Proses Pendekatan Empat

71 9 9
                                    

Abu-abu. Warna yang menggambarkan diri manusia. Di mata mereka, aku hanya sisi putih yang lugu. Diam-diam di balik kegelapan di bawah bayang-bayang putih itu, tersimpan hitam pekat. Tanpa ujung, tanpa batas, mengerikan.

Selain diriku yang mempunyai bayangan di bawah gunung es itu, seseorang yang sedang berjuang mendekatiku juga sama.

Dengung kalimat memasuki kepala, soal Murayama-san yang begitu seram ketika ia mengamuk. Desas-desus itu sudah kudengar lama sekali.

Namun sekarang berbeda.

Sebab aku melihatnya sendiri.

"Sudah kubilang, aku tidak mau berkelahi denganmu, Todoroki-chan! Kenapa kau begitu keras kepala?!"

Hari pergantian ketua OSIS di sekolahku, aku senang sekali ketika lengser dan berencana memberikan kejutan pada Murayama-san. Mendatangi ke sekolahnya untuk yang kedua kali dalam seminggu belakangan.

Tetapi, kunjunganku sekarang sepertinya tidak di waktu yang tepat.

Kebrutalan tampak jelas di depan mata. Sekelompok anak laki-laki dengan beragam gaya pakaian urakan mengerubungi dua orang yang sedang berkelahi. Pertarungan itu terlalu kejam untuk dilihat mata orang awam.

Kakiku terpancang di depan gerbang. Memerhatikan lekat-lekat gerakan mereka yang gesit dan turut merasakan nyeri saat pukulan keduanya berhasil mengenai sasaran.

Menonton perkelahian secara nyata tidak seperti di film laga. Dua kali lipat lebih menakutkan sekaligus menakjubkan.

Ketakutanku tak sebanding dengan sesuatu yang merayap saat menilik keadaannya. Berantakan, penuh luka.

"Pergi dari hadapanku, Bangsat!"

Jatuhnya laki-laki lain di arena itu, menandakan berakhirnya perkelahian sengit yang aku amati. Bodohnya, paku tak kasat mata di kakiku lepas. Aku berderap, menghampiri Murayama-san yang babak belur. Pekikan orang-orang di sekitar tak aku hiraukan. Rupanya, mereka terkejut menemukan penyusup di teritori mereka.

"Murayama-san!"

"Heh? Apa yang kaulakukan di sini?"

"Siapa perempuan itu?!"

Tudung yang menutupi kepalaku terbuka ketika aku berlari. Rambutku terburai seketika. Meski penyamaran yang kugunakan sudah sangat bagus, memakai pakaian serba gelap dan masker yang melindungi muka, nyatanya aku sudah ketahuan.

Keributan berganti. Objeknya ialah aku yang mencoba memapah ketua mereka yang nyaris limbung.

"Aku akan mengobatimu."

Si Algojo mengikuti di samping kami. Ia juga menuntun sisi tubuh Murayama-san, sembari menunjuk ke mana kami mesti pergi dari keributan di lapangan depan itu.

"Biar kami saja yang mengobatinya."

"Tidak! Kumohon, izinkan aku mengobatinya kali ini."

Menampik ucapan berandalan, kemajuan yang bagus selama hidupku. Berdoa saja semoga esok hari ia tidak punya dendam sebab seorang gadis biasa berani-beraninya membantah.

Murayama-san tak mengusir orang itu. Empat laki-laki lain menyusul, membuka pintu dan duduk di sudut yang lain.

Di sana hanya ada es batu yang dimasukan asal ke plastik, diikat lalu ditempelkan langsung pada memar. Aku meringis dibuatnya.

"Untuk sementara, pakai ini dulu," kataku sembari menempelkan es batu itu ke muka Murayama-san, pelan. Terlalu pelan malah. "Jika kau bisa jalan, ayo kita ke minimarket! Atau, kau mau aku gendong?"

Process of Loving Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang