II. First Meet

43 3 0
                                    

2007

Sebenarnya aku enggan untuk memenuhi panggilan negara. Apa lagi kalau bukan sekolah. Saat tau usiaku sudah memenuhi persyaratan masuk sekolah, ibu segera mendaftarkanku di Taman Kanak-kanak yang tak jauh dari rumah. Katanya biar nggak ketinggalan sama anak tetangga. Padahal ibu nggak tau putrinya masih ingin bermanja-manja dengan bonekanya di rumah.

Keluarga besar kami bekerja di perusahaan yang sama. Ayah menjadi direktur dan Yunita, adiknya ayah, sebagai Kepala Divisi Keuangan. Perusahaan tersebut sudah lama mempercayai keluarga kami semenjak kakek bekerja dulu. Setelah meninggalnya kakek, posisinya diserahkan kepada ayah. Sedangkan ibuku tidak seperti wanita normal pada umumnya. Maksudku, beliau menderita poliomyelitis sejak kecil hingga sekarang. Tapi syukurlah ibu selalu sehat dan melakukan perannya sebagai ibu rumah tangga dengan baik. Kebiasaan ibu di rumah membuat aku menghabiskan banyak waktu bermain bersamanya dibanding dengan ayah. Hanya saat Idul Fitri saja kami semua akan benar-benar bersama di waktu yang sama. Selebihnya ayah akan kembali fokus dengan urusan kantor.

"Ayo segera masuk!" ucap ibu. Tangannya masih menggenggam tangan mungilku. Penampilanku sudah seperti kebanyakan anak di sana— anak kecil yang memakai seragam putih hijau dan tas cantik di punggung. Sementara ibu tak lepas dari setelan celana jeans, dipadukan dengan atasan denim, dan tas ala tante-tante arisan. Terlihat keren sekali ibuku saat itu.

Berbalik dengan ibu, aku justru sangat tidak keren karena menangis dan enggan melangkah masuk kelas. Saat itu aku sedang merasakan separation anxiety syndrome— gangguan rasa cemas saat berpisah. Jujur saja aku tak pernah sendirian saat melakukan aktivitas apapun. Selalu saja ada ibu menemaniku. Sayangnya di sekolah tak ada orangtua yang boleh ikut belajar, atau biaya sekolahku akan bertambah jika ibu ikut sekolah lagi.

"Ayolah, Sayang. Banyak temanmu juga di sana. Lihat!" Ibu menunjuk ke arah ruang kelas dari ambang pintu masuk. Dengan ragu aku mengikuti arahannya. Tiba-tiba ada hal yang membuatku terkejut sampai harus memeluk kaki ibu.

"Ada apa Ela?"

"Ada tuyul di pojok, Bu. Ela tatut, nggak mau cekolah." Suaraku masih cadel untuk anak usia lima tahun. Begitu menggemaskan, tetapi tingkahku sangat merepotkan.

"Mana mungkin ada tuyul, Sayang? Jangan ngada-ngada kamu." Aku menunjuk pada anak kecil berkepala botak yang sedang bermain di pojok kelas. Kalau dilihat sekilas emang mirip tuyul sekolahan. Tapi kenapa aku bisa melihatnya? Padahal aku tidak memiliki kemampuan supranatural atau riwayat kesurupan.

Beberapa menit selanjutnya terlihat seorang wanita cantik mendatangi kami. Dari pakaiannya sudah bisa dipastikan kalau beliau adalah seorang guru di sini. Wanita itu tampak masih muda dengan kacamata bulat di hidungnya. Potongan rambutnya rapi sepundak. Kemudian wanita itu berjongkok di hadapanku.

"Kenapa kamu tidak masuk kelas, Cantik?" tanya wanita itu dengan senyuman di wajahnya.

"Katanya ada tuyul di pojokan, Bu." Ibu ragu-ragu saat mewakili jawabanku. Saat itu aku belum pandai berbicara dengan orang asing. Aku juga yakin saat itu ibuku pasti merasa nggak enak karena mengatakan hal yang aneh bagi orang dewasa.

Mendengar penuturan tersebut, wanita muda itu lantas menoleh ke arah yang sama dengan kami. Beliau sempat terkekeh setelah menyadari kalau salah satu muridnya ternyata berkepala botak.

"Itu namanya Candra. Dia hanya anak kecil. Sama seperti kamu. Nanti kalian  juga bakal jadi teman baik kok," jelas bu guru tak lepas dari senyumannya.

