4. Senasib beda cerita

130 8 1
                                    

Kania menatap anak yang tadi pagi ia tabrak dengan pandangan prihatin dan sedih. Ia sudah menitikan air matanya berkali kali. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan bahwa anak yang bernama Javier Nazema Putra Satria itu mengalami retak pada kakinya. Pihak rumah sakit dan dirinya sudah berusaha mencari nomer telepon keluarga, namun tidak ditemukan satupun di dalam handphonenya. Tidak ada nomer telepon ayah, apalagi ibunya. Sungguh, sesuatu yang aneh bagi Kania.

Ya Tuhan, Kania benar-benar bisa gila saat ini. Andai ia sanggup pasti ia akan meninggalkan Zema dan mendatangi sekolahnya untuk mencari tahu, sayangnya ia tidak bisa meninggalkan Zema. Saat ini Kania hanya menyandarkan dagunya pada pinggiran ranjang yang di tiduri Zema. Zema masih belum sadar. Kania masih menunggu hasil MRI kepala Zema dengan semua biaya rumah sakit Kania lah yang menanggungnya.

"Kan," panggil Mikha yang membuat Kania menoleh ke belakang.

Kania hanya tersenyum. Sungguh, ia beruntung masih memiliki Maureen dan Mikha di hidupnya walau kedua orangtuanya telah meninggal dunia.

"Ya?"

"Gue udah telepon sekolahnya nih bocah, mereka baru mau cari info tentang keluarganya. Nanti dari pihak sekolah akan ke sini juga secepatnya."

Kania memilih menganggukkan kepalanya dan kini ia kembali terisak. Ya Tuhan, jangan sampai hasil tes MRI kepala anak ini buruk. Kania benar-benar takut. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di depan nanti jika anak ini mengalami hal buruk karena dirinya.

Tanpa Kania sadari ia akhirnya menangis kembali dan Mikha yang melihat itu hanya bisa memeluk Kania sambil mengusap usap punggungnya naik turun. Mikha ingat bagaimana hancurnya Kania ketika ia harus kehilangan kedua orangtuanya akibat kecelakaan pesawat beberapa tahun lalu. Anak tunggal yang manja dan terbiasa mendapatkan curahan kasih sayang ini kini hanya hidup seorang diri. Walau harta melimpah dari segala aset peninggalan kedua orangtuanya, uang asuransi, belum dari pihak maskapai juga, namun sepertinya itu tidak membuat Kania hidup bahagia setelah orangtuanya tiada.

Telinga Zema merasa bising dengan suara tangisan pilu seorang wanita. Pelan-pelan ia membuka matanya dan yang ia temukan adalah dua orang wanita dewasa yang sedang berpelukan. Zema masih tidak mengerti kenapa wanita ini menangis seperti ini.

"Gue tahu banget rasanya kehilangan keluarga itu seperti apa. Gue sudah nggak punya siapa-siapa, Mik. Gue nggak mau juga jadi penyebab keluarga lain merasakan hal yang gue rasain," kata Kania di sela-sela tangisannya.

Mikha menaruh rambut Kania di belakang telinganya. Saat melihat kedua wanita itu sudah mulai mengurai pelukannya, Zema berpura-pura tertidur kembali. Dalam hatinya Zema berpikir, ternyata bukan hanya dirinya saja yang merasa sendirian di dunia ini setelah kepergian sang Mama. Memang dulu Mama serta Papanya sudah tergolong pasangan sibuk dan jarang memiliki waktu untuknya. Namun setelah sang Mama meninggal dunia karena kecelakaan pesawat beberapa tahun lalu, Zema semakin merasa bahwa dirinya benar-benar sebatang kara karena Papanya terlalu larut dalam kesibukannya untuk menimbun pundi -pundi rupiah.

***

Pagi ini Julien baru saja tiba di bandara Ngurah Rai Denpasar, Bali karena ia harus menghadiri acara meeting dengan para distributor. Sebagai seorang direktur pemasaran tentunya pekerjannya tidak semudah dan seenak yang di pikirkan banyak orang. Untuk mencapai ini semua ada harga yang harus dibayar mahal. Ya, Julien menyadari ia bukan sosok Papa yang baik untuk Zema. Namun jika ia tidak bekerja bagaimana ia akan bisa memberikan kehidupan yang layak dan masa depan yang baik untuk Zema?

Setelah perjalanan sekitar empat puluh menit dari Bandara, akhirnya Julien tiba di sebuah ruang meeting di hotel berbintang lima yang ada di pulau Dewata ini. Julien harus mematikan handphone miliknya karena ia paling tidak suka jika acara meeting diganggu oleh bunyi telepon atau pesan-pesan yang masuk ke nomer handphone miliknya.

"Nggak aktif, Bu nomernya Papanya Zema. Ini bagaimana, ya?" Tanya Anton guru olahraga yang pagi ini datang ke rumah sakit bersama wali kelas Zema.

Mereka berdua sedang bertemu dengan Kania yang notabennya adalah penabrak muridnya.

Arwati, guru wali kelas Zema yang biasa dipanggil dengan ibu Wati hanya menghela nafasnya dan menggelengkan kepalanya. Ia lalu menatap Zema yang masih berbaring sambil tidur di atas ranjang. Malang betul nasib muridnya ini. Lahir sebagai anak orang kaya ternyata tidak membuat kehidupan seorang anak itu sempurna dan tak kekurangan satu apapun.

Kania merasa ingin bertanya dimana ibunya Zema karena sejak tadi yang di sebut oleh Anton dan Wati adalah Papanya Zema.

"Maaf, Bu, Pak. Bagaimana coba kalo kita telepon Mamanya saja?"

Kini Anton dan Wati saling berpandangan sebentar lalu mereka menatap Kania lagi sambil tersenyum.

"Mamanya sudah meninggal tiga tahun lalu. Papanya tidak menikah kembali setelah itu, namun ia terlalu sibuk mengurus pekerjaan sehingga kadang ia sulit membagi waktunya."

"Selama ini siapa yang mengurus Zema kalo Papanya sibuk?"

Wati menggelengkan kepalanya. Ia tidak terlalu tahu siapa yang mengurus Zema di rumah.

"Saya tidak tahu pasti, tapi kemungkinan besar adalah para asisten rumah tangga. Zema jarang pulang tepat waktu. Ia lebih sering menghabiskan waktunya di lapangan basket sepulang sekolah, lalu ketika sore ia akan pergi ke lapangan bola di dekat sekolah atau nongkrong bersama teman temannya."

Kenapa Kania menjadi ingin menangis ketika mendengar ini semua? Ia akhirnya menoleh dan mendekati ranjang Zema. Ia tinggalkan Anton dan Wati di pojokan ruangan. Ia amati anak ABG yang terlihat tampan dan gagah untuk anak seusianya ini. Tak pernah Kania bayangkan sebelumnya jika hidup Zema sebegini malangnya. Kemungkinan kehidupan Zema bahkan lebih malang dari dirinya. Kania mencoba duduk di pinggiran ranjang Zema dan ia mengambil tangan Zema lalu ia tempatkan di atas pahanya. Ia genggam tangan Zema yang hangat dan lembut ini. Tanpa Kania sadari air matanya menetes dan jatuh di atas punggung tangan Zema.

"Zema, Mbak tahu kalo kita belum kenalan. Mbak minta maaf karena sudah membuat kamu harus terbaring di atas ranjang rumah sakit ini. Sebagai bentuk rasa tanggung jawab Mbak Kania atas kondisi kamu, Mbak akan rawat kamu sampai kamu sembuh seperti sedia kala. Kamu jangan sedih dan merasa sendirian di dunia ini karena kita senasib hanya beda cerita. Kamu masih punya Papa, kalo Mbak sudah yatim piatu," setelah mengatakan itu, Kania mencoba menghapus air matanya.

Zema yang tidak tega mendengar kata-kata Kania akhirnya membuka matanya pelan-pelan. Ternyata wanita yang tadi menangis kini sudah duduk di pinggir ranjangnya. Walau usianya masih muda dan belum banyak makan asam garam kehidupan, Zema bisa merasakan ketulusan Kania. Mungkin pembicaraan Kania, Anton dan Wati yang ia dengar sayup-sayup itu yang membuat Kania menjadi seperti ini. Walau Kania tulus, namun pantang bagi Zema untuk terlihat mengenaskan serta perlu dikasihani orang lain.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 23 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Seducing Mr. Julien Where stories live. Discover now