🌺 5 | Catatan

5 0 0
                                    

Memegang setir sepeda seraya mendorong. Pagi itu Layena mendorong sepedanya untuk berusaha menikmati angin yang menusuk hingga ke pori-pori. Dingin tapi menyegarkan maksudnya. Suasana pagi ini sama dengan suasana di rumahnya. Kedua orang tua yang mengambil alih hak asuhnya tidak saling berbicara di meja makan. Yena dibuat kebingungan. Dia ingin segera mengumpulkan uang kemudian pergi dari rumah itu. Tujuannya adalah hidup mandiri agar tidak terbebani. Bukankah lebih tenang jika seorang anak tidak tahu apa-apa.

Untuk saat ini ia hanya bisa tersenyum.

"Yena!"

Yena berbalik dan dapati Cantya berlari ke arahnya.

"Ga usah lari. Nanti kamu jatuh!" peringat Yena setelah Cantya sampai di sampingnya dengan napas yang terputus-putus.

"Jadi bagaimana?" tanya Cantya, mereka berjalan beriringan.

Layena tidak mengerti arah pembicaraan Cantya. "Apanya?" pertanyaan di jawab pertanyaan. Pagi mereka sangat rumit.

"Bastian! Kamu ke rumahnya kemarin 'kan?" Cantya menunggu jawaban seraya menunggu Yena memarkirkan sepeda.

"Oh, awal yang buruk."

Cantya menganggukan kepala. "sudah kuduga."

"lalu untuk apa bertanya?"

Cantya nyengir kuda, perjalanan mereka di pinggir lapangan cukup hening. "Memastikan dugaan."

"Hei yang dipinggir lapangan minggir!!" teriak seseorang membuat satu atensi sekolah mengarah pada tengah lapang.

Layena dan Cantya ikut menoleh. Bola melambung tinggi ke arah mereka. Keduanya tidak sempat menghindar ketika bola dalam kejapan mata akan menabrak mereka, ikut berteriak, mereka ketakutan.

Dugh...

Yena yang posisinya dipinggir lapangan harusnya menjadi korban, tetapi ia tidak merasakan apapun. Dengan perlahan Yena membuka kelopak mata. Dia tidak percaya dengan apa yang retinanya tangkap. Tubuh Bastian yang menjulang tinggi berdiri tanpa bergeming. Lelaki itu bagai perisai agar tuan putrinya tidak terluka.

"Bastian! Kamu gapapa?" tanya Yena khawatir. Pasalnya bukan perihal yang mudah menerima pukulan bola.

Bastian tersenyum miring untuk menyombongkan diri, bahwa hal barusan bukan apa-apa baginya. Namun tiba-tiba sepatu sekolah jatuh mengenai kepalanya entah darimana. Dengan bola mata yang berkobar ia berbalik. Bastian mengumpat seraya berlarian hendak memukul pemain sepak bola dengan sepatu barusan. Padahal sepatu barusan ulah Saga. Arwah bergentayangan itu tidak suka Bastian cari muka di depan Layena.

Cantya nyengir kuda, dia menyikut Yena dengan niat terselubung. "Ku dengar awal yang buruk, yang ku lihat awal yang baik."

"Apaan sih?" jawab Yena sewot, ia pergi lebih dulu dengan kebingungan.

Di perjalanannya di koridor Yena berdecih seraya menggaruk kepala yang tak gatal. Dia tidak paham. Kembali jantungnya berdegup kencang, maka dari itu ia mencengkram seragamnya bagian dada. Bola mata Bastian terlalu indah.

"Sialan! Ganteng banget sih!"

🌺🌺🌺

Mesin bercahaya meng-copy lembaran kertas. Jam istirahat yang di pakai untuk makan sebaik mungkin, lain untuk Yena. Gadis itu sedang menyalin buku catatan miliknya untuk diberikan pada Bastian. Mengingat buku catatan Bastian tidak berupa.

"Yen!"

Mendengar panggilan seseorang, ia menoleh kesumber suara. Cantya berdiri diambang pintu sedang menyeruput minuman kemasan. "Sedang apa?"

"Lagi foto kopi buku catatan aku buat dikasihkan ke Bastian." kata Yena seraya merebut minuman Cantya. Jujur tenggorokannya gersang.

"Fotokopi?" tanya Cantya meyakinkan. Yena mengangguk untuk menjawab. "Ga romants banget sih. Di film-film biasanya bakal ditulis tangan terus dikasihkan ke pemeran utama laki-laki, terus pemeran laki-lakinya bakal tersentuh-----"

Plakk... Yena memukul pelan puncak kepala Cantya menggunakan kertas fotokopi.

"Film terus! Hafalin materi biologi. Abis istirahat kita ada kuis, ngerti?!" titah Layena seraya membereskan kertas yang telah selesai di copy. "Dah, aku pergi dulu."

Cantya mencebikkan bibir. "untung kamu pintar! Kalo engga udah aku jambak nih!" teriak gadis itu tanpa menerima jawaban.

Layena menoleh ke kanan kekiri untuk menemukan Bastian. Tidak sulit menemukan lelaki petakilan itu. Dia sedang duduk di pinggir lapangan terlihat sedang tidur. Yena berinisiatif berdiri di hadapan Bastian untuk menghalau cahaya matahari menyilaukan. Bukan membuat Bastian terlelap, Layena justru membangunkan Bastian. Karena terlanjur telah bangun, Yena segera duduk di samping Bastian.

"Ini buat kamu." Yena memberikan sekaleng minuman yang langsung diterima. Bastian meminumnya dengan rakus. Sepertinya ia kehausan, itu alasan Yena terkekeh pelan. "Makasih ya. Punggung kamu baik-baik aja?" lanjut gadis itu, mengutarakan maksudnya.

Bastian tersenyum miring, ada niat terselubung. "Masih sakit, sampe ada bekasnya merah."

Layena menggelengkan kepala pelan, "sekarang masih sakit?" Bastian menganggukkan kepala dengan ekspresi yang tersakiti. Yena justru geli. Lelaki yang suka berantem dan hobi membuat onar bisa berekspresi itu. "Mana sini aku usap. Mungkin bisa ngilangin rasa sakitnya."

Bastian merubah posisi duduknya memunggungi Yena, agar gadis itu bisa menjangkau punggungnya. Yena mengusap pelan membuat perasaan Bastian nyaman.

"Ah sekarang jauh lebih baik."

"Bagus kalo gitu." Menurut Yena Bastian orang yang baik jika mau diperhatikan.

"Lebih baik lagi kalo kamu cium aku, Yen."

Yena menatap datar Bastian. Dia meralat pujian Bastian orang yang baik. Gadis yang menguncir rambutnya jadi 2 itu mengetuk kepala Bastian dengan lembaran fotokopi.

"Berhenti berpikiran tentang ciuman. Belajar dengan giat dan perbaiki peringkatmu, Bastian!" Yena pergi dengan perasaan jengkel. Memang Bastian itu menjengkelkan tidak ada duanya.

Bastian terkekeh geli seraya memandang kepergian Layena. Dia beralih pada lembaran yang diberikan gadis itu. Isinya adalah sebuah catatan matematika milik Layena. Tulisan gadis itu bagus dan sangat rapih. Sekilas melihat, ia sampai di halaman terakhir. Terdapat sebuah note yang tertempel. Tulisan semangat yang membuatnya kembali melihat punggung Layena yang kian mengecil.

🌺🌺🌺

Aloha~~
Jangan lupa tinggalkan jejak. Maaf typo bertebaran
.
.
.

Welcome SpringWhere stories live. Discover now