-: ✧ :-゜17 ・.

1K 147 1
                                    

[Name] PoV
.
.
.
Mendengar suara yang terasa tak asing itu secara tiba-tiba membuatku sedikit tersentak kaget dan tanpa sengaja melempar asal pulpen yang tadinya sedang ku pegang.

Saat aku berbalik ke belakang, terlihatlah Kiki yang berada tepat di belakangku lengkap dengan senyuman khas nya seolah tanpa merasa bersalah karena telah membuatku terkejut.

"Huft... Ternyata kamu. Ku kira siapa." kataku sambil mengambil pulpen yang tadi ku lemparkan.

"Aku bikin kamu kaget ya? Hehe, maaf ya. Sengaja." sahutnya dengan mata kucingnya.

Aku menatap sebal kearahnya sambil menggembungkan pipiku, "Nyebelin."

"Tapi bikin kangen juga kan?" tanyanya percaya diri dengan menaik-turunkan alisnya.

"Gak juga tuh." jawabku cuek.

"Yah, buat sekarang emang mungkin belum kangen karena kita masih sering ketemu... Tapi siapa tau kan pas liburan nanti ada yang kangen?" godanya sambil melihat kearahku seolah mengatakan secara tidak langsung kalau liburan nanti orang yang akan merindukannya adalah aku.

Aku menghela nafas, "Yaudah iyain aja deh. Btw, kamu ngapain disini?"

"Ohh itu, tadinya aku mau ngajak kamu ke kantin bareng. Tapi karena liat kamu yang lagi serius nulis, aku diem dulu sambil baca tulisan kamu." jawabnya dengan jelas.

Sontak aku langsung menutup buku harianku dan mendekapnya dengan erat, "Kok gak bilang?!"

"Kalau aku bilang pasti gak dibolehin." jawab Kiki dengan santai.

Itu... Tidak salah sih...

"Lagian kalau emang suka nulis kenapa malah ditutup-tutupin? Bukannya bagus ya kalau ada yang mau baca? Ntar orang yang baca itu bisa kasih saran atau pendapat ke kamu." ucap Kiki yang membuatku terdiam memikirkan ucapannya itu.

Ku akui, selama ini aku memang selalu menghindar kalau ada orang yang ingin membaca hasil tulisanku. Tapi itu karena aku malu, dan juga takut. Maksudku, bagaimana kalau di kritik pakai bahasa yang pedas? Atau mungkin dicaci maki? Memang, untuk kata-kata pedas sendiri, aku memang sudah terbiasa mendengarnya dari kedua orang itu. Tapi entah mengapa hal itu masih belum cukup untuk membuat hatiku menjadi sekeras baja.

Selama ini aku selalu berpura-pura. Saat sedang kesal, aku berpura-pura santai seolah tak tersinggung sama sekali. Saat terluka, aku langsung bersikap sarkas dengan raut datarku seolah hal semacam itu tak cukup untuk melukaiku. Saat sedang sedih, aku pun menutupinya dengan raut datar andalanku setidaknya sampai aku ditinggal sendirian.

Sungguh, sebenarnya aku lelah jika terus berpura-pura seperti itu. Tapi, apa gunanya aku menunjukkan perasaanku yang sebenarnya? Kalau mereka tahu kelemahanku, lalu apa? Toh, pada akhirnya mereka hanya akan mengejekku dan membuatku semakin terluka kan?

Aduh, kenapa pembicaraannya malah jadi melenceng jauh seperti ini? Sudahlah, biarkan saja.

"[Name]? Kok malah ngelamun?" tanya Kiki yang membuatku tersadar dari lamunanku.

"Gak, gapapa. Uhm... Itu, kamu udah baca kan? Jadi, menurutmu gimana ceritanya?" jawabku sekalian bertanya balik.

"... Aku baru baca sedikit sih, jadi belum bisa kasih tau gimana pendapatku." jawab Kiki.

"[Name], boleh pinjem bukunya sebentar? Aku mau baca dari awal." pinta Kiki.

Aku tidak langsung menjawab karena memikirkan permintaan dari Kiki yang ingin membaca ceritaku dari awal. Sebenarnya aku ragu, tapi Kiki tidak akan memberikan komentar yang menyakitkan kan? Walaupun memang ada kritik, dia akan mengatakannya dengan halus kan? Baiklah, ku rasa aku akan percaya padanya.

Our Bond (WEE!!! x Reader) Where stories live. Discover now