Ada yang cari kamu. Itu di depan restoran."

"Siapa, Mbak?"

"Saya nggak tau. Coba kamu lihat sana." Atikah tersenyum. Jihan berjalan keluar restoran. Hingga sampai ke pos satpam. Ia celingukan.

"Selesai kerja jam berapa?" suara itu mengejutkannya. Jihan terkejut. Ia menatap heran dengan lawan bicaranya.

"Abay. Ngapain di sini, mau makan masuk aja ke dalem!"

"Enggak. Buru-buru gue. Cuma mau nanya, lo pulang kerja jam berapa nanti." Abay bertanya sambil memeluk jaket bombernya. Pakaian yang ia kenakan mencerminkan pekerjaannya, kemeja polos warna coklat tua lengkap dengan dasi, tapi celananya jeans, agak asal memang.

"Jam ... sebelas kayaknya," jawab Jihan.

"Ok. Gue harus jalan lagi. Nanti gue jemput." Abay buru-buru mengenakan kembali jaketnya dan naik ke atas motor. "Jangan berani pulang duluan sebelum gue dateng. Paham!" Suara Abay lebih tegas dari biasanya. Jihan mengangguk dengan tatapan mata heran. Malam hari pun tiba,
Jam sebelas malam saat Jihan dan keempat teman serta manajer keluar restoran. Abay sudah duduk di atas motor sambil memeluk helm yang pernah Jihan kenakan. Jihan berjalan menghampiri Abay dengan tatapan heran.

"Enggak ingkar janji, 'kan, gue." Abay tersenyum. Untuk pertama kalinya sehingga membuat Jihan mengagumi senyuman itu walau dalam hati. Jihan membalas tersenyum dan mengalihkan tatapan tanpa berkata, ia menerima helm dan segera naik ke atas motor Abay. Mereka berjalan menjauh dari restoran. Tidak butuh waktu lama karena sudah malam dan jalanan cukup lengang mereka tiba di depan rumah Jihan.

"Bensin kamu boros kalo setiap hari jemput saya, Bay," ucap Jihan sesaat setelah turun dari atas motor.

"Baru dua kali, nggak boros, lah," jawab Abay singkat.

"Assalamualaikum, Aba," sapa Jihan lalu meraih tangan kanan ayahnya, ia menyalami dengan lembut.

"Waalaikumsalam. Pulang sama siapa?!" Tatapan ayah Jihan mendadak mengeras.

Abay turun dan melepaskan helm.

"Assalamualaikum, Pak, saya Abay." Keduanya berjabat tangan.

"Abay ini temen Jihan. Dia Om-nya Rayner, anak yang Jihan asuh di penitipan anak dan les baca sama Jihan setiap sabtu dan minggu, Ba."

"Oh. Tapi bukan berarti bisa boncengan motor berdua, 'kan." tatapan ayah Jihan semakin sinis.

"I–ya, Ba. Maaf, besok enggak lagi, ini Jihan ... terpaksa."

"Ok. Mulai besok Aba yang jemput kamu di restoran. Motor Aba masih bisa anter jemput kamu. Nak Abay. Silakan pulang." usirnya secara halus.

"Iya, Pak. Selamat malam. Assalamualaikum," pamit Abay tanpa basa basi apa pun lagi.

"Waalaikumsalam." jawab ayah Jihan ketus sambil merangkul Jihan dan masuk kedalam rumah.

***

Hari-hari berikutnya Jihan dijemput Aba pulang kerja. Abay melihat dari jauh untuk memastikan. Ia sendiri heran dengan dirinya, kenapa tiba-tiba seperti terdorong untuk mengetahui semua kegiatan Jihan dan ingin melindunginya. Perasaan ini tidak ada bahkan saat ia pacaran dengan Kyla dulu.

Hari sabtu pagi Jihan sudah duduk manis di ruang tamu rumah bunda Abay. Bunda baru kasih tau kalau Rayner sedang pergi dengan ummi dan abinya jadi tidak les minggu ini. Saat Jihan akan kembali pulang, bunda justru meminta tetap di rumah untuk menemani bunda yang malas ikut suami ke acara koleganya.

Senyawa (Repost) ✔Where stories live. Discover now