Geografi 2

58 6 21
                                    

Andesta menoleh ke kanan, melihat kursi yang berjarak dua petak ubin dari kursinya. Kursi kosong tanpa ada yang menempati itu milik Tasya. Bel masuk sudah berbunyi sejak lima belas menit lalu, namun Tasya belum juga balik.

"Des!"

Andesta menaikkan pandangan. Ana, teman sebangku Tasya memanggil Andesta berbisik, takut ketauan guru Matematika yang sedang menulis rumus di papan tulis. "Tasya kemana? Kenapa belum balik?"

Mood Andesta belum membaik sejak bertengkar dengan Tasya tadi. Maka Andesta hanya mengedikkan bahu tanda tidak tau untuk menjawab pertanyaan Ana.

Sampai pelajaran berakhir dan bel pertanda pulang berbunyi nyaring lewat speaker yang ada di setiap kelas, Andesta terus memikirkan keberadaan Tasya. Baru kali ini Tasya marah sampai dia membolos.

"Des!" Ana memanggil lagi. "Ini barang-barangnya Tasya gimana?"

Andesta melihat alat tulis Tasya yang masih berserakan di atas meja. "Tinggal aja, biar gue yang beresin."

"Oke." Ana melirik ponsel di genggaman tangannya. "Eh, gue udah dijemput. Duluan ya, Des. Kalau lo ketemu Tasya, tolong pukul kepala dia. Bikin khawatir orang-orang aja tu anak."

"Ya kalo ketemu." Andesta membalas malas. Dia menoleh saat mendengar suara decakan.

"Ck, kemana dah Si Tasya? Tumbenan amat tu anak ngambeknya lama. Bolos lagi. Lebih parahnya, bolos nggak ajak-ajak gue!" Biru menggerutu. Tangannya menyilang di perut, semakin menunjukkan kekesalan cowok itu karena tidak diajak bolos oleh Tasya.

"Bacot lu! Bantuin gue, buru!"

"Bantuin apa?"

"Gue rapihin barang-barang Tasya, lo nyapu."

"Njir. Yang piket kan lo, kenapa jadi gue?!"

"Mending nyapu apa beresin barang-barang Tasya?"

Biru melirik ke meja Tasya. Alat tulis Tasya yang berserakan di sana banyak. Mulai dari stabilo, brush pen berbagai warna, spidol, pulpen, pensil warna dan masih banyak lagi. Meskipun Tasya anaknya aneh, catatan di buku cewek itu sangat rapi.

Biru berdecak lagi. "Iya deh, gue mending nyapu."

Karena kalau membereskan alat tulis Tasya itu harus ada ketentuannya, seperti penataan brushpen harus urut sesuai kode warna. Kalau ditanya kenapa harus ditata seperti itu, Tasya akan menjawab, "Biar rapi, enak dilihat, sama mudah ditemuin."

Biru berjalan ogah-ogahan menuju pojok kelas, tempat dimana sapu dan alat kebersihan lainnya digantung. Teman-teman yang belum keluar dari kelas menatap heran ke arah Biru. "Kok lo yang piket, Ru?"

"Disuruh majikan."

Ada juga yang berseru kesal. Naya namanya. Cewek itu mendapat jadwal piket hari Senin barengan Biru. "Heh, Ru! Jadwal piket lo aja lo nggak ikutan nyapu. Ini malah ikut jadwal piket hari lain! Lama-lama gue kasih denda juga. Yang nggak ikut piket bayar lima puluh ribu ke gue!"

"Ah elah, nggak piket doang kena denda."

"Kalo nggak mau didenda, ya piket!"

"Mending kata-katanya diganti."

"Apa?"

"Kalo nggak mau didenda, nggak usah piket. Baru gue setuju!"

"Anjim."

"Woi, Ru!"

Naya batal memukul Biru karena fokusnya dan teman-teman yang lain teralihkan pada Andesta yang memanggil Biru. Cowok itu menenteng tas milik Tasya di tangan kanan. "Yuk, cabut!"

Biru tersenyum lebar. Sapu ditangannya dia lempar begitu saja dan jatuh dengan suara nyaring di lantai. "Siap, Majikan."

"ANDESTA PIKET WOI!"

"Gue ganti besok," jawab Andesta sambil berlalu pergi bersama Biru keluar kelas.

"Besok tanggal merah anjir!"

Geografi : Ini Nama Geng

"Kemana, kemana, kemana. Ku harus mencari kemana?"

Biru menyanyikan keras lagu Alamat Palsu milik Ayu Ting-ting sepanjang jalan menyusuri koridor sekolah menuju parkiran. Andesta sudah biasa dengan tingkah aneh Biru. Jadi, kalau ada yang menertawakan mereka, Andesta tidak masalah.

"Kekasih tercinta, tak tau--" Biru berhenti bernyanyi, dia menoleh ke arah Andesta dan bertanya, "Lirik selanjutnya apa, Des? Lupa gue."

"Mana gue tau."

Tiba-tiba saja, Biru berteriak keras memanggil seseorang. "WOI, PAK BON!"

Orang yang dipanggil Biru berjengit kaget sambil mengusap dada. Teriakan Biru bahkan membuat semua orang yang sedang nongkrong di parkiran terkejut. Biru berlari menghampiri Pak Bon.

"How are you, bro Bon?!" Biru dan Pak Bon melakukan tos seperti dua teman akrab. "Lama nggak keliatan lu. Dari mana aja?"

Meskipun sudah terbiasa dengan segala tingkah aneh yang Biru lakukan, Andesta masih belum bisa memahami dan memaklumi yang satu ini. Bagaimana bisa Biru menggunakan panggilan lo-gue dengan orang yang jauh lebih tua dari umurnya?

Bahkan ngobrol dengan Ayahnya saja, cowok itu menggunakan panggilan lo-gue. Tidak jarang juga Andesta mendengar Biru mengumpat di depan Ayahnya. Lebih parahnya, umpatan itu juga ditujukan Biru untuk Ayahnya.

"Gue balik kampung minggu lalu. Ngurus sawah di sana yang mau gue jual," Pak Bon menjawab pertanyaan Biru tadi. Dia melihat Andesta dan Biru bergantian. "Kok berdua doang? Neng Tasya mana?"

"Nah, masalahnya itu Pak Bon. Tasya tuh ngambek. Dari tadi jam istirahat kedua ngilang tu anak," balas Biru.

"Pak Bon liat Tasya nggak?" Andesta bertanya.

Pak Bon terdiam sejenak, mengingat-ingat. "Waduh, nggak liat juga Pak Bon."

"Pas bersihin tempat sampah juga nggak liat Tasya, Pak Bon? Biasanya kan Tasya suka tuh nongkrong di sana."

Andesta menggeplak kepala Biru. Omongannya ngawur.

"Bangke! Sakit, Des!"

"Parah lu! Mentang-mentang Tasya bau, lo samain kayak sampah."

"Njir, keterlaluan lo!" kata Biru, namun dia juga tertawa.

Pak Bon memandang dua cowok di depannya dengan tatapan aneh. Ni dua orang sama-sama ngejelekin sahabatnya sendiri.

"Yok lah, nyari Tasya lagi. Keburu sore," ajak Andesta.

"Kita duluan ya, Bro Bon. BYE!"

Bersambung...

Terima kasih banyak sudah membaca ❤️
19 Juni 2022

Geografi : Ini Nama GengWhere stories live. Discover now