Proses Pendekatan Tujuh

108 9 10
                                    

Setelah aku memberikannya lampu hijau secara tersirat itu, Murayama-san gencar menanyaiku lewat pesan ataupun di sela-sela obrolan kami. Sepertinya aku pengecut. Sebab berkali-kali aku menghindar dari obrolan yang menjurus ke sana.

Bukannya apa, aku setidaknya belum siap untuk mengiyakan. Iya berarti aku setuju, lalu kami resmi berpacaran.

Kedengarannya terlalu sombong, tapi aku belum butuh dan tidak tahu juga mengapa kami mesti berpacaran. Maksudku, kenapa kalau kita suka seseorang harus punya hubungan? Agar ada hak paten? Atau bagaimana?

Kalau memang benar hak jawabannya, entah mengapa itu mengerikan.

Hak sendiri memiliki arti kepunyaan atau kewenangan. Itu seperti mereka siap memerintahkanmu apa saja. Dan seluruh hidupmu berada di tangannya.

Selain itu juga, aku punya alasan lain mengapa hubungan pacaran sendiri tidak masuk daftar keinginan.

Menurut beberapa cerita dari pihak perempuan di sekolahku, mereka berpacaran tak kenal waktu. Bertemu setiap hari, belum lagi saling bertukar kabar lewat telepon atau pesan. Wajib membalas tepat waktu dan izin terlebih dulu kalau mereka mau pergi kerja kelompok. Alasannya aneh, sebab mereka tidak dibolehkan berduaan dengan laki-laki selain pacarnya.

Satu kata, ribet!

Demi Tuhan, aku tidak akan berpacaran seumur hidupku kalau memang menjalin hubungan dengan manusia sebegitu susahnya.

Namun, satu lagi yang tak habis kupikir. Mereka—perempuan-perempuan itu pun hanya mencerocos perihal masalah pacarnya yang begitu posesif, tapi tidak bisa mengambil langkah tegas—putus. Alasannya membuatku kepingin menampar wajah mereka, karena masih sayang dan cinta.

Kalau cinta membuatku bodoh, aku lebih baik menjadi mati rasa.

"Kau terlalu memakai logika," kata teman sekelasku. Hari ini, aku dan dua orang teman bertemu di sekolah setelah seharusnya kami sudah tidak mempunyai urusan apa pun. Kehadiran kami di sekolah tidak ada gunanya, hanya memberikan sumbangsih untuk pemasukan kantin sekolah.

Singkat kata, aku memberikan pernyataan yang simpel perihal kedekatanku dengan seorang laki-laki, tetapi aku juga tidak tahu dengan hubungan kami. Beberapa alasan kujabarkan. Lalu, ia membalasnya pakai kalimat yang menyatakan kebenaran.

"Memang aku selalu menggunakan logika, agar aku mempertimbangkan segala sesuatu. Memangnya itu salah?"

Ia melirikku seperti menatap monyet yang sedang menggonggong. Terkejut sekaligus tak percaya.

"Kau betulan bilang begitu?"

"Hm? Kenapa, sih? Kenapa cara kau menatapku seolah-olah aku telah melakukan dosa besar."

Sekali dehaman, ia menatapku dalam. Aku kikuk sekali ditatap sedemikian rupa. Ia seakan-akan hendak menelanjangiku di tempat.

"Oh, ayolah, sesekali gunakanlah hatimu. Kau perempuan, seharusnya kau lebih berperasaan."

Hah? Apa katanya tadi? Tunggu-tunggu aku kepingin menjelaskan kalimatnya dulu. Dulu juga, entah kapan waktu lebih tepatnya, aku pernah mendengarkan kalimat semacam itu atau tulisan di suatu postingan? Pokoknya inti dari kalimatnya sama. Bahwa perempuan lebih cenderung menggunakan hati ketimbang otak. Sedangkan laki-laki justru malah sebaliknya.

Aku jelas tidak setuju. Sebagai makhluk yang diciptakan satu paket antara nurani dan akal, kupikir kedua gender itu bisa menggunakan keduanya tanpa pembeda.

Kesannya perempuan bodoh sekali. Dan kalau memang begitu adanya, berarti aku bukan perempuan, dong.

Namun, aku tidak mau berdebat. Jadi, kupendam saja rangkaian kalimat yang bergerak-gerak di kepala. Aku hanya diam dan mengganti topik obrolan.

Process of Loving Where stories live. Discover now