Proses Pendekatan Satu

219 11 4
                                    

Ia mengajakku bertemu. Kami sudah kenal dua bulan lamanya. Awal pertemuan kami terbilang heroik untukku pribadi.

Aku yang takut manusia melewati jalan dengan pencahayaan temaram yang sepi. Kegiatan di sekolah menyita hampir seluruh waktu luangku, tapi ini keputusanku juga yang mengajukkan diri menjadi Ketua OSIS.

Segerombolan manusia mirip binatang buas menghadangku. Tak menyangka adegan seperti ini akan terjadi di kehidupanku yang biasanya monoton.

Keterkejutan merayapi sekujur tubuh, aku membeku dengan kaki yang memaku. Berdiri dan gemetaran hebat, tidak bisa bersuara apalagi berteriak meminta tolong.

Aku menutup mata. Enggan menatap mata-mata yang siap menerkamku kapan saja.

Kurasakan tangan meremat bokongku. Keringat dingin menganak sungai di pelipis dan sekitar dahi. Aku benci diriku yang lemah begini.

Dalam hati, tak henti-hentinya aku berdoa. Harapan semu seseorang menyelamatkanku. Padahal kenyataannya tidak mungkin begitu.

Aku sudah lemas dan menyerah, tapi seseorang jatuh menghantam tanah. Mataku membuka, menemukan seonggok manusia yang berdiri beberapa langkah di depan. Di bawahnya, salah satu dari empat manusia menjijikan yang tersungkur.

Kelebat biru tua membabal habis mereka dengan sepersekian detik yang menakjubkan. Aku tidak menyangka, bahwa doaku terkabul.

"Kau tidak apa-apa?"

Makian berada di pangkal tenggorokan. Bagaimana mungkin ia menanyaiku demikian sedangkan keadaanku sendiri sudah menunjukkannya?

Tapi, tidak baik memaki seseorang yang sudah syukur mau membantuku. Jadi, aku hanya mengangguk patah-patah.

Digenggamnya tanganku dan aku dibawa ke depan minimarket 24 jam yang cukup jauh dari tempat kejadian. Ia masuk, meninggalkanku yang masih ketakutan di teras. Tak lama kemudian, ia keluar sembari menenteng botol air mineral.

"Minum dulu."

Kuteguk dengan rakus seluruh air itu yang melepaskanku dari tali yang melilit dada sampai sesak. Setelahnya, aku mengembuskan napas kuat. Mendadak, suaraku kembali berfungsi.

"Terimakasih," kataku.

"Sama-sama. O, ya, rumahmu di mana? Biar aku antar. Tidak baik perempuan keluar malam-malam."

"Tidak usah! Aku bisa sendiri, sungguh."

"Kau yakin? Tapi, matamu berkata lain."

Sialan, ia menangkap kekhawatiran di sorot mataku. Kupalingkan wajah agar ia berhenti menelisikku lebih jauh.

Sadar aku hanya diam saja beberapa menit, ia memutuskan untuk mengantarku sampai rumah. Kami berjalan kaki. Dari sana aku tahu namanya Murayama-san.

"Maaf menunggu lama. Ada apa, Murayama-san?"

Laki-laki itu sudah menunggu di teras minimarket yang sama seperti dulu. Aku menghampirinya, duduk di sampingnya lantas menutut jawaban lewat sorot mata.

"Ah, tidak lama, kok. Aku mau bertanya sesuatu," katanya.

Memiringkan kepala adalah responku. Kenapa tidak melalui telepon saja? Mungkin, ia bosan membaca teks panjang-lebar dariku. Oh, tunggu, apa itu kata lain darinya yang merindukan seseorang? Aku?

"Bertanya apa?"

Ia menaruh atensi penuh ke arahku. Tidak pernah kenyamanan menyusupi tubuhku setiap kali seseorang berani menatapku lekat-lekat seperti itu. Bukan untuk Murayama-san saja.

"Seperti apa tipe laki-laki idamanmu?"

"Hah?" Aku mengedipkan mata berulangkali. Kebingungan kentara jelas di wajahku pasti. "Apa?"

Process of Loving Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang