Bab 02.

45 18 0
                                    

Alunan musik terdengar menggema di penjuru masion. Seorang gadis dengan gaun polos yang setengah lusuh tengah menyapu lantai yang masih mengkilap. Walaupun sebenarnya lantai dan seisi masion ini masih bersih, tetapi ia tetap membersihkannya setiap malam. Hanya untuk melakukan aktivitas normal seperti cerita di buku yang di bacanya akhir-akhir ini.

Setelah melakukan segala rutinitas malamnya, ia memutuskan untuk memasuki ruang perpustakaan. Berjalan pelan menyusuri setiap barisan rak buku. Tangannya bergerak menyentuh ujung buku yang berada di bagian paling atas. Buku yang paling di sukainya. Sebuah buku lama yang menceritakan tentang makhluk mitologi di seluruh penjuru dunia.

Walaupun sudah beribu kali ia membacanya, tetapi tak sedikitpun ia merasa bosan. Bahkan di setiap kalimat dan halamannya saja masih membekas di ingatannya. Sempat terbesit di dalam pikirannya, bahwa mungkin saja dirinya adalah salah satu bagian dari mereka. Entah jenis makhluk apa dirinya, yakin ia tak termasuk dalam semua jenis makhluk mitologi di buku itu.

Gerakan tangannya ingin membuka buku itu terhenti ketika suara menggelegar membuatnya terkejut. Ia tersentak kaget dan sontak menoleh melihat gorden jendela yang terbuka. Kilatan petir terlihat bersusulan dengan cahayanya. Hujan deras di sertai hembusan angin kencang membuat malam ini sangat berisik. Bahkan suara alunan musik tak lagi terdengar.

Mengurungkan niatnya untuk membaca buku, ia berjalan kembali menelusuri lorong. Cukup sampai disini berkeliaran di ruang lain, ia berjalan memasuki kamarnya. Dengan cepat ia mematikan alat pemutar musik. Sia-sia menyalakannya jika suara gemuruh terdengar keras tak ingin mengalah. Seperti biasa ia akan duduk di dekat jendela.

Cuaca malam ini membuatnya sedikit bersemangat. Tak seperti kebanyakan orang yang tak menyukainya, ia malah sebaliknya. Baginya, hujan badai ini sangatlah jarang. Seperti fenomena alam yang langkah dan indah, hal ini sama baginya. Itu karena setiap hari suasana malam yang sepi dan sunyi membuatnya bosan. Dan karena cuaca yang jarang ini, membuatnya sedikit senang.

Dengan begitu ia bisa melihat bagaimana rupa langit dan air yang menetes di luar sana dari balik kaca jendela. Selain itu, kilatan dan cahaya petir juga membuat hutan berkali-kali terang. Hal itu membuatnya bisa melihat bagaimana hutan yang sesungguhnya ketika tersorot cahaya. Dan suara gemuruh yang menggelegar, baginya seperti alunan musik baru yang tak ada di dalam piring musik.

Lama ia berdiam diri menatap kosong ke hutan gelap, akhirnya ia memutuskan untuk membaca buku yang di bawa dari perpustakaan tadi. Seperti biasa, sebelum membuka halaman, ia mengusap cover buku yang lembut itu. Berbeda dari kebanyakan buku yang lain, beberapa buku di perpustakaan memiliki cover buku berbahan kulit dan terlihat begitu indah di matanya.

Untuk kesekian kalinya, ia membaca ulang buku itu. Sesekali matanya menatap lekat gambar ilustrasi di beberapa halaman. Jika dilihat dari seluruh isi buku ini, terlihat sudah sangat lengkap. Namun tak ada satupun yang memiliki ciri-ciri seperti dirinya. Mungkin ibunya benar, ia benar-benar seorang manusia yang di kutuk karena dosa di kehidupan sebelumnya.

Dalam hati, sebenarnya ia tak percaya dengan keberadaan makhluk mitologi. Sedari dulu, ia menganggap buku ini termasuk cerita karangan dari para pendahulu saja. Sama seperti sebuah novel fiksi lainnya, semua tak benar adanya. Berbeda dengan buku lain yang di bacanya. Jika mengenai berbagai jenis tanaman, hewan dan benda langit mungkin ia masih percaya.

Lama ia membaca, hingga sekali lagi ia tersentak kaget. Sontak ia mengedarkan pandangannya melihat hutan gelap di luar sana dari balik kaca jendela. Sama seperti malam sebelumnya, samar-samar indra pendengarannya menangkap suara teriakan dan suara kayu patah dari hutan.

Sebenarnya apa yang terjadi di sana?. Pertanyaan itu selalu mengganggunya. Karena tak pernah keluar masion, ia tak pernah mengetahui seperti apa di luar sana dan ada apa dengan hutan di sekeliling masion. Hampir setiap malam selalu terdengar suara yang mengganggu malam indahnya.

Detik selanjutnya, kedua kelopak matanya terbuka lebar ketika menangkap siluet yang keluar dari balik pepohonan. Siluet dari sosok itu tengah berjalan tertatih-tatih mendekati masion. Ia semakin menajamkan pengelihatannya, melihat sosok yang tengah ambruk lalu merangkak menyeret tubuhnya hingga di depan pintu masion. Kemudian sosok itu duduk bersandar pada pintu.

Dengan cepat ia berlari menyusuri lorong dan menuruni tangga. Langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu. Ia tahu sosok yang asing di matanya itu masih bersandar di balik sana. Rasa penasaran dan kalut mulai menguasainya. Tangan kanannya terangkat, mengambil kunci yang menggantung di samping pintu.

Tangannya bergetar hebat ketika menggenggam kunci itu. Rasa takut dan gelisah ikut tercampur aduk. Ia benar-benar ragu dan tak yakin untuk membuka pintu. Seumur hidupnya, tak pernah sekalipun ia membuka jendela apalagi pintu masion. Dirinya yang selalu bersembunyi untuk melindungi diri dari dunia luar, tentu tak mudah baginya untuk membuka pintu itu begitu saja.

Detak jantungnya mulai berpacu sambil menatap gelisah pintu itu. Saat ini, ia sangat penasaran dengan sosok yang baru pertama kali dilihatnya itu. Ini kesempatannya untuk melihat langsung, tetapi ia takut. Takut karena jika saja sosok itu berbahaya baginya. Sama seperti sinar matahari yang menyiksanya ketika menerpa kulit pucatnya.

Memang di malam hari ia bisa bergerak leluasa dan membuka gorden lebar-lebar tanpa takut. Namun, ia tak yakin dengan di luar sana. Bagaimana jika udara malam juga sama menyiksanya seperti sinar matahari?. Ia tak akan sanggup menutup kembali pintu itu rapat-rapat jika tubuhnya remuk.

Selain perasaan yang sudah campur aduk, ada perasaan lain yang mulai terbesit di hatinya. Apa karena rasa penasaran yang terlalu berlebihan hingga membuatnya merasa aneh?. Tak bisa ia merasa tenang, kedua tangannya masih bergemetar. Usahanya menenangkan diri agar tak lagi gelisah, tak mempan.

Dengan dentuman detak jantung yang keras hingga terdengar sampai telinganya, ia berjalan mendekat pada pintu. Sedikit kesulitan ia memasukkan kunci pada lubang karena tangannya yang terus gemetar. Perlahan-lahan ia memutar kunci itu. Di bukanya pintu itu sedikit, memastikan tak ada apa pun yang terjadi pada tubuhnya.

Setelah memastikan tak ada yang perlu di takutkan, ia membuka lebar pintu itu. Kedua matanya kembali melebar, menatap serius sosok pria yang terbaring tak sadarkan diri dengan darah yang bersimbah. Dengan takut-takut ia berjongkok lalu menyeret sosok itu masuk ke dalam masion. Ia membiarkan sosok itu tergeletak di lantai lalu menutup pintu dan menguncinya dengan cepat.

Rasa panik mulai menguasai ketika melihat banyak darah yang keluar dari pelipis sosok itu. Ingin sekali ia mengobatinya, tetapi semua obat sudah kadaluarsa. Tentu obat itu adalah obat sedari dirinya sebelum lahir dulu. Karena masih merasa takut dan gelisah, akhirnya ia berlari kecil meninggalkan sosok itu begitu saja.

Sesampainya di kamar, segera ia menutup pintu kamarnya lalu menutup gorden rapat-rapat. Ia melompat ke tempat tidur dan meringkuk. Menyesal dan meruntuki dirinya sendiri karena telah membawa manusia asing ke dalam masionnya. Bahkan manusia itu juga terluka parah hingga tak sadarkan diri. Ingin sekali ia kembali dan menyeret manusia itu keluar pintu, namun tak bisa. Nyalinya sudah terkuras habis untuk menyeretnya masuk tadi. Dan kini ia tak mampu lagi untuk berdekatan dengan manusia asing itu lagi.

Dengan paksa ia menutup kedua matanya. Ingin menganggap semua ini adalah mimpi buruk saja. Tak apa jika ia tak pernah bertemu dengan makhluk dari luar sana, yang penting ia masih bisa merasa aman dengan kesendiriannya.

Mungkin, di malam berikutnya sekali lagi ia akan menguatkan nyalinya kembali untuk menyingkirkan manusia asing itu. Atau mungkin memasukkannya ke dalam ruang bawah tanah bersama yang lainnya. Ia kira sosok itu sudah tak bisa lagi terselamatkan, mengingat banyak sekali luka parah di sekujur tubuhnya. Mungkin tak akan bisa bertahan hingga pagi esok karena kehilangan banyak darah.

Mengingat tadi, detak jantungnya semakin berdebar ketika mengingat dirinya membuka pintu untuk pertama kalinya. Beruntung tak terjadi apapun pada dirinya. Jika bukan karena penasaran dengan pria tadi, mana mungkin ia mau membuka pintu itu. Sedikit ia merasa menyesal karena tak sempat melihat keluar tadi. Ia hanya terfokus pada sosok yang tergeletak tak berdaya.

Ia mengepalkan tangannya erat-erat. Masih bergemetar, tentu tak semudah itu  membuat dirinya tenang seolah-olah tak terjadi apapun sebelumnya. Dengan begini, setidaknya ia tahu bahwa di malam hari ia tak terluka. Mungkin kedepannya ia akan membuka kembali pintu masion dan jika bisa ia akan berjalan keluar beberapa langkah saja. Hanya untuk melihat rumput dan pepohonan lebih dekat dan merasakan udara di luar sana.

MY SOULMATE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang