🌺 7 | Pria madu

1 0 0
                                    

Uap terbang bercampur dengan udara. Itu terjadi ketika waterboiler di buka. Layena tengah memeriksa sisa air panas. Masih cukup banyak, tadinya jika tinggal sedikit ia ingin mengisi ulang, kembali menutup waterboiler. Bahu gadis itu mendadak ada yang menepuk, cukup terkejut, ia menoleh.

"Jangan buat aku kaget!" protes Yena ketika menemukan Vania beralih memerhatikan keluar toko.

"Aku liat cowo itu ga pergi-pergi."

Layena ikut melihat keluar lewat kaca transparan yang mengelilingi toko. Lelaki itu bersandar pada bahu kursi, memejamkan mata sambil mendengarlan musik lewat hedset. Bastian bilang akan menunggu Yena sampai pulang, tidak disangka ia menepati ucapannya. Sebab ia belum juga beranjak sejak terakhir mereka berpisah.

"Biarin, abaikan saja."

"Aku dengar dari kak Tirta kalian datang bareng?" Vania mengelap meja tetapi matanya tak lepas dari sosok Bastian di luar toko.

Yena memerhatikan tingkah temannya itu, "em."

Kini Vania beralih menatap Layena penuh. "Pacar? Lagi marahan?" Mereka memang tidak terlalu dekat, paling cerita seadaanya tentang konsumen toko, jadi Vania tidak tahu betul tentang Layena.

Yena menggelengkan kepala cepat, "bukan!" bantahnya tidak terima.

Vania menganggukan kepala pelan berkali-kali, menyimpulkan sesuatu sendiri. "Oh proses pdkt."

"Bukan juga, hubungan aku sama dia ga sampain seperti itu."

Vania memerhatikan Bastian yang mulai terusik dengan nyamuk mengganggunya. "Lalu? Untuk apa dia nganterin kamu terus nunggu kamu?"

Membuka mulut, Yena kembali merapatkannya. "Entahlah, dia cuman----"

"Teman? Gaada pertemanan antara perempuan dan laki-laki, Na. Pasti ujung-ujungnya bawa perasaan."

Yena memutar bola matanya jengah, "dih! Sotau dasar. Dia itu peringkat rendah di sekolah. Aku? Perinykat tertinggi. Guru minta ngajarin dia."

"Cinta bersemi dengan guru tutor."

Yena menggelengkan kepala mulai lelah. "Terserah kamu aja, Van."

Vania bersandar pada meja RTD, matanya tidak lepas dari Bastian. "Ganteng ya?"

Yena yang telah merebut lap di tangan Vania untuk membersikan dengan benar meja, ikut menoleh. "Kenapa? Kamu mau?"

"Engga, bukan. Kasian aja dia ganteng-ganteng nunggu diluar gitu. Di liatin banyak cewe. Kaya madu di bunga, menarik perhatian lebah karena kemanisannya." Yena mulai memerhatikan setelah Vania menyadarkannya. Ia tidak membantah bahwa Bastian terlihat ganteng, bahkan sering membuat jantungnya berdebar. "Terus dia kayanya kedinginan, hari semakin malam juga."

Yena berkedip, iris matanya menemukan Bastian masih di posisinya. Sebentar mengusap-usap telapak tangan kemudian menyembunyikan jemarinya pada ketiak. Vania benar, Bastian terlihat kedinginan.

"Namanya siapa sih, Na?" tanya Vania disela-sela kegiatan Yena membuka bungkusan mie cup.

"Bastian." jawab Yena singkat. Dia beralih membuka bungkusan bumbu penyedap dari mie cup itu.

"Kayanya dia suka sama kamu, Na." Mendengar ucapan Vania yang semakin tidak masuk akal, membuatnya berhenti bergerak. "Tapi sayang, suka sama orang ga peka."

Layena melanjutkan kegiatannya, mengaduk bumbu. "Jangan so tau, nanti malah buat orang jadi berharap." ia mengangkat mie cup dan susu yang sudah ia seduh. "Aku istirahat sebentar. Dah."

"Jadi sebenernya kamu suka?"

Bertepatan dengan Yena pamit, Tirta datang. Ia juga meminta izin pada lelaki itu. "Siapa suka siapa?" tanya Tirta bingung setelah mendengar percakapan mereka setengah-setengah.

Drrtttt...

Suara kursi yang digeser mengusik ketenangan Bastian. Dia membuka kelopak matanya dan dapati Layena duduk di sampingnya membawa mie cup dan gelas berisi asap kebul yang menguap. Wanginya membangkitkan cacing di perut untuk demo.

"Kenapa? Udah selesai?"

"Belum, ini makan. Kamu pasti lapar. Makan juga selagi panas."

Bastian melirik makanan itu kemudian menarik mie cup-nya. "Makasih."

"Em, aku yang makasih. Kamu nganterin aku ke toko. Padahal kamu ga usah sampai nunggu aku gini."

Bastian menyeruput mie-nya. "Ghapapah." ucapnya tanpa menelan makanannya.

Layena terkekeh pelan, "telan dulu, Bastian."

Bastian minum sebentar, ia merasakan manis di lidahnya. "Susu?"

Pipi gadis itu bersemu, mengusap tengkup lehernya. Bukan kopi atau teh? Melainkan susu. "Biar cepat aja, aku sediain susu."

Alasan macam apa itu? Yena mengutuk dirinya.

"Bukan karena minuman kesukaan kamu?"

Layena berkedip, "gimana kamu tau?"

Bastian terkekeh kemudian menggelengkan kepala. Tidak menjawab ia malah melanjutkan makannya, membiarkan Yena penasaran dan kesal. Sampai Yena pergi meninggalkan Bastian kembali sendiri.

Menatap tingkah rajukan Yena, Bastian beralih pada gelas. Senyum di bibirnya mengembang tipis. "Aku masih memiliki arti ya buat kamu, Na. Karena kamu orang yang bakal menyuguhkan minuman kesukaan kamu pada orang yang kamu suka."

Wajah Bastian berseri-seri, makan mie instan rasanya lebih enak ketimbang makan di restoran bintang lima.

Deon mengerutkan dahi melihat Bastian terus mengusik Layena. Entah, ia harus menjelaskan bagaimana rasa kesalnya tentang kedekatan Yena dan Bastian. Dia tidak suka Layena di persulit oleh orang lain dan menurutnya Bastian menyulitkan Yena.

Untuk memberi lelaki itu pelajaran, Deon menggunakan motor yang melintas dekat Bastian. Menyipratkan air kotor yang menggenang di jalan berlubang dengan lelaki itu. Hingga Bastian bangun dan berkata-kata kasar seorang diri.

"Woy, setan!" Motor itu tidak berhenti. Dengan keadaan nahas melihat seragamnya sekolah yang kotor ia kembali mengumpat, "bajingan setan!"

🌺🌺🌺

Welcome SpringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang