Bagian 7: Pekan Terakhir

938 193 11
                                    

"Selamat pagi, Tuan Philip. Semoga berkat matahari Obelia senantiasa tertuju pada Tuan."

"Selamat pagi, Izekiel. Mengunjungi Destiny lagi, ya?"

Anak laki-laki yang bernama Izekiel mengangguk pelan, kemudian merekahkan sebuah senyuman.

"Iya, Tuan. Hari ini adalah akhir pekan terakhir saya berada di Obelia. Saya ingin bertemu Destiny sesering mungkin."

Jelas anak lelaki bersurai putih pucat itu. Wajahnya memancarkan sebuah aura kesedihan yang ditutupi oleh senyum lembutnya.

Pria paruh baya berbadan kekar disana hanya bisa mengangguk.

"Selanjutnya aku akan menyuruh Destiny yang mengunjungi rumahmu. Kau pasti akan sibuk menyiapkan kepergianmu."

"Saya sudah sangat bahagia hanya dengan Destiny yang selalu berada disamping saya, Tuan. Sungguh.."

Lawan bicara anak lelaki itu tertawa pelan dengan suara beratnya. Kemudian menghela nafas panjang dan menorehkan senyum tipis.

"Kau benar-benar putranya Roger, ya.. Baiklah, masuk saja ke kamar Destiny. Dia akan senang melihatmu. Itupun jika dia sudah membuka matanya, ya."

Gelak tawa renyah kembali terdengar dari pria paruh baya disana. Matanya menyipit saat tertawa.

Izekiel membalasnya dengan tawa ringan. Sudah menduga teman yang berhubungan dengannya selama beberapa pekan itu belum bisa membuang kebiasaannya yang bangun kesiangan.

Izekiel geleng-geleng kepala dibuatnya.

Dirinya kemudian mohon pamit agar bisa mengunjungi teman perempuannya itu.

*

*

*

*

Sepasang iris emas tengah memerhatikan seorang gadis yang sedang nyenyak-nyenyaknya tertidur. Seolah tak akan bangun lagi, gadis itu terlihat seperti putri tidur yang ada di dalam dongeng.

Pemilik sang iris emas menghela nafas pasrah, dengan garis tipis yang mengembang di wajahnya. Dia mengulum senyum.

"Destiny, ayo bangun. Kamu tahu jam berapa sekarang?"

Izekiel Alpheus dengan mata emas sayunya mengguncang pelan tubuh teman perempuannya yang sibuk di dunia lain.

Destiny mengerang pelan. Menarik selimut tebal yang terlepas dari tubuhnya, dan membelakangi Izekiel.

"Ah, Destiny sedang tidak ingin bertemu denganku, ya? Apa aku pulang saja?" Monolog Izekiel yang sengaja suaranya dibesarkan agar tersampaikan ke Destiny.

Izekiel menghela nafas kecewa, kedua matanya tertutup, ia berkacak pinggang dan sedikit menoleh ke Destiny.

"..Jahat sekali.. Padahal ini akhir pekan terakhirku bisa menemuinya~" Izekiel mengintip dari satu matanya, ingin melihat reaksi Destiny.

Sungguh, Izekiel hanya mengharapkan Destiny terbangun dari tidurnya jika dia berkata begitu.

Tetapi, alih-alih hanya terbangun dan menyapa Izekiel, Destiny membuka matanya yang merah. Izekiel terkejut melihat mata temannya itu.

"Destiny‐ kenapa mata--"

"--hiks. Ize.. kau beneran mau pergi?" Suara gadis itu gemetar, dengan isak yang tertahan.

Izekiel kelabakan. Tidak menduga usaha membangunkan temannya berujung ia yang membuatnya meneteskan air mata di pagi hari.

Destiny duduk diatas ranjangnya, dengan balutan gaun tidur yang manis, dan surai violet yang terkepang dua. Izekial berdiri di samping ranjang gadis itu. Mengulurkan kedua tangannya kepada Destiny.

Destiny menyambut uluran itu dan tangisnya pecah di dalam pelukan sang sahabat.

"Huwaa!! Ize.. hiks jangan pergi!" Isak Destiny, menggenggam erat pakaian Izekiel.

Izekiel membelai pucuk kepala sahabatnya.

"Aku janji akan cepat lulus dari akademi, Destiny. Aku berjanji kita akan bertemu lagi."

Sakit. Hati Izekiel seakan terkoyak mendengar suara tangis perempuan di dalam dekapannya itu. Ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh jika berada di samping Destiny. Perasaan aneh itu membelenggu total fikiran Izekiel. Tetapi sebuah rantai tak kasat mata menariknya untuk kembali dalam kenyataan.

Izekiel harus menempuh pembelajarannya di akademi. Demi dirinya. Demi ayahnya. Dan mungkin demi Destiny(?)

"Janji kita tetap bersahabat saat di akademi maupun kau keluar ya, Ize?" Setelah Destiny menenangkan dirinya, jari kelingking gadis itu terulur ke hadapan Izekiel.

Sahabat..

"..ya. Kita akan tetap bersahabat saat aku di akademi."

Destiny mengambil kembali jari kelingkingnya. Pipinya mengembung. Alisnya berkerut.

"Ize! Janji juga saat setelah kau keluar dari akademi!"

Izekiel hanya diam mematung disana. Menatap Destiny yang berada di depannya.

Tidak mau..

Izekiel tidak ingin mengatakan kata-kata selanjutnya. Hatinya berteriak jangan mengatakannya. Lidahnya kelu.

Tanpa sadar, mimik wajahnya mendadak berubah datar. Terlihat dingin dimata Destiny.

"..Tidak. Aku tidak.."

Deg!

♡♡♡

Deg!

Jantungku terasa disayat beling. Perih. Air mataku ingin terlepas dari pelupuk mataku. Jangan. Jangan menangis. Izekiel tidak salah.

Izekiel tidak..

..salah?













































Eh?

Hatiku.. kok, sakit, ya? Aku 'kan penggemar berat Izekiel.. jadi wajar jika hanya bisa memandangnya dari jauh..

iya, 'kan?

Tapi rasa sesak di dada ini menggangguku. Aku ingin berteriak. Aku ingin melempar apapun yang ada di sekitarku. Apapun.. Apapun.. tolong..

Tanpa sadar, saat kepalaku tengah dipenuhi argumen, air mata terus menerus mengalir dan membasahi wajahku. Dengan wajah bengong, tatapanku lurus menatap Izekiel.

Tidak..

Aku tidak ingin Izekiel melihatku sekarang..

Aku..

Aku terlihat menyedihkan..

Tidak! Jangan lihat aku!

Aku memalingkan wajahku dan berlari pergi meninggalkan Izekiel yang juga sama terkejutnya denganku.

"Destiny-"

Brak!




(...)





Perasaan itu terus berlanjut. Setelah kejadian itu, Ize tak pernah lagi mengunjungi rumah kami. Aku juga mencoba tak mempedulikannya.

Hingga akhirnya, aku mendengar kabar bahwa dia telah berangkat ke akademi.

Tbc.
。。。。
おっす!
jangan lupa tinggalkan votemu~

𝐁𝐄 𝐖𝐈𝐓𝐇 𝐘𝐎𝐔; (𝐈𝐙𝐄𝐊𝐈𝐄𝐋 𝐗 𝐑𝐄𝐀𝐃𝐄𝐑)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang