Jadi bagaimana dengan tujuanmu di awal? Sudah bertemu dengan ayahmu? Pasti kamu kaget begitu tahu kalau ayahmu selama ini telah menyembunyikan sesuatu darimu bukan?

Ibu tahu semenjak Evans pergi dari rumah, kamu bertanya-tanya alasannya. Dan maafkan ibu karena tidak memberitahumu dari awal karena Evans sendiri yang meminta ibu untuk tidak memberitahukannya.

Jika urusanmu di sana sudah selesai, bisakah kamu memenuhi permintaan ibu sekali saja? Ada hal yang ingin ibu beritahu padamu secara langsung. Ibu mohon pulanglah, Joohwa.

Hampir sebulan ini, ibu tak punya teman di rumah. Walau saudari-saudari ibu pernah datang berkunjung dan menawari untuk menemani ibu di rumah. Tapi ibu menolaknya dan merasa akan menambah perbincangan para tetangga. Apalagi semenjak kamu pergi, keadaan di sini sungguh runyam.

Ibu mendapat tekanan dari orang-orang sekitar. Mengatai ibu dengan berbagai macam versi sehingga ibu merasa muak dan selalu menghabiskan waktu mendekam di rumah.

Jika kamu merasa senang dengan ayahmu di sana, setidaknya kunjungilah seseorang yang telah melahirkan dan merawatmu ini di sini. Ibu harap kamu mau mengikuti permintaan ibu, Joohwa. Bila kamu bersedia pulang, ibu akan sangat senang mendengarnya.

Dari ibumu tersayang,
Lim Seo Mi

Joshua menggenggam kertas itu hingga kumuk. Perasaan terkekang kembali bangkit.

Ketika membaca surat tersebut, bukan lagi sebuah permintaan melainkan sebuah perintah. Dugaannya sudah betul sejak tadi dan firasatnya kali ini benar.

Joshua tersenyum miris begitu sang ibu menyentilnya di tulisan dengan mengira tengah bersenang-bersenang bersama sang ayah. Padahal realita tidak berkata demikian.

Ayahnya sepanjang minggu ini sangat sibuk. Percuma saja Joshua mengikuti perkataan Umar tempo lalu, malah yang ada tidak membantu apapun.

Akan tetapi, Joshua merasa sang ibu tidak main-main dalam mengirim surat ini. Dengan ibunya menceritakan bagaimana kondisi di sana, sukses membuat hati Joshua sedikit melunak.

Bahkan pemuda itu sangat penasaran apa yang mau Seo Mi sampaikan padanya bila pulang nanti.

Bergegas dia beranjak dari kasur kemudian mengambil ransel yang tergantung pada paku dinding dan beberapa pakaian dari lemari kayu, dan beberapa barang lainnya untuk dimasukkan ke dalam ransel.

Kebetulan pula visa paspornya sebentar lagi akan habis.

***

***

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.

***

"Kamu mau pulang? Sekarang? Apa nggak bisa besok saja pulangnya, Joshua?" Pertanyaan beruntun dilontarkan langsung oleh Budiman.

Sementara Mbok Susi yang berada di antara mereka, mengerling-ngerling.

Joshua menunduk, menyampirkan ransel yang melorot ke pundak.

Usai keluar dari kamar, tadi dia langsung menemui pria renta itu di ruang tamu tengah mengobrol bersama tantenya.

Begitu Joshua berkata ingin pamit pulang ke rumah sekarang juga, Budiman dan Mbok Susi lekas bangkit dari sofa, mata mereka memelotot lalu saling bertukar pandang satu sama lain. Seolah menunjukkan keengganan terhadap hal-hal yang datang secara tiba-tiba.

"Lagipun nggak seharusnya saya berlama-lama lagi di sini, Pak."

Budiman lantas menggaruk kepala yang tak gatal.

"Pasti ibumu yang minta kamu pulang kan? Di surat yang tadi?"

Joshua mengangguk.

"Iya, Pak. Memang ini agak mendadak, tapi saya harus pulang. Saya nggak bisa biarkan ibu saya sendirian di sana lagi. Sama ... visa paspor saya juga bentar lagi bakal habis."

Budiman melirik ke arah tantenya tepat di samping.

Mbok Susi menghela napas panjang kemudian memberikan kode kecil berupa anggukan pelan. Setelah mendapat persetujuan, Budiman kembali melirik ke lawan bicara di hadapan.

Budiman sedikit kesulitan melepas seseorang yang menurutnya cukup berkesan. Seseorang itu adalah anak dari temannya sendiri.

Meski di hati kecil berkata anak tersebut banyak merepotkan, terus-terusan hidup menumpang mandi, makan, tidur, serta keperluan lain tanpa berpikir rumah siapa ini.

Akan tetapi, di balik sesosok itu dia menemukan seorang pemuda yang pantang menyerah. Berjiwa terus belajar dan ingin memperbaiki kesalahan apapun begitu karyanya dikritisi.

Budiman berpikir, ambisi Joshua sungguh luar biasa. Tak banyak orang yang tahu jika pemuda tersebut memiliki kepribadian seperti itu. Dan Budiman salah satu saksinya.

"Kamu mau saya antarkan ke bandara?" tawar Budiman.

"Nggak perlu Pak Budi. Saya bisa—"

Belum sempat Joshua menyelesaikan kalimatnya, Budiman buru-buru memotong.

"Nggak apa-apa. Kamu sudah beli tiket pesawatnya atau belum?"

Payah.

Joshua lupa akan hal satu itu.

Gaji yang dia pakai sebagian dihabiskan untuk ongkos angkutan umum. Sisanya dia simpan. Yang sebetulnya tidak dapat mencukupi untuk membeli tiket pesawat.

Dasar naif. Terlalu mengentengkan sesuatu yang bisa kapan saja dianggap genting. Lagi-lagi sifat impulsif itu kambuh.

Joshua sontak memegang kepalanya.

"Oh ... Gimana kalau saya saja yang belikan tiket pesawatnya?" Budiman kembali menawar yang langsung dibalasi gelengan oleh Joshua.

"Jangan ditolak, anggap saja ini sebagai hadiah perpisahan dari kami berdua," ujar pria renta itu penuh harap.

Joshua melirik keduanya.

Budiman dan Mbok Susi tersenyum sumringah. Menolak sama saja tidak tahu terima kasih atas segala bantuan yang diperoleh dari mereka. Maka dari itu, Joshua membalas senyuman keduanya kemudian mengangguk.

"Terima kasih sudah banyak ngerepotin, Nenek dan Bapak."

Budiman lantas terkekeh-kekeh. Begitu juga Mbok Susi yang berusaha menahan tawa agar tidak terdengar keras. Lekas mereka bertiga berjalan bersisian menuju teras depan pintu rumah.

"Sama-sama."

Budiman mengurai tawa kemudian merangkul pundak pemuda tersebut lalu membawanya menuju ke halaman samping rumah tepat dimana mobil pick up itu berada.

"Satu hal yang ingin saya sampaikan. Jangan pernah lupakan jasa-jasa orang yang sudah membantumu selama kamu berada di sini, Joshua. Nggak peduli apakah bantuan mereka berguna atau nggak."





Hlm 30 | Jendela Joshua

Jendela Joshua (End)Место, где живут истории. Откройте их для себя