01.

2K 115 7
                                    

Manik mata berwarna hijau itu tidak dapat berkedip, bibir mengatup sempurna kala melihat kolam bening di hadapannya. Terdapat bunga-bunga liar berwarna ungu di beberapa sudut. Hal itu membuai tubuh putri berkulit pucat tergerak untuk berenang di sana.

Setelah melucuti pakaian, Dyzella menceburkan diri dan tubuh pucatnya disuguhi oleh air yang begitu dingin. Awalnya ia meringis kedinginan, tetapi lama-kelamaan tubuhnya bisa beradaptasi.

Tubuh Dyzella meliuk-liuk meresapi setiap dinginnya air. Hingga perhatiannya teralihkan oleh bunyi krasak-krusuk yang entah bersumber dari mana.

Apa ada orang yang menonton aktivitasnya? Atau itu bunyi hewan-hewan buas, atau yang lainnya?

Gegas Dyzella keluar dari kolam dan memakai pakaiannya kembali. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui dari mana bunyi itu.

"Ah!"

"Lepaskan, Sayang!"

"Ah!"

Tepat di belakang pohon menjulang tinggi, Dyzella menangkap sepasang wanita dan pria tengah melakukan adegan dewasa. Mengapa mereka melakukan di siang bolong, dan mengapa di tempat seperti ini? Bukankah lebih nyaman melakukannya di kamar atau di tempat tertutup.

Dyzella menyeringai. "Ah, mereka berselingkuh. Kena kau pria hidung belang," ucapnya. "Sekarang kau mangsaku."

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya kedua orang itu menghentikan aktivitas seksualnya.

Mendengar mereka mendesah penuh kenikmatan surgawi, membuat telinga Dyzella terasa muak. Ia memang tidak begitu menyukai aktivitas seksual, ia hanya melakukan itu ketika sedang melancarkan aksi jahatnya.

Dyzella berhak menyentuh pria manapun, tetapi tak boleh ada seorang pria yang menyentuh tubuh indahnya. Dyzella tidak berselera pada pria hidung belang.

"Aku menyukai kegagahanmu dibandingkan kekasihku," ucap wanita itu sembari memakai pakaian.

"Dan aku menyukai desahanmu yang begitu merdu di telingaku," balas lelaki diikuti ciuman panas di bibir wanita itu.

Kaki Dyzella digerakkan mengikuti langkah mereka berdua. Mereka masuk ke dalam gua yang lumayan gelap. Pria yang Dyzella ketahui bernama Ken itu menyalakan obor sehingga jalanan bebatuan yang licin ini bisa mereka lihat.

Ken dan wanita itu berpisah di persimpangan lorong gua. Mereka saling melambaikan tangan setelah berciuman cukup lama, hal itu membuat Dyzella lagi-lagi muak. Apa mereka tidak bosan terus-terusan berciuman?

Setelah memastikan kekasihnya tak menampakkan diri, Ken kemudian berjalan sendirian menyusuri lorong gua.

Dyzella menyeringai sembari berjalan cepat mendahului Ken. Ia sengaja tidak menampakkan diri sehingga pria itu tidak dapat melihatnya. Kaki putri berambut abu itu berhenti di depan sungai yang sedikit keruh, mengalir ke mana sungai ini.

Dyzella menangkap ular sejenis anak konda tengah melingkar di dekat pohon menjulang tinggi. Gegas dirinya melangkah mendekatinya. Dyzella sengaja membuat kebisingan agar ular itu terganggu.

"Arghhh!" Ular itu mengerang keras karena tidurnya merasa terganggu. Namun, detik berikutnya ia membungkam mulut kala melihat Dyzella. Kawasan ini adalah daerah kekuasaan kerajaan ayah Dyzella.

"Ampuni hamba, Yang Mulia Putri," ucap ular itu sembari menunduk.

"Lupakan itu. Yang terpenting sekarang, lukai kakiku!" perintah Dyzella membuat ular itu mengatup sempurna.

"Hamba tidak bisa, Putriku," balasnya.

"Lakukan atau aku yang akan melukaimu!" Dyzella berucap tegas tak terbantahkan. Sorotan matanya menatap tajam ular itu.

Princess Dyzella{End}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang