[1]

138 120 43
                                    

Miss Hanna mengambil sebuah spidol dari laci mejanya, lalu beranjak menuju papan tulis. Jemari lentik yang dipoles kuteks warna merah hati itu tampak kontras di tengah-tengah white board yang polos. Kemudian dia mulai menuliskan nomor halaman yang kuyakin berisi latihan soal sebagai tugas kami hari ini.

Lantas aku langsung membuka buku paket, mencari angka 172 yang tercetak di ujung kertas. Setelah menemukannya, aku sedikit melipat ujung lembaran untuk menandai apa yang akan kukerjakan nanti.

Meski tidak mendengar penuh penjelasan Miss Hanna tadi, aku tidak merasa risau karena jawabannya bisa kucari sendiri di internet. Atau aku akan memintanya dari Fatya. Dia pasti akan dengan senang hati memberi contekan untukku.

Astaga, aku lupa Fatya masih mendiamkanku.

Setelah keributan yang terjadi tadi, aku dan Fatya belum juga bicara. Dia terus menghindariku semenjak Rega datang dan membubarkan kerumunan. Beberapa kali aku ingin menghampirinya, tapi mata tajam Nunna terus mengawasiku, seakan memperingati agar aku tetap diam di tempat.

Sejujurnya aku tidak nyaman dengan situasi ini. Saling mendiamkan usai melewati banyak hari bersama membuatku merasa gelisah. Itu sebabnya aku tidak bisa fokus mendengarkan penjelasan Miss Hanna di depan sana.

"Baik, tugas yang saya tulis di papan akan dikumpulkan pada pertemuan selanjutnya. Dan untuk tugas Kamis lalu harap dikumpulkan pada Regasa. Ga, tolong nanti antar ke meja saya," titahnya sebelum meninggalkan ruang kelas.

Kuhela napas lega saat mendengar dentang lonceng dipukul dua kali. Pertanda berakhirnya les ketiga dan dimulainya pelajaran olahraga. Dengan ogah-ogahan aku mengumpulkan buku-buku di meja, menumpuknya, lalu memasukkan ke dalam ransel biru gelap yang menggantung di punggung kursi.

Tak lupa aku mengeluarkan seragam olahraga dari laci meja, bersiap mengajak Nunna berganti pakaian. Biasanya kami pergi bertiga dengan Fatya. Namun, waktu kulirik sekilas tempat duduknya, gadis itu sudah menghilang entah kemana. Kemungkinan besar Fatya masih menjaga jarak denganku.

Letak meja belajar kami saling berseberangan. Fatya mengisi tempat di sebelahku, sedangkan Nunna duduk persis di depan mejanya. Jika dilihat dari atas, posisi kami membentuk huruf L dengan aku dan Nunna di bagian ujungnya. Karena itu pula akhirnya kami bertiga menjadi sedekat sekarang.

Dari sini aku bisa melihat Nunna yang keadaan bibirnya tak jauh berbeda dengan kuteks Miss Hanna telah mengeluarkan seragamnya. Dia mengangguk ketika pandangan kami akhirnya bertemu, memberitahu kalau dirinya juga telah siap.

"Tunggu, Del."

Aku urung beranjak sebab terlalu kaget mendapati Rega yang berdiri di hadapanku. Suara berat dari pemuda itu berhasil mencuri perhatian, membuat jantungku berdegup kencang. Napasku tertahan tanpa kusadari.

"A-apa?" Aku bahkan tidak tahu harus meresponnya bagaimana. Terlalu gugup ditatap Rega dari jarak sedekat ini membuat wajahku memanas. Aku jadi salah tingkah sendiri.

"Buku tugas lo, mana?" tanyanya kemudian. Sebelah tangan Rega mendekap buku tugas murid lain di dada, sementara sebelahnya lagi terulur ke arahku.

Aku mengalihkan pandangan ke arah tangannya yang terbuka. Telapaknya lebar berwarna putih dengan bercak kemerahan. Jemari Rega kurus-kurus dengan kuku tebal yang melapisi setiap ujungnya. Aku juga baru menyadari kalau kuku pada ibu jarinya cukup panjang dan tajam.

"A-de-lu-na Ra-har-dja."

Jika Rega tidak mengeja nama lengkapku, mungkin kami akan terus berdiri sampai jam pulang sekolah nanti.

"Oh, bentar-bentar," ujarku tergesa. Buru-buru kuletakkan seragamku di meja, setelahnya aku berbalik memunggungi Rega guna mencari keberadaan buku tugasku di dalam ransel.

Seingatku buku itu sudah kumasukkan bersama buku paket juga catatan. Aku tidak mungkin salah. Jelas-jelas tadi buku bersampul coklat itu ada wujudnya. Andai kata pun terselip di antara buku lain, pasti tak butuh waktu selama ini untuk mencarinya.

Panik melanda. Aku sampai membongkar isi ranselku sangking takutnya buku itu hilang. Bayangan berdiri menghadap tiang bendera karena tidak mengumpulkan tugas memunculkan bulir-bulir keringat di dahiku.

Apa aku harus menanggung malu lagi di depan Rega?

"Kalo gitu gue kumpul yang ini dulu. Lo bisa nyusul nanti," usulnya. Rega terlihat hendak pergi, tapi aku sukses menghentikan langkahnya.

"Gue nggak tau dimana meja Miss Hanna."

Aku tidak sedang berbohong. Aku memang tidak tahu di mana meja guru mata pelajaran Sejarah itu berada. Jangankan tahu, menginjakkan kaki di kantor guru saja aku tidak pernah.

Kehidupan sekolahku berputar di kelas, ruang ganti, kantin, toilet dan perpustakaan. Selain daripada itu aku tidak tahu. Bukan buta arah, aku cuma terlampau malas berkeliling. Dulu saat MOS, Fatya dan Nunna pernah mengajakku. Tapi semuanya berhenti sampai di situ. Mereka amat menyesal setelahnya sebab aku sering kali mengeluh.

"Kenapa, sih? Gue perhatiin kalian sibuk banget dari tadi," tegur Nunna dengan raut wajah pura-pura terganggu. Buktinya dia masih sempat-sempatnya mengerling jahil ke arahku tatkala Rega menghitung ulang buku di tangannya.

"Buku tugas gue—" Kata-kataku terpotong tepat ketika Rega mengangkat pandangan dari bukunya, silih berganti menatapku dan Nunna. "Minta temenin Nunna aja," anjurnya, menambahi beban di benakku.

Pasalnya aku dan Nunna belum mengganti seragam. Kami bisa menghabiskan waktu setengah jam lamanya untuk sekadar menukar kemeja putih dan rok abu-abu dengan kaos berlengan panjang serta celana longgar. Belum lagi melipat kemeja dan rok, menaruhnya di loker, merapikan rambut, atau membetulkan riasan yang berantakan. Waktu kami bisa habis sebelum terpakai bila harus mengantar tugas terlebih dahulu.

"Nggak bisa. Gue belum ganti baju," tolak Nunna tanpa pikir panjang. "Mending lo bantuin Luna cari bukunya, terus anterin bareng ke kantor. Biar entar gue yang minta izin ke Pak Yoga."

Saran dari Nunna terdengar masuk akal. Mungkin juga jadi satu-satunya jalan keluar terbaik untuk situasi seperti ini. Namun ada sebagian dari diriku yang menolak sarannya. Aku masih merasa keberatan sebab harus tinggal berdua saja dengan Rega.

Tuhan, aku belum siap.

Rega menghela napasnya sebelum mengangguk setuju, "Oke. Lo bisa beresin barang-barang lo dulu, mungkin keselip. Gue permisi mau ngecek laci meja lo. Barangkali lo lupa masukin ke ransel."

Aku mengangguk pasrah. Ekor mataku menangkap senyum lebar Nunna yang melambai singkat sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu. Sebenarnya aku tidak mau berpikiran buruk, tapi agaknya Nunna benar-benar mau menjebakku. Di sini. Berduaan dengan Rega supaya dare darinya berjalan lancar. Kalau begitu aku harus memberinya selamat. Usahanya mendekatkan kami bisa dengan mudah tercapai sebentar lagi.

"Yang ini bukan?"

Rega menarik sebuah buku tipis dari dalam laci, membolak-baliknya, kemudian membuka sampul coklat itu untuk mengeceknya sendiri. Tertera nama lengkap, kelas, nomor meja, juga keterangan mata pelajaran di baliknya.

Kenapa aku tidak kepikiran memeriksa laci meja juga? Apa mungkin buku tugas itu terselip di lipatan seragam saat pagi tadi aku mengeluarkannya?

Dan, kenapa aku gemar sekali memamerkan kebodohan di depan Rega?

Argh, sial!

✿✿✿

In Memories #NupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang