SAH! (?)

30.6K 1.5K 90
                                    

AIZA

"Hai, Dek," sapaku kikuk. Rahma, adik perempuanku  duduk di samping Fajar, calon suaminya. Si Rahma cengar-cengir mengamatiku dan Adam bergantian lalu menarik lenganku.

"Aduh, Mbak Ai, bibit bebet bobot udah oke tuh calon suaminya. Kenapa nggak dari dulu dikenalin, sih. Atau jangan-jangan mbak Backstreet-an, ya? Pantes, betah di Jakarta," bisiknya cekikikan.

"Hush... apa, sih. Eh, Fajar udah dibikinin minum belum?" Aku menyapa si calon adik iparku. Fajar memang tetangga kami, mereka sudah pacaran cukup lama.

"Hai, Mbak Aiz," sapa pria yang lebih muda dua tahun dariku itu. Aku balas menyalaminya.

"Oh, kenalin, Mas Adam. Ini Fajar, calonnya Rahma." Mereka berjabat tangan.

Pandanganku beralih ke Mbak-eh Mas di tengah ruangan yang sibuk mengatur anak buahnya mengangkut beberapa manekin dengan kebaya berbagai model.

"Mbak eh Mas..." Aku sampai bingung memanggilnya karena penampilan designer itu. Orang itu mendengus lalu melambaikan jarinya lentik mendekat.

"Panggil Madam aja. Madam Sania, asli Surabaya. Ini calon suaminya Yey?" Madam Sania yang badannya kekar tapi berkonde badai dan bermake up tebal itu melewatiku begitu saja. Mengedipkan bulu mata pada Adam. Aku mengangguk menahan geli. Adam bergidik di sebelahku, beringsut.

Mata Madam Sania menelusuri Adam dari atas ke bawah membuat Adam makin bergidik ngeri lebih mendesakku. Ish.

"Waah... calonnya Mbak Aiza cakep banget. Badannya juga gede, sini Madam ukur biar ngepas sama bajunya. Sini, sini." Tangan Madam Sania melambai lentur ke Adam. Adam melotot dan menggeleng.

"Udah buruan. Biar cepet kelar," bisikku mendorongnya sambil menahan tawa. Adam bangkit ogah-ogahan.

"Awas lo," ancamnya berbisik.

Madam Sania terkikik senang, langsung menarik lengan Adam mendekat. Meteran baju siap di tangannya dan Adam berdiri dengan keringatan dan wajah memerah dipegang-pegang Madam Sania yang mengukur badannya. Fajar bahkan seolah berkata 'sabar' pada Adam.

Beberapa menit kemudian, Rahma datang membawa nampan berisi minuman dan dibantu budhe-budhe yang membawa jajanan pasar dan gorengan.

"Oke. Selesai. Sini gantian Mbak Aiz. Mas Adam ukurannya gede, mbak Aiznya kecil, cucok cyiiin. Tapi jangan keras-keras ya, malam pertamanya," celetuk Madam Sania membebaskan Adam.

"Apanya yang gede?" tanyaku nggak begitu ngerti. Rahma, Fajar dan Madam Sania terkikik.

"Badannya! Memang apanya?" Madam Sania membuatku merona. Adu, ngapain juga gue bayangin yang enggak-enggak.

Madam Sania ganti mengukurku.

"Oke. Fix. Syukurlah. Tinggal ngepasin H-1, ya. Sekarang Mbak Aiz pilih modelnya. Ini contohnya boleh dilihat." Aku melihat-lihat kebaya berbagai model, ada yang model brokat dengan bagian dada terekspose lebar, ada yang model hijab, warna putih cerah, putih gading...

Yah, meskipun aku nikah terpaksa dan nggak bener-bener nikah. Momen kayak gini harus sedikit berkesan lah. Pilihanku jatuh pada kebaya berwarna pink kalem berdada tertutup dan terbuka di bagian punggung. Motif brokatnya sederhana, tetapi terkesan elegan dan tidak berlebihan. Terasa halus dan bahannya nyaman dipakai. Pilihanku mendapat kernyitan dari Adam.

"Kenapa?" tanyaku. Adam memandangku dan kebaya bergantian, lalu manggut-manggut.

"C-Cocok kok," katanya terdengar gugup.

"Yang ini aja, Madam. Tinggal dipaskan sama ukuran saya, 'kan?" tanyaku memastikan. Madam mengangguk.

"Wah... itu design eksklusif saya tahun ini. Cocok buat bentuk tubuh Mbak Ai. Mas Adam kok tau aja kalau cocok?" Adam menggaruk-garuk tengkuknya. Bikin aku curiga.

Nikah Tender [HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang