5. Duda Incaran Bu Guru

254 7 0
                                    

Zema menatap Ghozali yang sering dipanggil Ali dengan tatapan membunuh, namun yang ditatap seolah tidak mau ambil pusing. Ia sibuk berdendang lagu hitz di aplikasi goyang saat ini di dalam ruang perawatan temannya itu. Sejak teman-teman satu genk-nya tiba di rumah sakit, Zema sudah mengusir Kania agar tidak muncul di sini.

Joko Tingkir ngombe dawet
Jo dipikir, marai mumet
Ngopek jamur nggone Mbah Wage
Pantang mundur, terus nyambut gawe

Suara sumbang Ali membuat telinga Zema sakit dan akhirnya ia membuka mulutnya. "Berisik banget sih, Lo! Bisa nggak jangan koploan di sini?" Minta Zema pada Ali.

"Ya elah, Bos. Masa lo nggak tau sama lagu ini. Kalah lo sama anak TK. Anak TK aja fasih nyanyinya."

Bugg.....

Zema melemparkan bantal yang ada di ranjang tidurnya dan berhasil ditangkap oleh Ali.

"Nggak kena, nggak kena," Ali mencoba menggoda Zema yang semakin membuat wajahnya merah padam dan tanda bahwa sebentar lagi Zema akan meledak, lalu mengeluarkan semua lava kemarahannya yang sudah mendidih di dalam tubuhnya.

"Salah lo, anak sekarang mah tahunya lagu partai yang sering diputar di TV. Gue malah berfikir anak sekarang nyanyi lagu wajib nasional belum tentu bisa," kata Jio sambil mengupas buah apel yang ada di dalam ruangan Zema di rawat.

Zema mencoba mengabaikan adu pendapat antara Jio dan Ali. Ia lebih fokus kepada rasa jengkelnya kepada wanita yang menabrak sekaligus menolongnya. Bagaimana Zema tidak marah-marah, karena sejak ia sadar dirinya sudah berdebat dengan Kania. Zema memilih diam dan mengingat perdebatan tidak pentingnya dengan wanita itu.

"Kenapa lo nggak lindas gue aja sekalian, biar gue mati di tempat," kata Zema saat ia baru saja sadar dan menemukan Kania duduk di sisi ranjangnya.

Mata Kania membelalak mendengar penuturan Zema. Bukankah seharusnya anak kecil ini bersyukur masih diberi kesempatan hidup kedua oleh Tuhan? Untung saja lukanya tidak parah, kenapa justru ia meminta dilindas sekalian? Apa dirinya pikir Kania mau dicap sebagai seorang pembunuh seumur hidupnya? Oh, tentu tidak. Sepanjang hidupnya dicap sebagai anak manja yang tidak bisa melakukan apa-apa dengan baik dan benar saja sudah membuatnya sakit hati, apalagi jika ia dicap sebagai seorang pembunuh, bisa-bisa Kania memilih untuk meminum es kepal bercampur dengan sianida.

"Sembarangan aja mulut lo kalo ngecablak! Seharusnya lo bilang terimakasih sama gue karena sudah bawa lo ke rumah sakit, ngerawat lo dan bayar semua biaya rumah sakit lo," terang Kania dengan emosi yang mulai bangkit di dalam dirinya.

Zema hanya tersenyum sinis dan Kania semakin ingin mementung kepala bocah ini. Bagaimana cara orangtuanya mendidiknya hingga kelakuannya menjadi seperti ini? Hidup sebagai seorang piatu dan hanya memiliki ayah pun seharusnya anak tidak seperti ini kelakuannya, pikir Kania dalam hati. Namun yang bisa ia tunjukkan di depan Zema hanya gelengan pelan kepalanya.

"Gue nggak minta lo selamatin. Jadi jangan banyak berharap."

Demi warga Bikini Bottom yang masih mandi walau mereka tinggal di dalam air, Kania benar-benar tidak bisa menahan emosinya. Amit-amit jabang bayi, punya anak seperti Zema ini. Memiliki anak seperti Zema ini bukan menjadi anugerah, yang ada justru menjadi cobaan lebih parah lagi justru menjadi musibah. Kini Kania semakin menyadari kenapa banyak orang memilih child free karena memiliki anak jika kelakuannya seperti Zema ini lama-lama mereka bisa mati muda. Belum jadi merasakan indahnya masa pensiun, mereka harus selesai kontrak hidup terlebih dahulu.

"Iya, lo enggak minta, tapi sebagai manusia gue punya hati nurani. Gue enggak akan tega biarin lo tergeletak di jalan begitu aja."

Zema masih tersenyum sinis ketika mendengar penuturan Kania. "Lo sudah tolongin gue, tapi lo lihat 'kan, bokap gue datang aja enggak. So, sudah paham 'kan lo kenapa gue lebih baik mati?"

Bajilak......
Kania benar-benar tidak tahan kepada Zema. Ia berjalan mendekati Zema dan kini ia pegang kedua pipi Zema hingga bibir Zema mengerucut. Mata Zema membelalak melihat apa yang Kania lakukan kepadanya namun ia memilih untuk diam.