"Nggak mau, Ela maunya cama ibu. Titit." Aku tetap saja bersikeras untuk tidak membiarkan ibuku pergi meninggalkanku sendirian di sekolah. Tanganku semakin erat menggenggamnya. Wajahku tentu sudah memperlihatkan belas kasih, tapi tetap saja kedua wanita ini memaksa diriku agar segera masuk kelas karena jam pertama hampir tiba. Keduanya terus merayuku sampai tiba-tiba ada peserta didik lain yang baru datang.

"Selamat pagi, Bu Umi. Maaf, Brian terlambat karena saya harus nganterin pesanan dulu." Seorang wanita muda datang menghampiri tempat kami berselisih. Tangan kanannya menggandeng seorang laki-laki kecil yang terlihat seumuran denganku. Sedangkan tangan lainnya membawa sebuah keranjang roti.

"Iya nggak apa-apa nak Umami. Ini adik yang kamu ceritakan itu?" Umi menyambut kedatangan anak murid itu. Kehadirannya jauh lebih tenang dibandingkan dengan kehadiranku sebelumnya. Aku tidak ada niat untuk menyapa keduanya, hanya saja kedatangannya berhasil mengalihkan rengekanku.

"Iya, Bu. Ini Brian adik saya. Kasih salam dulu sama bu Umi," himbau Umami dengan senyum yang tak pernah tertinggal saat ia berbicara. Sama seperti guru itu.

Brian tampak penurut sekali dengan kakaknya. Dengan berani Brian melangkah untuk mengambil telapak tangan Umi lalu menempelkannya ke dahi. Bahkan tidak hanya kepada Umi, dia juga memberi salam kepada ibuku. Semua orang dewasa saat itu terlihat sangat senang dengan sikap Brian. Sedangkan aku hanya diam memperhatikannya.

Aku meneliti Brian, laki-laki kecil berkulit putih, mata sayu, dan gigi gingsul yang tampak manis saat tersenyum kepada semua orang. Kalau dipikir-pikir dia manis dan tampan. Sepertinya mataku memang mudah tertarik dengan cogan— cowok ganteng— sejak dini.

"Ayo kita segera masuk kelas! Kasihan yang lain sudah menunggu." Mendengar penuturan Umi, aku jadi ingat. Aku pengen pulang. Tanganku kembali merangkul kaki ibu agar tidak bisa kemana-mana. Rasanya belum siap kalau harus tinggal sendirian di sekolah.

"Nggak apa-apa, Sayang. Nanti 'kan ada Brian juga yang bisa jagain kamu," 

"Iya 'kan, Nak Brian?" lanjut ibu ke arah Brian untuk meyakinkanku agar segera masuk kelas bersama Umi. Wanita itu terlihat sudah menggandeng tangan Brian yang sudah siap masuk kelas.

"Betul. Nanti Brian jagain Ela ya," pinta Umami sambil tersenyum manis. Brian hanya mengangguk mantap dengan permintaan kakaknya. 

"Brian ajak Ela masuk yuk!" Sekarang giliran Umi yang meminta kepada Brian dengan lembut. Selanjutnya guru itu membiarkan Brian menghampiriku. Tangan mungilnya meraih tanganku. Sedikit ragu-ragu aku menatapnya dengan ekspresi yang masih menyisakan bekas tangisan. Meskipun dia manis tapi aku tetap waspada.

"Tenang Eya. Ada Blian di cini." Tak kusangka dia akan ikut meyakinkanku untuk masuk kelas bersama. Tapi aku masih tak bisa lepas dari ibu. Kepalaku mendongkak ke atas untuk menatap wajah ibu. Lamat-lamat akhirnya kutemukan senyum yang membuatku yakin, lalu menerima uluran tangan Brian.

Aku menggenggam tangan yang sama mungilnya denganku lalu memasuki ruang kelas. Wajahku sempat menoleh ke belakang. Ternyata ibu masih berdiri disana bersama Umami. Aku yakin ibu tidak akan meninggalkanku sampai memastikan aku akan baik-baik saja bersama satu tuyul di kelas itu.

Baru setelah lulus TK, aku menyadari sesuatu. Umi berbohong, karena Candra tidak pernah menjadi teman baikku. Justru dia selalu menggangguku selama masa-masa TK. Tapi untungnya ibu benar, Brian bisa menjagaku saat hal itu terjadi hingga aku terbiasa menjadi tenang berkat Brian.

***

Hi WiyataWhere stories live. Discover now