5 - Guilty

121 43 6
                                    

BEN berdiri di ambang pintu dengan payung di salah satu tangan.

"Kita sarapan di rumah Nyonya Donna. Sekalian ambil surat perjanjian."

Menyambut hujan di hujan gugur bukan hal baru bagi Alder. Ben biasanya mewanti-wanti pria itu menyiapkan pakaian hangat dan sepatu waterproof sejak akhir musim panas agar tak kerepotan beraktivitas di luar ruangan. Terutama saat jadwal syutingnya padat dengan berbagai acara yang harus dikunjungi di sela-sela jam istirahat.

Tahun ini jelas berbeda. Jika Newsland menyuguhkan kesan romantis di tengah kepadatan kota, Ruenne menguarkan atmosfer sendu yang kentara. Arakan awan mendung. Daun-daun basah yang berserakan di tepi jalan. Jumlah kendaraan yang lalu lalang pun turut berkurang drastis.

Satu hal yang mengejutkan, situasi ini justru cocok dengan suasana hati Alder.

Kehangatan merengkuh tubuh Alder kala dia memasuki rumah Donna lewat pintu belakang. Mereka sengaja mengambil jalur tersebut untuk menghindari toko di bagian depan hunian. Di meja makan, tersaji panci berisi creamy corn soup dan potongan roti tawar. Akan tetapi, sosok yang mengundang mereka tak ada di sana.

"Oh, kalian sudah sampai." Alder menengadah. Dari dapur, Niv muncul bersama seteko teh. "Mama lagi ada urusan di rumah temannya, jadi dia enggak bisa gabung. Kalian bisa sarapan duluan. Aku mau beres-beres di depan, terus ambil surat."

Di antara denting sendok dan kepulan asap sup, Alder menyantap sarapan dalam diam; membayangkan kehidupannya selama empat bulan ke depan di Ruenne. Dia harus membiasakan diri dengan berbagai hal: menyiapkan makan, mengisi waktu luang, dan ekstra hati-hati saat keluar paviliun. Apalagi Ben hanya akan datang satu atau dua kali seminggu.

"Apa aku akan baik-baik saja?" Alder mengambil sepotong roti. "Meski bukan kali pertama kita bikin perjanjian, situasinya berbeda. Pelarian ini bisa jadi kali terakhir publik melihatku sebagai aktor."

"Alder, my dude." Terdengar kecemasan dalam suara Ben. "Publik tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka telanjur menelan narasi yang disajikan media-media liar itu. Aku dan tim harus menunggu timing yang pas supaya kamu terhindar dari framing yang semakin menjatuhkan imejmu."

Alder mendesis. "Ada kabar dari keluarga Nyonya Sol?"

"Belum, belum. Manajemennya minta kita jaga jarak sementara waktu."

"Aku cemas dengan kondisi kesehatan Tuan Elio. Kali terakhir ke sana, dia belum benar-benar pulih dari serangan strokenya."

"He's a strong man. Tim dokter yang menanganinya datang dari rumah sakit terbaik," ujar Ben. "Aku pastikan juga slot posisimu buat mengisi film biopic-nya aman."

Film biopic itu—Alder menghentikan suapan terakhirnya. Namanya menjadi kandidat terkuat di antara aktor-aktor yang masuk bursa pemilihan. Selain karena kedekatannya dengan Elio, sejumlah pengamat di industri film menilai dia siap bermain di genre yang lebih serius.

Namun, setelah skandal beruntun minggu lalu, Alder ragu mereka mempertahankan pendapatnya.

"Maaf menunggu lama." Suara Niv menahan Alder dan Ben meneruskan obrolan. Di tangan gadis itu, terdapat folder berisi surat perjanjian yang dimaksud. "Aku dan Mama membahas poin-poin kesepakatannya. Sejauh ini enggak ada yang mengganjal atau membebani, kecuali kalau mendadak ada perubahan."

Ben menerima folder yang diulurkan Niv. "Good to hear that. Untuk detail lain seperti pembayaran akan saya kirimkan lewat email. Sudah tercantum semua di sini, kan?"

"Silakan cek lagi untuk memastikan."

Niv menduduki kursi di hadapan Alder, lalu mengambil semangkuk sup dan dua lembar roti tawar. Selepas reuni singkat kemarin, Alder belum bisa mengenyahkan kecanggungan yang disembunyikan mati-matian dengan bersikap sok selengean. Dia bukan lagi bocah yang dapat bertindak sesuka hati saat kariernya sedang di ujung tanduk.

I Never Signed Up for ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang