"Bukan itu maksud aku. Aku cuman takut kamu...."

"Aku nggak suka kok sama Naira. Tenang aja," tegas Geo langsung berbalik badan, membelakangi Tasha. Ia malas memperpanjang obrolan yang membuat Hatinya mendadak kelabu. Perkataan Tasha seolah-olah memperingatkan Geo bahwa manusia sepertinya tidak punya harapan untuk mencintai atau dicintai. Jangankan perihal pasangan mungkin untuk hidup di masa depan saja belum tentu ada peluang. Walaupun Geo masih terdiagnosis HIV belum sampai AIDS seperti Tasha. Tapi tetap saja Geo harus sadar diri.

Tasha menghela nafas pelan. Lidahnya ingin berkata maaf, namun kata itu sulit keluar.

Ia menggerutu dalam hati telah berkata demikian. Pasti Geo sedang overthinking sekarang.

"Besok sore aku balikin Hp kamu. Sekarang istirahat ya." Tasha merapihkan selimut Geo kemudian mengelus rambutnya lembut.

***

Tasha pergi duduk di taman rumah sakit yang letaknya cukup jauh dari ruang inap khusus penyakit menular. Hanya ada suara angin yang menemani. Ia tidak takut sama sekali duduk disana sendiri. Mungkin jika ada perawat atau satpam yang lewat Tasha bisa disangka hantu.

Ia keluarkan rokok yang diam-diam selama ini masih ia pergunakan. Geo sangatlah melarang Tasha untuk merokok. Namun karena sudah biasa, rasanya sulit melepas rokok itu terlebih dalam suasana sedih seperti sekarang.

Masih teringat perubahan raut wajah Geo yang mendadak menjadi sedih. Tasha menyesal membuat Geo sedih seperti itu. Harusnya mulut Tasha bisa dikontrol lagi. Namun apa boleh buat, Tasha hanya tidak ingin Geo menyukai perempuan lain yang nantinya akan membuat dirinya kecewa.

Penyakit itu berawal saat dua tahun lalu. Sebelumnya mereka berdua sudah dekat sebab Geo selalu mengintai Marlina di karoke tempat Tasha bekerja.

Sekelebat kenangan mulai menghampiri kepala Tasha lagi.

**

Dua tahun sebelumnya di kamar apartemen Tasha.

Malam itu mereka sedang duduk di pinggir kasur sambil berdebat uang kuliah padahal besoknya adalah hari terakhir Geo daftar ulang di kampus.

"Aku nggak bisa bayar kuliah pakai uang mama," ucap Geo keras kepala. Ia sudah membulatkan tekad bahwa tidak akan memakan uang haram Marlina lagi jika dirinya sudah lulus SMA.

"Terus mau bayar uang kuliahan darimana?" Tasha membulatkan matanya, ia tidak paham dengan isi kepala Geo. Geo itu terlalu mengambil pusing segala sesuatu. Semuanya selalu dipikirkan mendalam hingga Geo suka ribut dengan dirinya sendiri.

"Aku nggak bisa! Mending nggak usah kuliah deh daripada makan yang haram mulu!" teriak Geo muak dengan keadaan. Sudah kurang lebih 3 tahun Geo memendam bahwa Marlina adalah mucikari. Sudah saatnya ia harus mandiri agar tidak memakan uang haram itu lagi.

"Geo dengerin aku, itu semua bukan salah kamu. Dan kamu sah-sah aja kok kalau tetap pakai uang itu." Tasha memperjelas sambil memegang pipi Geo dan mendekatkan wajahnya.

"Enggak! Pokoknya kalau besok aku belum bisa ngumpulin uang, aku nggak akan daftar ulang kuliah." Padahal Geo sangat mendambakan bisa kuliah tahun ini tapi dirinya tetap ingin mandiri.

Geo pergi meninggalkan Tasha ke ruang dekat dapur. Ia duduk di depan meja makan sambil memegang kepala frustasi. Merenungkan hidupnya yang benar-benar suatu tragedi.

Dari arah kamar Tasha masih bisa melihat punggung Geo. Ia biarkan Geo sendiri dulu hingga beberapa menit Tasha mulai mendekatinya lagi.

Tinggal dua langkah lagi, ia terkejut melihat meja makan berbahan kayu itu telah terhias oleh darah. Ternyata Geo sedang melukai tangannya menggunakan cutter yang ada di sana. Dengan cepat Tasha merebut cutter itu dan membersihkan darah yang bercucuran.

Geo telah terdiagnosis depresi semenjak ia tahu pekerjaan Marlina. Untuk mengekspresikan diri ia memilih jalan yang salah yaitu melukai dirinya sendiri.

"Jangan kaya gini dong. Kalau kamu kesal jangan lampiasin ke tangan kamu. Kasihan kan jadi berdarah gitu."

Geo tidak menggubris ucapan Tasha. Ia tetap menunduk merasakan nyeri di tangannya.

"Geo, kamu itu hebat sudah sampai di titik ini. Bisa keterima di PTN ternama tanpa les, bisa sabar tahu pekerjaan mama kamu kaya gitu. Jangan kaya gini lagi ya," ujar Tasha dengan lembut.

Tasha bersihkan darah yang keluar dari sayatan-sayatan itu. Kemudian setelah bersih, ia tiup pelan untuk meringankan rasa gatal serta nyeri yang Geo rasakan. Geo masih diam, membuang muka sembarang.

Tiba-tiba Tasha mendapatkan sebuah ide cemerlang untuk membuat Geo lupa dengan masalahnya. Ia melimpir ke kulkas yang tidak jauh dari sana.

"Kita minum aja gimana? Sekalian rayain kelulusan kamu." Suara Tasha terdengar penuh semangat. Geo menengok ke arah Tasha yang berjalan mendekat sambil memegang botol wine.

"Tapi aku nggak pernah minum gituan," jawab Geo gugup dengan kepolosannya namun ada rasa penasaran di hatinya. Wajah Geo begitu lucu membuat Tasha harus mengendalikan diri untuk tidak menerkamnya.

Tasha tersenyum, akhirnya Geo mau membuka suara.

"Tinggal minum doang kaya gini apa susahnya si," ujar Tasha lalu menegakan botol itu ke dalam mulutnya.

Geo hanya geleng-geleng melihat tingkah Tasha yang konyol. Lebih konyolnya lagi ia mengikuti cara Tasha minum.

Satu botol wine habis tak tersisa. Mereka mabuk dan terasa terbang bersama-sama. Kemurungan di wajah Geo hilang berganti dengan senyuman lebar. Begitupula dengan Tasha. Ia bergelayut manja menggandeng Geo sambil sesekali iseng melemparkan lelucon yang tidak lucu.

"Geo aku sayang sama kamu. Sayang banget." Mulut Tasha spontan berkata demikian.

"Tapi aku sudah anggap kamu kaya Kakak aku. Lagian kamu 'kan selalu main sma banyak cowok mana mungkin suka sama bocah kaya aku," jawab Geo di alam bawah sadar.

"Semua cowok itu brengsek. Aku cuman suka sama kamu Geo."

Tiba-tiba Tasha menyambar bibir Geo, melumatnya dengan lembut. Ciuman yang selama ini ia tunggu-tunggu. Perasaannya yang tersimpan sejak lama akhirnya tak terbendung lagi.

Malam yang penuh perdebatan berubah menjadi malam yang penuh keindahan dan desahan kenikmatan. Malam itu juga keperjakaan Geo hilang.

Tanpa Tasha sadari, virus yang sudah berkembang di dalam tubuhnya selama 5 tahun terakhir tersalurkan ke badan Geo.

Seseorang yang terkena HIV kemungkinan tidak akan sadar bahwa dirinya positif dalam waktu yang lama. Mereka hanya mengalami gejala-gejala komplikasi akibat penurunan sel leukosit atau kekebalan tubuh (sel CD4 atau CD8) seperti mual, demam, ruam, diare dan barat badan turun. Kebanyakan orang menyangka bahwa hal itu normal karena kelelahan atau sedang stress berat. Itulah yang dirasakan Tasha. Ia tidak pernah mengecek kondisi kesehatannya sampai tak sadar bahwa HIV telah menggerogoti tubuhnya.

Lalu 5 bulan kemudian, saat Geo menjadi volunteer di kampus dan ingin mendonorkan darahnya, Penyakit itu terungkap. Ia terdiagnosis HIV kurang lebih 4 bulan dan Tasha sudah didiagnosis AIDS.

**

"Maafin aku ya Geo. Andai aja aku tahu kalau waktu itu aku AIDS, aku nggak bakal deketin kamu apalagi ngajak kamu buat gituan." Tasha mulai menangis di bawah lampu taman yang remang-remang sambil menutup wajahnya.

Perasaan bersalah itu kembali menghantui dirinya.

TBC

Positif!Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