-: ✧ :-゜16 ・.

1K 151 0
                                    

[Name] PoV
.
.
.
BRAK

"BANGUN, BODOH! MAU SAMPAI KAPAN TIDUR TERUS HAH?" teriak seorang wanita yang langsung membuka pintu kamarku dengan kasar sehingga menimbulkan suara keras.

Dengan setengah terpaksa aku pun membuka mataku yang masih terasa berat karena mengantuk lalu bangkit menjadi posisi duduk dan berencana untuk diam selama beberapa saat untuk mengumpulkan nyawa.

Wanita itu menarik lenganku dengan kasar hingga menyebabkanku terjatuh dari kasur. Bukannya meminta maaf atau menanyakan keadaanku, wanita itu malah kembali berteriak padaku.

"NGAPAIN MALAH DUDUK DI LANTAI? JANGAN MANJA! CEPET MANDI SANA!"

Mendengar ocehannya itu membuatku berdecak kesal. Dalam hati aku ingin mengumpat sekaligus bilang padanya "memangnya karena siapa yang menarik tanganku dan membuatku jatuh terduduk di lantai?"

Tapi tentu saja ucapan itu hanya ku ucapkan dalam hati karena aku pasti akan terkena masalah yang merepotkan jika mengatakannya secara langsung dan terang-terangan.

Daripada mendengar teriakannya yang mengganggu indra pendengaranku lagi, aku memilih untuk langsung beranjak ke kamar mandi tanpa membalas ucapannya sedikit pun.

Singkat cerita, aku yang sudah selesai mandi dan berpakaian seragam sekolahku dengan lengkap pun langsung berangkat sekolah tanpa sarapan terlebih dahulu.

Biarlah. Lagipula, sejak awal wanita itu pasti hanya menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri dan suaminya yang tak lain adalah ayahku.

Sambil berjalan aku sibuk menatap langit biru yang dihiasi awan putih yang nampak seperti gumpalan kapas lembut sembari melamun.

Jika pembunuhan itu tidak pernah terjadi, jika yang tiada adalah ayah, jika seandainya ibuku dan kakakku masih ada hingga saat ini, maka rumah tempatku tinggal masih akan tetap terasa damai dan hangat, kan?

Aku tahu, hanya berandai-andai seperti ini memang percuma. Nyawa yang telah pergi tak akan bisa kembali lagi tak peduli sebanyak apapun aku mengharapkannya.

Aku tahu, aku memang sudah mengerti akan hal itu. Tapi dengan bodohnya aku masih melamunkan dan memimpikan hal yang jelas tidak akan pernah terjadi.

Walaupun sudah tahu kalau memimpikan hal semacam itu memang percuma, tetap saja aku memimpikannya. Aku bermimpi jika seandainya mereka masih ada bersamaku, aku pasti akan baik-baik saja walaupun satu sekolahan membenciku karena masih ada mereka yang tetap menyayangiku.

Ya, jika mereka masih ada bersamaku, tidak peduli seberapa hancurnya kehidupan sekolahku, aku pasti akan baik-baik saja.

Ibu... Kakak... Bagaimana kabar kalian? Apa kalian sudah tenang dan bahagia diatas sana? Apa kalian sedang memperhatikanku? Apa kalian juga merindukanku seperti aku merindukan kalian? Aku sangat merindukan kalian... Aku rindu dengan masakan ibu, aku rindu dengan belaian lembut yang ibu berikan saat mengelus kepalaku, aku rindu dengan seruan riang kakak saat kakak mengajakku bermain, aku rindu dengan pelukan hangat kakak yang selalu memelukku... Aku... Sangat merindukan semua itu.

Entah sejak kapan, air mata telah membasahi pipiku begitu aku menyadarinya. Aku sontak menghentikan langkahku dan segera menghapus air mataku dengan gerakan cepat agar tidak ada yang melihatnya.

"[Name]?"

Aku sedikit tersentak kaget saat mendengar suara seseorang yang terasa familiar memanggil namaku. Saat aku berbalik, terlihat Kiki yang sedang menunggangi motornya hanya terdiam menatapku.

"Kamu habis nangis?" tanyanya.

Ah, sial. Jadi dia melihatnya ya? Ugh, memalukan sekali...

Sempat terbesit di benakku untuk menyangkal pertanyaannya. Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya percuma saja kalau aku berbohong ya? Apalagi setelah Kiki melihat sendiri kenyataannya.

Our Bond (WEE!!! x Reader) Where stories live. Discover now