22. Hanya Angan, Mustahil Akan

65 11 5
                                    

Raga, Deo, dan Gery sedang berada di kantin. Mereka segera mencari tempat untuk duduk dan memakan makanan yang sudah dipesan.

"Huh! Rada depresi sedikit, tapi enggak apa-apa paling sebentar lagi gila," celetuk Gery setelah menghela napas kasar.

"Enggak apa-apa, kita ini orang-orang yang udah dipilih," balas Deo sambil menepuk beberapa kali bahu Gery.

"Iya, dipilih untuk pusing," timpal Raga kemudian meminum air putih dingin hingga tersisa setengah.

"Nah, kan. Seorang Raga aja pusing apalagi kita, matematika ini memang mengadi-ngadi," ujar Gery dengan menggebu-gebu.

Deo yang sudah sangat lapar memilih fokus pada ayam geprek miliknya, memakannya dengan khusyuk.

Sementara itu, Leon yang baru saja sampai di kantin mengedarkan pandangannya mencari keberadaan para sahabatnya. Setelah mengamati beberapa orang, akhirnya ia bisa menemukan di mana mereka berada.

"Buset makannya lahap amat, De. Puasa setahun lu," ucap Leon sambil mengamati cara Deo makan.

"Laper gue," balas Deo disela-sela acara makannya.

Leon menggelengkan kepalanya, "Ck, ini dua orang juga. Kenapa kusut banget mukanya?"

"Otak kita lagi ngebul, habis ngerjain matematika," balas Raga lalu memasukkan satu sendok es krim rasa matcha ke mulutnya.

"Kenapa enggak bolos aja?" Gery memukul lengan Leon menggunakan botol milik Raga dengan pelan.

"Ajaran sesat."

"Gabung-gabung, dong."

Semuanya menoleh kepada Anindya yang berdiri didekat mereka sambil menampilkan senyuman lebarnya juga dengan tangan yang membawa satu porsi nasi goreng, di samping kanan gadis itu ada Tasya yang juga membawa makanan.

"Sini duduk," sahut Leon mengintruksi kedua gadis itu untuk duduk.

Anindya dan Tasya mengangguk, mereka berdua kemudian menaruh makanan masing-masing di atas meja lalu segera duduk.

"Lagi ngebahas apaan, sih," ucap Tasya penasaran.

"Bahas matematika tadi," jawab Gery mewakili.

Tasya mengangguk paham, pelajaran matematika wajib tadi memang sangat membuat kepala berdenyut. Bahkan, tak jarang guru matematika menyarankan kepada para muridnya untuk membawa obat sakit kepala.

"Emang bikin migrain, sih," celetuk Tasya pelan.

"Betul sekali," balas Gery penuh semangat.

"Sabar, itung-itung jalan menuju sukses," timpal Anindya membuat semuanya mengusap wajah masing-masing dengan kedua tangan.

"Aamiin," seru mereka berbarengan.

"Ngomong-ngomong, kalian ada yang sama nggak, sih, kayak ... suka aja gitu ngomingin masa depan," ucap Deo, dirinya telah selesai makan.

Tasya mengangguk dengan penuh semangat, "Sama, seru kalo ngebahas masa depan."

"Apalagi kalo ngomonginnya bareng orang tua dan mereka ngedukung cita-cita kita."

Mendengar ucapan dari Gery, binar cerah di mata Anindya seketika redup. Bibir yang tadinya tersenyum manis langsung berganti dengan senyuman kecut, ucapan Gery memang takada yang salah. Namun, kalimat itu mengingatkan Anindya pada kedua orang tuanya yang tidak pernah mendukung dirinya dalam menggapai cita-cita.

"Nin, di masa depan nanti lu pengen jadi apa?" Tasya menatap Anindya yang diam sejak tadi, bahkan ... pertanyaan darinya pun mungkin hanya terdengar seperti bisikan angin.

TOPENG ANINDYAWhere stories live. Discover now