twelve : Gamawira

Start from the beginning
                                    

“Pak Soerendra bahkan sudah memesankan cart yang sama dengan papa untukmu sama Gama.” kata papa menimpali dengan intonasi yang lumayan keras karena terganggu dengan gesekan dari garpuku. 

Kalau saja mama disini, roti gandum yang menumpuk di meja sudah habis dilemparkan padaku dengan makian aku anak yang tidak tahu diuntung karena tidak tahu sopan santun. Mama membenci papa, tapi mama lebih membenciku. Jadi, sedikit saja aku melakukan kesalahan pada papa, makiannya tidak terkira. 

“iya kapan-kapan Jea ajak Gama kalau Gama mau” kataku malas dan meletakkan sendok garpu setelah dirasa perutku lumayan mual untuk sarapan bersama. “Thalia sudah selesai, permisi” aku langsung beranjak menuju kamarku sebelum semua makanan yang belum dicerna kumuntahkan karena berhadapan dengan nenek lampir. 

Tidak akan ada banyak perbedaan di rumah Gama, walaupun tentu rumahku lebih buruk dari keadaan rumahnya. Setidaknya dia memiliki mama yang ada di sana. Memberinya sedikit cinta yang aku inginkan, 

Hah hari ini tak menyenangkan karena tiba-tiba aku memikirkan bagaimana kehidupanku jika aku tak lahir di dunia. Apakah mungkin aku akan lebih baik karena tak mungkin menghadapi semua gejolak masalah dan drama di keluarga ini. Mungkin lebih menyenangkan. Tapi tidak menyenangkan tanpa Gama. Mengeratkan cardigan yang kupakai lebih menempel pada tubuh dan tak menginginkan banyak hal pada pikiranku untuk tidak banyak berjalan-jalan pada memori lain. 

Gama ada disana saat aku menyaksikan papa pertama kali mencium nenek itu. Tangannya menutup wajahku karena menganggap adegan dewasa itu tak boleh kami lihat. Tangannya basah membuatnya membuka tangan yang menutup wajahku. Bertanya kenapa aku menangis dan menuntunku untuk pergi dari sana. Papa kaget dengan kami yang bersembunyi di dalam kamarnya. Cukup kaget untuk tak mengikuti kami berdua pergi ke kamarku. 

Gama tak bertanya mengapa aku menangis, dia diam melihatku menangis dan menangis sepanjang hari. Seharusnya hari itu kami bermain lebih banyak namun dia hanya melihatku menangis dan meminta bibi untuk menyiapkan es krim untukku. Sampai dia berpamitan pulang pun dia tak bertanya apapun padaku. Menyimpan semua pertanyaannya sampai berminggu-minggu setelahnya dan baru berani membuka setelah keadaanku jauh lebih baik. 

Gama pun tak banyak berkomentar mengenai perselingkuhan itu. Dia hanya mengatakan kalau papaku bukan orang baik. 

Dia ada disana saat semua waktu penting di hidupku. Entah itu saat aku menjadi satu-satunya perwakilan sekolah untuk ajang menembak, atau saat papa memaksaku ikut perlombaan kuda pertama kali. Lucunya, tepuk tangan yang dia berikan padaku saat berhasil mencapai finish terdengar. Aku tidak berhasil menang, tapi katanya, aku yang masih berhasil mencapai garis finish dan bukan juara terakhir masih tetap membangggakan. 

Dia jauh banyak tersenyum atas semua hal yang kulakukan daripada aku memberikan senyuman pada diriku sendiri. Gama lebih dari cukup untuk menemaniku disaat apapun. Jadi mungkin sekarang aku tak perlu lagi bertanya pada diri sendiri apa memang dia menyukaiku. Seandainya memang tidak ada rasa itu, yang aku tahu secara pasti tidak bisa untuk dipaksakan, maka tidak masaah jika sifat baiknya itu terus bersama raganya. 

“kudengar kau bertengkar lagi?” kata Gama dari seberang sana sesaat setelah jariku menekan tombol terima teleponnya. 

“kenapa berita cepat sekali padahal baru saja terjadi”

“karena aku tahu perbedaan dari suaramu. Mau aku temani disana?” 