"Dengerin gue baik-baik. Selagi lo punya kesempatan hidup, jangan pernah lo sia siain itu," setelah mengatakan itu semua, Kania melepaskan kedua tangannya yang ada di pipi Zema.

Tanpa memperdulikan ocehan Zema di belakangnya, Kania memilih keluar dan menemui Mikha yang sudah ada di resto rumah sakit terlebih dahulu untuk makan siang. Ia tidak mau ambil pusing dengan kelakuan Zema. Setidaknya ia harus merawat Zema hingga Papanya bisa dihubungi dan datang ke tempat ini. Untuk menjalankan itu semua yang Kania butuhkan saat ini adalah perutnya kenyang agar ia tidak mudah terpancing emosi saat menghadapi bocah tengil berwajah tampan itu. Yang entah kenapa wajah Zema terasa tidak asing bagi Kania sejak awal melihatnya.

***

Julien baru saja keluar dari ruang meeting sebuah hotel bintang lima di pulau Dewata, Bali. Kali ini meeting dengan para distributor berjalan dengan baik. Cepat-cepat ia menghidupkan handphonenya dan ternyata sudah banyak panggilan tak terjawab dari sekolah Zema, Wali kelas Zema bahkan guru olahraga Zema. Julien menghela napas panjang dan sedang berpikir tentang kelakuan apalagi yang Zema lakukan di sekolah hingga membuatnya sampai dihubungi berkali kali seperti ini? Julien sampai bosan karena ia harus berkali kali dipanggil oleh guru BK serta wali kelas Zema. Mungkin sebulan bisa dua sampai tiga kali ia mengapeli guru BK Zema karena kelakuan badung sang anak. Poin yang di kumpulkan Zema di sekolah mungkin cukup untuk ditukar hadiah boneka di Timezone. Dengan berat hati akhirnya Julien mencoba menelepon sang wali kelas yang bernama Arwati. Walau dalam hatinya ia malas berhubungan dengan Arwati namun tentunya Arwati salah satu orang yang tidak bisa ia hindari. Julien tahu Arwati menaruh hati kepadanya, apalagi ketika Arwati tahu jika dirinya adalah seorang duda. Sungguh, Julien berharap dulu ketika Zema naik ke kelas tiga, ia akan berganti wali kelas, namun sayang harapan tak seindah kenyataan yang menyapanya. Kini Arwati menjadi wali kelas Zema lagi untuk yang kedua kalinya. Julien masih menunggu beberapa saat hingga akhirnya telepon itu di angkat pada deringan ketiga.

"Hallo, selamat sore Bu Arwati," sapa Julien kepada Arwati.

Mungkin Julien tidak tahu dan tidak merasakannya jika di ujung telepon jantung Arwati sedang berdebar debar tidak karuan saat mendengar suara Julien yang seksi di telepon sore itu. Bagai mimpi di sore hari yang menjadi kenyataan bagi Arwati, Julien meneleponnya walau itu hanya menyangkut urusan anaknya.

"Ee....e..halo, Pak Julien," jawab Arwati dengan susah payah karena lidahnya terasa kelu.

Julien hanya tersenyum dan ia tidak mau membuang waktunya yang berharga kali ini. "Ada masalah apa, Bu? Kenapa menelepon saya sampai berkali kali?"

Arwati yang mendengar itu semua hanya bisa menghela nafas. Feeling-nya mengatakan jika Julien belum mengetahui kondisi putra semata wayangnya.

"Apa Pak Julien belum tahu jika Zema kecelakaan tadi pagi?"

Satu detik....

Dua detik.....

Tiga detik....

Jantung Julien serasa menabrak tulang rusuknya kali ini. Apa yang di katakan Arwati seolah menjadi sebuah gempa bumi dahsyat di hidupnya. Anaknya, satu-satunya orang yang ia cintai dengan tulus di dunia ini mengalami kecelakaan?

"What?"

"Iya, Pak. Zema mengalami kecelakaan tadi pagi dan sekarang dia ada di rumah sakit....," Terang Arwati lebih lanjut namun Julien sudah tidak bisa mendengar itu semua lagi.

Kini ia bergegas berjalan menuju ke ruang resepsionis untuk meminta dibooking-kan tiket pulang ke Jakarta. Ia harus segera menemui Zema. Dalam hati Julien terus berdoa agar anaknya tidak mengalami hal buruk. Tangan Julien terus mencoba menelepon Zema yang ternyata nomernya sudah tidak aktif. Pikiran Julien benar-benar kalut saat ini. Ia bisa gila atau bahkan mati jika Zema sampai menyusul ibunya yang bernama Putri ke alam baka.

Arwati yang merasa bawa ia telah diabaikan Julien langsung menutup teleponnya. Tidak perlu menjadi cenayang, Arwati sudah bisa menebak jika Julien sedang panik kali ini. Karena kemungkinan Julien tidak bisa mendengarkan pembicaraan mereka dengan baik di akhir-akhir percakapan itu, Arwati berinisiatif mengirimkan pesan kepada Julien tentang lokasi rumah sakit Zema dirawat.

***

Seducing Mr. Julien Where stories live. Discover now