🌺 8 | Tolong

4 0 0
                                    

"Apa maksudnya setengah jam lagi?" tanya Bastian setelah Layena menolak ajakkan Cantya mengantar gadis itu ke toko.

Layena melebarkan bola mata melihat arloji di lengannya. "Astaga aku telat!" Cepat-cepat ia berlari ke parkiran.

"Tunggu!" Bastian mengekori, Yena cepat-cepat menaiki sepedahnya. Namun saat ingin mengayuh, Bastian tidak membiarkannya berjalan. "Awas Bastian!"

"Mau kemana?"

"Aku kerja! Sekarang udah telat banget!"

"Kerja?"

"Iya, bisa awas dulu. Nanti aja nanya-nanyanya."

Bastian terdiam sesaat berpikir, "ya udah turun."

"Hah?!"

"Cepat kamu turun!" titah Bastian, dari nadanya terdengar tidak ingin di bantah. Jadi Layena menurut, Bastian dengan sigap naik sepeda kemudian melirik Yena. "Ayo, aku antar."

"Hah?! Aku sendiri aja, ga usah diantar."Layena melihat jam di ponsel, "tinggal 15 menit lagi. Tolong Bastian!"

Bastian tidak menggubris protesan Layena. Dia lebih suka tidak memberikan pilihan. Maka dari itu caranya selalu berhasil. Akhirnya, Yena mengalah untuk naik di bangku belakang. Membiarkan Bastian menang kali ini. "Pegangan! "

"Udah."

"Kepinggang aku, Na."

"Ih gapapa gini aja-----"

"Sepuluh menit lagi." Bastian menekankan.

"Iya-iya." Akhirnya Yena berpegangan pada pinggang Bastian. Lelaki itu pun mulai mengayuhkan sepeda. Bibirnya membentuk lengkungan setengah lengkungan cukup lebar, Yena dapat melihatnya.

Duduk di depan meja belajar, Yena memikirkan kejadian tadi siang. Semua bercampur aduk menjadi satu. Tentang apa yang ia alami dan bagaimana Vania mengartikan sikap Bastian dengan kata suka.

"Namanya siapa sih, Na?" tanya Vania disela-sela kegiatan Yena membuka bungkusan mie cup.

"Bastian." jawab Yena singkat. Dia beralih membuka bungkusan bumbu penyedap dari mie cup itu.

"Kayanya dia suka sama kamu, Na."

Deon memandang Layena dalam diam, keberadaan lelaki itu menyadarkan Yena. Segera ia mengambil ponsel kemudian mengirim jawaban pe-er pada Cantya. Setelah selesai, ia beralih pada Deon lagi, tatapannya terlihat khawatir. Di balik daun pintu kedua orang tua angkatnya kembali beradu argumen. Disini Yena tampak tidak terganggu dengan semua itu. Entah, sudah membiasakan diri.

Deon berjongkok di samping Layena. Gadis itu menoleh kemudian tersenyum. "Ada apa?"

"Kamu baik-baik saja?"

Layena melirik daun pintu lalu pada Deon lagi. "Ya, aku selalu baik-baik saja."

"Bisa jangan terlalu baik, Na?"

Layena menggelengkan kepala, "ga bisa."

"Saking baiknya kamu sampai di manfaatkan."

"Contohnya."

"Si Cantya. Dia memanfaatkan otak pintar kamu."

"Em gapapa, aku yang mau."

"Terus Bastian." Layena fokus pada Deon. "Gara-gara kamu ga nyerah ngajar dia, dia ngelunjak mau kamu ke apart-nya terus. Dia modus ingin berdua-dua sama kamu."

Menutup buku tugasnya, Yena cuek dengan omelan Deon. "Bukannya kamu mau di bantu biar bisa pulang?" alih gadis itu agar tidak terus membahas Bastian yang membuat kepalanya pening.

"Em, mau." ujarnya antusias. Tapi ada yang aneh, "kayanya aku cuman ngomong satu kali deh, waktu kamu tidur."

"Em."

Deon berdiri, "jadi waktu itu kamu ga tidur?"

"Em."

Deon mencebikkan bibir, "jahatnya. Aku gamau ngomong sama kamu."

"Jadi gamau di bantu?"

Deon mendesis, "kamu membuatku tidak memiliki pilihan."

Layena nyengir kuda dengan jari yang membentuk peace. "Tapi setau aku kamu ga ingat apa-apa." Deon duduk di ranjang Yena. Ia menganggukkan kepala lemah. "Terus gimana aku bisa bantu kamu?" Deon menggelengkan kepala lagi. "Sama sekali ga ingat?"

Deon membalas tatapan Yena, "sepertinya aku tau warna seragam sekolah smpku."

"Oh okeh, seperti apa?"

"Garis kotak warna krem dan abu jadi satu."

Layena memiringkan kepala. Dia membuka laci meja belajarnya, mencari sesuatu yang mungkin bisa Deon lihat. Semoga dugaan Yena benar. Dia menemukannya, memberikan selembar foto pada Deon. Foto Yena yang sedang berdiri di depan sungai memakai seragam sekolah.

"Apa seragamnya yang ini?"

Deon membelalakkan mata, "nah iya. Itu foto kamu?"

"Iya."

"Kita satu sekolah?"

"Entahlah, besok kita kesana untuk membuktikannya."

🌺🌺🌺

Bastian berdiri di gapura dekat parkiran sekolah. Tertawa, mengobrol dan menggoda siswi-siswi yang melewat di depan mereka. Namun saat iris matanya menemukan Layena melewat, Bastian terlalu fokus.

"Yena?"

Layena menoleh, "em?"

"Ga belajar?"

Layena membuka standar sepedanya. "Nanti aku ke apart kamu, ya? Lagi ada urusan dulu. Dah." ujar gadis itu cepat tanpa mendengar jawaban Bastian terlebih dahulu.

Di satu sisi, Cantya menumpu lengan pada lutut. Nafasnya terputus-putus karena lelah mengejar Layena yang secepat kilat pergi setelah bel jam pelajaran berakhir. Cantya tidak mengerti, Yena mendapat kekuatan dari mana hingga bisa lari secepat itu. Padahal ia yakin, Yena tidak memiliki riwayat ikut lomba maraton.

"Yena mau kemana?" tanya Bastian setelah Cantya berdiri di sampingnya. Meski lelah, ia tidak memerdulikan itu.

"Entahlah, dia bersikap aneh akhir-akhir ini. Lebih banyak melamun dan menulis tentang nama seseorang yang bernama Deon."

Bastian mengerutkan dahi, "Deon?"

🌺🌺🌺

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 11, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Welcome SpringWhere stories live. Discover now