“Tidak. Aku tidak ingin diganggu”

“hahaha aku pengganggu ya, Je? Oke aku disini. Mau aku temani saja telepon sampai kau lelah?” 

“Entahlah. Aku tidak tahu mau membicarakan apa juga” 

“kau selalu punya topik yang bisa kita bicarakan, Je. Bagaimana dengan liburan kemarin? Bu Surati dan keluarganya”

Aku tersenyum mendengar nama yang baru-baru ini kami berdua temui saat liburan. Menyenangkan ternyata bersama orang-orang yang ingin kau bantu dalam satu ruangan. Tidak banyak yang kami lakukan memang. Hanya istirahat, makan dan keliling menggunakan mobil Gama keesokan harinya karena mereka bersedia untuk ‘bolos’ kerja sehari. Keempat anaknya juga mengatakan hari itu adalah hari terbahagia mereka. 

“Kau mengirimi mereka beras dan makanan kabarnya. Papa memujimu” 

“aku tak perlu dipuji” kataku singkat

“tentu kau tidak. Aku hanya ingin ikut memujimu saja. Kapan-kapan kalau kau mau, kita bisa pergi ke tempat Bu Surati lagi” 

Malam semakin dingin namun mendengar suaranya cukup membuatku menikmati dinginnya malam. 

“tentu kalau kau mau” jawabku jujur

“kenapa tiba-tiba jadi penurut?” Gama tertawa

“hanya tidak ingin berdebat sekarang. Kau sudah memikirkan tentang kuliah di luar negeri? Mau kemana?” 

Gama terdiam sesaat. Aku memikirkan di sepersekian menit itu. Mungkin ke New Zealand, mungkin ke Swiss. tak mungkin meminta papa untuk menyekolahkanku di Amerika atau Inggris karena ada banyak anak teman papa disana. Terlalu banyak saingan yang bisa dipergunakannya untuk membandingkanku lagi. 

Namun Gama tak juga menjawab, 

“Gam? masih disana?” 

“Iya. Ah Maaf tapi aku tidak terlalu tertarik untuk melanjutkan itu ke luar negri” 

Mengubah sandaranku menjadi duduk saat satu topik baru ini kudengar. Oke akan lebih baik kalau aku tak terlalu membayangkan apapun di masa depan kita berdua karena itu tak akan pernah terlaksana di dunia nyata. 

“ini hal baru yang kau beritahukan padaku. Maksudmu kita berpisah?” 

“kau benar-benar akan melanjutkan ke luar negri?” 

Aku kesana karena dia! Dia mengatakan tahun lalu akan kesana dan jauh dari keluarga, Kenapa sekarang setelah semua rencanaku untuk membeli  apartemen kecil bersamanya malah dia tiba-tiba berubah pikiran?

“aku tidak tahu Gam. Tapi aku yakin pendaftaranku sekarang sudah ada di tahap akhir. Kau pun juga begitu, Kan?” 

“entahlah, Je. Aku tidak yakin untuk melanjutkan studi ke luar negri” 

“kau mau meninggalkanku disana?” 

Baru saja aku mengeluarkan suara yang sedikit lebih nyaring biasanya. Intonasi marah, kecewa dan kaget tentu saja yang kucoba redam namun tak berhasil. Kupikir terlalu kentara karena suaraku yang meninggi namun Gama tak menjawab dengan ejekan. 

“bukan meninggalkanmu tentu saja. Mengajakmu untuk tetap melanjutkan studi disini” 

“lalu tidak jadi pergi jauh dari keluarga kita?” 

“aku cuman tidak mau pergi jauh dari mimpiku”

“mimpimu? Gam aku ga ngerti maksudmu” 

Dahiku mengkerut. Tidak biasanya dia berintonasi ragu-ragu. Ada beberapa hal yang ditutupinya. Cukup yakin, laki-laki itu ingin aku tidak mencampuri tentang urusannya maupun mimpinya. Namun kalimat di pikiranku seketika berhenti ketika aku mendengar lanjutan jawaban dari pertanyaanku, 

“aku ingin jadi seorang seniman”

--

cage of majestyWhere stories live. Discover now