19. Berbelanja

307 86 16
                                    

Chris mendorong pintu itu dan membukanya lebar-lebar sebelum masuk ke dalam, sementara Ino berdiri di ambang kusennya tanpa bergerak sedikitpun.

"Kenapa diam saja? Masuklah," titah Chris kemudian, dan barulah si humanoid memberanikan diri untuk langkah ke dalam ruangannya.

Gelap, tidak ada cahaya sama sekali sampai Chris menyibak tirai jendelanya dan membiarkan sinar mentari pagi masuk memberikan warna pada sepetak ruangan yang semula nampak gulita.

"Aku gak pernah mengizinkan siapa pun masuk ke kamar ini, apalagi mengajak sebongkah mesin," gumam Chris, entah ia berkata demikian pada Ino atau justru pada dirinya sendiri.

Ino berkedip pelan tak beraksi lebih lantaran iris sekelam jelaga miliknya justru terpaku pada benda berupa bola warna-warni yang menggantung di langit-langit di dekat jendela.

Ino berkedip pelan tak beraksi lebih lantaran iris sekelam jelaga miliknya justru terpaku pada benda berupa bola warna-warni yang menggantung di langit-langit di dekat jendela

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bola-bola kaca," ucapnya pelan.

"Ya, benda itu memang dibuat dari kaca bekas yang didaur ulang, tapi itu bukan bola biasa."

"Apa ini, Tuan?" tanya Ino tanpa mengalihkan tatapannya sama sekali.

"Solar system." Chris menjawab sembari mendongak ke atas. "Replika Tata Surya yang aku buat beberapa tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun Jeje."

"Jeje?" Ino membeo, tatapannya beralih seketika ke arah wajah Chris lalu melirik ke atas nakas dan menemukan pigura biru di sana. "Itukah dia?" unjuknya.

Chris menoleh ke benda yang dimaksud si humanoid dan mengangguk pelan, "iya," jawabnya.

"Wajahnya terlihat mirip Tuan," komentar Ino.

Ada seulas senyuman kecil yang Chris sunggingkan sesaat sembari menggumam pelan, "Jeje lebih mirip sama Mama, sedangkan aku menurunkan wajah Papa."

Ino diam, ia memandang Chris lekat tatkala bertanya, "Apakah enak rasanya punya keluarga, Tuan?"

Chris sedikit tertegun mendengarnya, ia tersadar jika Ino memang tak diciptakan memiliki perasaan layaknya manusia normal. Ia hanya diberi kelebihan otak mesin yang cerdas dan bisa belajar dengan sekali tangkap. Selebihnya ... tidak. Tidak diprogram untuk berekspresi, tidak pula diberi kepekaan untuk merasakan dan beremosi. Dia nampak sempurna, namun hanya sekadar kata saja.

"Ya ... rasanya hangat saat kau berada di antara mereka, berbagi kisah, berbagi kasih. Rasanya begitu tentram hingga kau berharap kalau waktu bisa berhenti barang sekejap saja agar kau bisa lebih lama lagi bersama mereka." Chris menjelaskan apa yang menurutnya bisa dirasakan jikalau berada dekat dengan keluarga.

"Seperti kompor?" celetuk Ino.

"Ha?"

"Seperti saat aku memasak dan kompornya menyala, rasanya hangat sekali," cakapnya.

Diluar dugaan, Chris malah tertawa mendengarnya. Wajah putih pucatnya bersemu memerah dan matanya menghilang, hanya tinggal segaris. Jelas perangainya membuat si humanoid bingung, ia tak tahu kenapa tuannya itu malah menertawakan kalimatnya.

I.N.O : Identified National Object [Banginho]Where stories live. Discover now