6

1K 187 2
                                    

Mémoire

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


.

Ketenangan merupakan hal yang sangat diminati setiap orang. Termasuk sepasang insan yang menikmati elusan halus dari angin yang membelai permukaan kulit. Di saat anggotanya sibuk berseteru dengan Toman di Shinjuku, Izana malah lebih memilih menghabiskan waktu berdua dengan [Name].

"Tempat ini terdengar ramai."

"Karena kita berada di pusat kota," jelas Izana.

"Oh ya? Ku pikir kau bukan tipe orang yang senang berada di keramaian," sahutnya.

Tidak membalas, atensi Izana terpusat pada sebuah jepit kecil yang dipajang penjual.

Seorang wanita parubaya tersenyum lebar. "Kau ingin membeli jepit itu, anak muda? Aku akan memberimu diskon."

Tanpa basa basi, Izana mengangguk. "Aku mengambilnya." Izana mengambil jepit tadi lalu memberi uang kepada penjual.

"Terimakasih."

Tidak membalas apapun, pikiran Izana sibuk mengilustrasikan penampilan [Name] bila memakai jepit pemberiannya. Pasti tampak manis.

Tepukan pelan pada punggung sedikit mengejutkan Izana, pelakunya adalah [Name] "Kau membeli sesuatu?"

Segera, Izana menyimpan jepit itu di kantong. "Tidak ada."

Keduanya kembali melanjutkan langkah, sesekali membahas topik guna memecah keheningan.

Hingga sesuatu di depan sana mendapati perhatian banyak orang, termasuk [Name]. Masyarakat mengelilinginya dan mengomentari beberapa hal.

"Kasihan sekali."

"Padahal dia baru saja membeli tongkat pemandu jalan untuk anaknya."

"Aku mengenal wanita itu, dia memiliki seorang anak perempuan tunanetra."

"Benarkah? Akan sangat menyakitkan bagi anak itu jika mengetahui kejadian ini."

Kakinya mendadak lemas, rasa mual langsung melanda. Dengan cepat, [Name] memasuki kerumunan.

"[Name]?!" Izana langsung menyusulnya.

Didapati [Name] tengah menangis sembari memeluk tubuh seorang wanita parubaya. Tak jauh dari wanita itu, terdapat sebuah tongkat pemandu jalan.

Meski lemah, sebuah tangan mengelus pelan pipi [Name]. Air mata tak tertahan sudah keluar membasahi pipi. "Apakah ini ibu?" tanyanya lirih.

"Iya."

Hendak berbicara, sebuah telunjuk menahan bibirnya. "Dengarkan ya ... aku adalah ibu yang buruk." [Name] menggeleng, tidak membenarkan.

"Jujur saja, awalnya aku tidak menyukai keberadaanmu yang cacat. Demo, kau adalah anak yang kulahirkan sendiri. Tidak akan ada seorang ibu yang rela menelantarkan anaknya." [Name] semakin mengeratkan dekapannya.

Ibunya tersenyum tipis, air matanya pun tak terbendungi. "Meski tidak banyak perhatian yang kuberikan padamu, tetapi sungguh ... aku sangat menyayangimu anakku ... sampai rasanya aku masih ingin melihatmu tumbuh dewasa dan bekeluarga."

"Sebagai pemberianku yang terakhir kalinya, kuharap kau bisa menjaga tongkat itu dengan baik. Dan sebagai permintaanku yang terakhir, tumbuhlah dewasa. Aku akan selalu melihatmu dari atas sana."

"A-aku juga sangat menyayangimu, ibu! Jadi ... jangan tinggalkan aku." Tangisan semakin kencang saat dirasa tubuh ibunya sudah lemas tak berdaya.

"Apa yang terjadi?" gumam Izana.

"Wanita itu tertikam seseorang, sepertinya ia dirampok."

"Aku sudah menelpon ambulance, nak. Ambulance akan segera tiba."

Izana membawa tubuh [Name] beserta wanita itu ke dalam dekapannya. "Izana-san ... dia ibuku."

Tangannya terangkat hingga tampak jelas cairan berwarna merah dari tubuh sang ibu. "Izana-san ... apakah ini darah? Ibu tidak akan mati kan?"

"Ne, Izana-san. Katakan padaku, ibu tidak akan meninggalkanku kan? Aku sudah berusaha menjadi anak baik agar tidak menyusahkannya. Jadi ... dia tidak akan meninggalkanku sendiri di dunia ini kan?"

[Name] terus mengelus wajah wanita. Tetapi takdir berkata lain, wanita itu memanglah ibunya dan nyawanya sudah tak terselamatkan.

.

Proses kremasi berjalan dengan cepat. Selaku anak, [Name] selalu mendampingi jenazah sang ibu. Sebagai seorang teman pula, Izana beserta beberapa anggota Tenjiku lainnya turut menemani [Name].

Tidak ada air mata yang keluar, gadis itu terlihat semakin kosong.

Masih berdiam diri di hadapan abu ibunya, ia tak berniat bergerak barang sedikitpun. Tangannya mencengkeram erat sebuah tongkat pemberian terakhir beliau.

Izana khawatir. Ia tidak tahu bagaimana cara menghibur sang puan. Karena ia juga kembali merasa kosong kala melihat [Name] demikian.

"Izana-san," panggilnya.

Berkedip beberapa kali, Izana langsung menghampirinya. Kakucho yang paham dengan situasi langsung membawa semua anggota Tenjiku untuk meninggalkan sepasang insan di sana.

"Izana-san," panggilnya lagi.

"Ada apa?"

Tarikan pada ujung seragamnya, Izana rasakan. "Kau tidak akan meninggalkanku, seperti ibu kan?"

Langsung dibawanya [Name] ke dalam dekapan. "Tidak akan."

[Name] menengadahkan kepalanya, menatap Izana dengan mata terbuka. "Janji?"

Diciumnya dahi si puan dengan lembut. "Janji," bisiknya.


•••

Pict: https://pin.it/5XZRAPp

Mémoire | Izana X Reader Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang