eleven : Family in bless and failure

Ξεκινήστε από την αρχή
                                    

“Terus gimana dong gam?” 

Aku tidak khawatir sebenarnya karena walauppun memang kami berdua tak mungkin bisa keluar dari masalah ini dengan cepat, setidaknya aku tidak sendirian.

“kita jalan aja ke rumah warga, cari tumpangan apapun ke tempat yang kita tuju. Kalau mobil biarin disini juga. Kamu mau jalan?” 

Jalan kaki untuk entah berapa lama? Di jalanan sepi, terjal penuh kerikil dan beresiko seperti sekarang ini? 

“mobilnya ditinggal gitu aja?” 

“Je, kita pun ga bisa pake. Kalau ada yang mau ngambil ya resiko dia. Ayo” katanya menggandeng tanganku untuk mulai berjalan setelah menutup semua pintu. 

Mulutku belum mengatakan iya ataupun tidak namun badanku sudah bergerak bersamaan dengan gerakan Gama. Perjalanan tidak terlalu buruk walaupun beberapa kali sepatuku kemasukan kerikil dan debu jalanan yang aku hanya berharap tidak segera menimbulkan jerawat pada wajahku. Pemandangannya menyelamatkan semua hal tidak menyenangkan. Udara yang bisa dibilang sangat bersih tanpa polusi kendaraan. Angin semilir dengan sering membuat keringat kami mengering. 

“Aku mau diajak kemana sebenarnya tadi?” kataku sambil mengayun-ayunkan genggaman tangan kami berdua

“Ada pondok cantik banget di bukit. Aku udah pernah kesana beberapa kali. Aku minta beberapa pelayan rumah kesana buat nyiapin pondoknya. Tapi ya ternyata susah juga akses kesananya”

“Pondok punya siapa emang?” 

“Temennya papa” nafas Gama mulai tersenggal karena jalanan yang mulai naik beberapa kali. Kepalanya menoleh padaku, “Mau istirahat sebentar? itu di sana ada rumah kok duduk disini dulu sebentar kalau kamu capek”

Aku menggeleng kepala agar lebih cepat ke rumah yang memang sudah terlihat satu. Cerobong asapnya menyala menandakan rumah itu memang ada penghuninya. Kami berjalan makin dekat dan berdiri di pintu. Keadaan pekarangan rumah sangat  bersih walaupun tak terlihat semen maupun batu pualam yang menutupi tanah. Hanya pekarangan besar dengan beberapa batu di bagian pinggir masih berbentuk tanah merah. Bersyukur aku tak kepikiran untuk memakai heels maupun sepatu berwarna putih. 

Setelah beberapa kali Gama mengetuk, seseorang membukakan pintu dan memandang kami berdua bergantian. 

“Permisi, maaf mengganggu. Mobil saya mogok di jalanan sana. Kalau boleh kami ingin beristirahat sebentar dan mungkin bertanya jika ada bengkel di sekitar sini?” kata Gama 

“ahhh kesasar tadi disini?” 

Kami berdua saling berpandang dan mengangguk dalam senyum. Dari suara yang diberikan tadi kami sadar bahwa tidak sekali dua kali orang berhenti karena tersesat. Setidaknya yang tersesat di sekitar sini tidak hanya kami berdua. 

“Ayo ayo masuk masuk. Mba mas ini pasti dari kota. Duduk dulu saya bikinkan teh ya? mau kemana memangnya tadinya?” kata ibu yang membukakan pintu tadi

“Ke bukit, Bu. Pondok di bukit saya lupa namanya. Pondok milik Bapak Soeroto” 

“Lho? kok tersesatnya jauh sekali. Pondoknya Pak Soeroto ada di bagian ujung desa sebelah. Yaudah kalau begitu istirahat dulu sambil sekalian nunggu bapaknya pulang ya? Nanti biar dibantu Bapak kesana. Mobilnya juga biar bapak yang coba benerin” 

“Wah terima kasih sekali bu kalau memang bisa” Aku menjawab dengan sumringah karena toh masalah ini bisa terselesaikan dengan kita bisa ke pondok yang tadinya sebagai surprise Gama untukku. Well untuk masalah yang dia tidak bisa tanyakan lebih tepatnya. 

Kami berdua akhirnya diberikan satu kamar untuk tiduran. Ada banyak kasur- empat lebih tepatnya saling berjejer. Seluruh rumah disini masih berlantai tanah dengan pintu yang hanya sebatas kain. Ibu yang membantu kami bernama ibu Surati, yang pekerjaannnya sebagai pembersih ladang harian dan beruntungnya siang tadi pulang untuk beristirahat sebelum kembali lagi nanti sore bersama anak-anaknya membantu pemilik ladang untuk memanen singkong-singkongnya. 

cage of majestyΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα