Lembar Kedua

215 25 3
                                        

Johan tidak tidur semalam. Bukan karena Esa rewel, melainkan karena bayi itu terus terjaga dan tak kunjung terlelap seolah mengajaknya untuk terus bermain.

Bayi berusia dua bulan itu sangat aktif di malam hari hingga membuat Johan mau tidak mau mengorbankan waktu tidurnya. Mau bagaimana lagi, Johan justru harusnya menikmati peran yang mungkin diimpikan oleh banyak orang di lar sana.

Kini pagi-pagi sekali, pria bertubuh jangkung itu telah rapi dengan setelan jasnya. Hari ini dia berencana untuk menemui salah satu kliennya dan terpaksa menitipkan Esa pada Mbok Ning, salah satu orang yang membantunya mengurus rumah.

"Udah wangi anak Ayah." Johan membawa Esa ke dalam gendongannya. "Nanti Ayah tinggal bentar, ya, Nak. Jadi anak yang baik selama sama Mbok Ning. Okay, Baby Boy?"

Johan tersenyum lebar kala melihat reaksi Esa yang menggerak-gerakkan tangan serta kakinya dengan aktif seolah mengerti apa yang tengah ayahnya ucapkan.

"Gemes banget, sih, anak siapa ini?" Merasa gemas, Johan menggesekkan hidungnya pada perut gembul Esa, hal yang membuat bayi itu menggerakkan badannya dilengkapi senyum lebar dan ekspresi geli. "Si gemes, gemes, gemes."

Johan lantas bangkit, mengajak Esa keluar serta menyapa tanaman yang berada di pelataran rumah mereka.

"Lihat tuh, Sa. Bunga matahari bundamu udah berbunga." Johan melangkah mendekati tanaman bunga matahari ysng tumbuh subur serta berbunga indah. "Esa bakalan suka bunga matahari kayak Bunda, nggak?"

Johan terdiam sejenak setelah melontarkan kalimat tersebut. Ah, dia begitu merindukan mendiang istrinya yang telah berpulang lebih dulu meninggalkannya---mereka. Bohong kalau selama ini, Johan tidak merasa sedih. Dia sangat hampa. Semenjak kepergiaan kekasih abadinya itu, Johan seolah kehilangan sebagian dari dirinya. Johan bahkan diam-diam menangis tiap tengah malam seusai putranya terlelap.

Johan pantang menangis di depan Esa. Dia tidak mau terlihat lemah, sekalipun bayi itu belum mengerti apa pun. Namun baginya, Esa akan ikut merasakan kesedihan tatkala dirinya menangis.

"Mas Jo? Udah mau berangkat, ya? Maaf tadi Mbok juga gendong Soni dulu, lagi rewel anaknya."

Suara dan kehadiran Mbok Ning membuat lamunan Johan buyar. Pria itu segera menatap ke arah wanita paruh baya di hadapannya tersebut, lantas mengulas senyum tipis. "Ah, nggak pa-pa, Mbok. Jojo berangkatmya masih sekitar setengah jam lagi, kok."

"Syukurlah. Mbok kira Mas Jo udah nunggu sejak tadi."

"Masuk dulu, Mbok. Jojo udah siapin sarapan."

Lihatlah, bagaimana pria itu mencurahkan perhatian kecil  pada orang-orang di sekelilingnya tanpa pandang bulu.

Mbok Ning terdengar menghela napas menanggapi ucapan Johan. "Kan udah Mbok bilang berkali-kali, Mas Jo nggak perlulah bikinin makanan buat Mbok. Mbok kan bisa buat sendiri kalo laper," gerutu wanita dengan rambut yang digelung itu.

Johan terkekeh. "Nggak pa-pa, Mbok. Tadi sekalian Jojo bikin sarapan juga. Udah gih dimakan."

Mbok Ning hanya pasrah, lantas bergegas menuju dapur untuk menikmati sarapannya. Sedangkan Johan yang masih di halaman tampak mengulas senyum tipis. Mbok Ning adalah salah satu orang penting dalam hidupnya. Sejak orang tuanya meninggal, dia sudah menganggap wanita yang telah mengabdi pada keluarga Johan selama berpuluh-puluh tahun itu sebagai keluarganya sendiri.

Dari Mbok Ning, Johan merasakan kasih sayang seorang ibu yang sudah lama hilang dari hidupnya selama ini.

Merasa sinar matahari kian terpancar, Johan memutuskan untuk ke teras dan duduk di kursi yang ada di sana. Sebenarnya tujuan Johan tadi memang mengajak Esa berjemur sebentar.

Seraya mendekap Esa dengan tangan kirinya, tangan Johan yang lain tampak sibuk memainkan ponsel. Hingga suara rengekan Esa menyadarkan Johan dan mengambil alih kembali atensinya.

"Aduh, iya, maaf, Nak. Ayah lagi balesin chat. Maaf, ya, Esa. Ayah nggak bermaksud nyuekin kamu."

Johan menatap manik mata Esa yang mengerjap lucu. Rengekan bayi itu seketika terhenti. Johan sudah paham betul kalau putranya itu tak suka diabaikan. Esa kerap merengek atau bahkan menangis ketika tak dihiraukan seperti tadi.

"Mas Jo,  Mbok udah selesai. Gih siap-siap. Takut telat nanti. Sini, Esa biar Mbok yang gendong." Mbok Ning keluar dari arah dapur seraya mengulurkan tangannya untuk mengambil alib tubuh Esa dari dekapan ayahnya.

Johan baru hendak bangkit berdiri saat dia merasakan sesuatu yang basah merembes di celananya. Johan mematung dalam seketika, memahami apa yang baru saja terjadi.

"Kenapa? Esa ngompol, ya?" tanya Mbok Ning seolah mengerti dengan situasi yang terjadi.

Johan mengangguk pelan diiringi ringisan. "Iya, tadi lupa nggak pakein dia pampers."

"Ya udah, sini biar Mbok yang gantiin." Mbok Ning sudah hendak mengambil Esa dari pangkuan ayahnya, namun Johan tiba-tiba menahannya.

"Mbok," tuturnya, "kayaknya Jojo nggak jadi berangkat aja deh. Esa nggak ngizinin."

Kening Mbok Ning berkerut. "Hah? Mas Jo serius? Bukannya itu proyek penting?"

"Nggak juga, jauh lebih penting Esa, Mbok. Nanti Jojo bakal minta Jaka yang dateng. Dia lagi free sekarang."

Mbok Ning yang sudah mengnal dengan baik karakter Johan yang tak akan mengubah keputusan pun akhirnya hanya mengangguk kikuk. "Ya-ya ... udah. Terserah Mas Jo aja, deh."

"Minta tolong buat gantiin popok Esa dulu, ya, Mbok. Jojo mau hubungin Jaka." Wanita itu mengangguk, lalu membawa tubuh mungil Esa masuk rumah.

| Bro, boleh minta tolong? Tolong gantiin gue ketemuan sama klien gue, bisa? Esa lagi rewel soalnya. Gue minta tolong bgt.

Jaka

| Selama gue free, gue bisa ngelakuin apa aja. Terutama demi keponakan gue.

Johan tersenyum lega membaca balasan dari Jaka. Anggaplah bahwa pria itu tidak profesional dan mencari-cari alasan untuk tak datang. Tapi sejatinya, Johan bahwa secara tak langsung dengan adanya kejadian tadi, Esa tak mengizinkan dia untuk pergi.

Sembari menatap bekas ompolan Esa di celana bagian depannya, Johan bergumam, "Sa, Esa ... kamu ini bisa aja buat Ayah makin bucin dan nggak rela ninggalin kamu di rumah."

Johan tertawa singkat. Dia menyadari satu hal bahwa dia terlalu mendalami peran sebagai ayah dan merasa semua tentang Esa bagaikan candu.

🌻

Hihi, si Ayah nggak jadi pergi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hihi, si Ayah nggak jadi pergi.

Hai, masih ada yang bangun?

Ayo kasih aku vote sama komen yang banyak, ya! Semoga kalian suka. Jangan bosan untuk mendukung cerita paling sederhana ini.

Ayo komen dan votenya jangan lupa bestieeee.

Terima kasih sudah mampir,

Jumat, 13 Mei 2022

Salam angin kemenangan,
Windiesti

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 13, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dua PradirgaWhere stories live. Discover now