Syafika dituntut untuk menjadi seperti kakaknya yang sukses di dunia kerja. Dia harus meraih nilai sempurna, peringkat satu setiap semester, dan mempertahankan beasiswa. Tentu saja dia merasa tertekan. Sisi monster dalam dirinya ingin mengamuk, teta...
Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.
Jujur, rasa sakit itu akan tetap ada.
Seperti saat ditinggal di tengah gelapnya jalan malam, Afi berjalan ke arah sebaliknya, berharap menemukan perumahan warga dengan lampu yang menerangi jalan.
Itulah dirinya sekarang, berjalan sendirian untuk masa depannya, tetapi sudah menemukan hal yang menerangi hidupnya.
Hampir tujuh tahun kenangan itu sudah berlalu, kini Afi sudah bekerja di suatu perusahaan jasa sebagai seorang akuntan. Berhasil menyelesaikan sekolah dan kuliahnya tanpa terganggu rasa suka terhadap laki-laki.
Mendekati mati rasa, baginya. Banyak yang mendekatkan diri, tetapi Afi belum bisa membuka hati lagi. Benar-benar fokus dengan tujuan dan menyingkirkan segala hambatan.
Orang tuanya sudah bangga. Sudah tak ada lagi ekspektasi terlalu tinggi terhadapnya. Sudah tak ada juga rasa kecewa karena nilai rendah dan sebagainya. Yang penting bagi mereka sekarang, Afi sudah sukses bekerja dan mendapat gaji setiap bulannya. Kalau kebahagiaan? Tinggal Afi sendiri yang menentukan.
Jika ditanya, apakah sampai sekarang dia masih menunggu Gio kembali? Entahlah, dia sudah mencoba untuk tidak berharap. Hampa.
Gio sudah tidak aktif lagi di jagat media sosial. Tak pernah mengirim sebuah foto ke feed Instagram, sesekali hanya story, tetapi itu minimal tiga bulan sekali. Padahal dulu, sebelum dipaksa untuk bersama Rofira, cowok selalu aktif mengabadikan momen.
Gio menjadi susah untuk dilacak. Kerja di mana dia sekarang? Dulu lanjut kuliah atau tidak? Fakultas apa? Jurusan apa?
Sejak hari pengumuman peringkat itu, Afi tidak pernah berbicara lagi dengan Gio sampai lulus. Kelas mereka selalu terpisah, atau lebih tepatnya dirancang untuk dipisahkan.
Lantas, buat apa Afi menunggu bukan? Perasaan itu perlahan sirna, tetapi rasa sakitnya masih ada. Rasa sesal yang menyatakan bahwa aslinya mereka bisa bersama itu masih terperangkap di dalam jiwa.
Di sebuah kafe yang terletak di dekat rumahnya, kini Afi duduk menikmati akhir pekan, sendirian menunggu para teman-temannya untuk datang. Dia bisa berbahagia dan perlahan melepas Gio.
Namun, kemunculan mendadak pria itu di kafe membuat dirinya tidak bisa berkutik. Kilas balik kisah masa lalu terputar di kepala, membuat pertahanan yang selama ini Afi buat untuk melupakannya dan tidak berharap lagi menjadi hancur luluh. Gio kembali?
Afi kontan mengucak dan mengerjapkan mata, memastikan itu bukan halusinasi. Oh jantungnya, lama sekali dia tidak pernah merasakan getaran gugup itu.
Afi salah tingkah, menutup wajahnya dengan sebuah majalah yang ada di atas meja ketika Gio lewat di sebelah mejanya.
Percuma saja, Gio memang datang untuk menemuinya. Dia terlihat mengenakan sebuah kemeja berwarna biru muda yang dibagian lengannya dilipat sampai ke siku dengan bawahan celana hitam. Rambutnya belah samping kanan. Terkesan rapi dan lebih berkarisma.