5

1K 196 2
                                    

Mémoire

.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.

[Name] itu menyayangi ibunya melebihi dirinya sendiri. Rela memperjuangkan apapun demi wanita yang melahirkan dan merawatnya sedari bayi.

Walau ia tidak terlampau akrab dengan beliau, namun [Name] tahu betul bahwa sang ibu tidak melakukan pekerjaan senonoh. Maka dari itu, jika ada orang-orang yang melontarkan ejekan demikian teruntuk sang ibu, [Name] murka.

Saat ini, ia tengah bersantai bersama beliau di teras rumah. Bau asap rokok menyengat masuk ke indera penciuman, namun tak melunturkan senyuman ramah teruntuk sang ibu.

"Kau tidak memakai tongkatmu?" Diam-diam [Name] merasa senang, ternyata ibunya masih memperhatikannya.

Ekspresi berubah, ia menunduk tak berani menampakkan wajah. [Name] merasa sangat bersalah. "Maafkan aku, ibu. Aku menghilangkan tongkat itu," lirihnya.

"Hilang?" Wanita parubaya itu mengangguk paham. Dalam hati ia bertanya, 'apakah anak-anak itu yang mengambil tongkat [Name] lagi?' (Anak-anak merujuk pada 5 orang remaja yang sering menggunjing [Name])

"Akan ku belikan yang baru bila dananya sudah ada."

Sang puan kembali menegakkan kepala, ia tersenyum lebar. "Baik bu, terimakasih."

.

Hari-harinya tidak begitu spesial. Layaknya terjadwal, semua kegiatan seakan rutin dilakukan. Mulai dari pergi ke sekolah, kemudian pulang untuk membereskan rumah, lalu berakhir di markas Tenjiku. [Name] seakan sudah menjadi bagian dari mereka.

Jujur saja [Name] merasa sedikit canggung. Dia yang tidak pernah memiliki teman justru dikelilingi banyak teman secara mendadak.

Kali ini pula, temannya bertambah. Sosok Kokonoi Hajime yang menjadi anggota Tenjiku dalam keadaan babak belur. Kemudian Yasuhiro Muto--kapten divisi 5 Toman yang berkhianat. Jangan lupakan anggota divisi 5 yang turut dibawa Muto.

Tenjiku berhasil menjadi geng besar di Yokohama.

"Hari ini aku yang akan mengantarmu pulang, Hime-sama." Izana menghampiri [Name] yang sedari tadi mengobrol bersama Hajime. Membahas bisnis, katanya.

"Ah, baiklah. Sampai jumpa Koko-san, senang berbincang denganmu."

Hajime mengangguk kikuk. "Ya, senang berbincang denganmu juga."

Keduanya berjalan menuju motor yang terparkir. Jangan lupakan tangan yang saling bertautan.

Pernah ditanya alasan Izana yang terus menggenggam erat tangannya ketika berjalan. Lelaki itu pun menjawab dengan santai, "Anggap aku adalah tongkatmu, bedanya aku akan membimbing jalan plus menjagamu." Dan [Name] tidak memusingkan hal itu.

"Ada masalah?" Sedari tadi Izana memperhatikan gerak gerik tak nyaman dari [Name].

"Kau ingin mendengarkannya?" tanya [Name] memastikan.

"Tentu."

Langkah si dahayu terhenti, Izana juga turut mengikuti. Keduanya menghadap lautan yang tenang, namun tak mengabaikan indahnya langit di atas sana. Izana mengumpulkan surai panjang tak terikat milik gadis di sampingnya, kemudian dibawa surai itu terkumpul di bahu kiri.

Izana kembali terpesona dengan keelokan dahayu.

"Aku merasa aneh," celetuk [Name].

"Kita baru bertemu sebulan yang lalu dengan awalan yang tidak menyenangkan, kemudian menjadi akrab tanpa persyaratan."

Penyandang marga Kurokawa itu menatap [Name] yang menggigit bibir bawahnya. "Lalu?"

[Name] menggenggam ujung seragam Tenjiku milik Izana. "Aku ... takut." Terdengar lirih, Izana mulai menyimak dengan serius.

"Aku tidak ingin kau maksudku kalian meninggalkan ku setelah kekosongan di sini terisi." Jemari lentiknya memegang dada kiri, seakan menunjukkan posisi hati.

Merasa sesak dengan kesedihan dahayu, tangan itu digenggaman erat oleh Izana. "Aku tidak akan meninggalkanmu." Nadanya penuh dengan tekat kuat.

"Kau juga tidak boleh meninggalkan ku."

Terlintas sebuah ide dibenaknya. "Jika aku meninggalkanmu?"

"Aku akan menculikmu."

Tawa kecil keluar dari bibir [Name]. "Kau tidak boleh melakukannya, itu kejahatan."

"Tak masalah, aku sudah terbiasa melakukan kejahatan."

Niat awal ingin mengantar gadis itu pulang dengan kendaraannya, malah berakhir jalan berdua di bawah indahnya lembayung.

Berbagai macam lelucon serta percakapan saling terlontarkan. Jika diperhatikan, keduanya tengah saling mengisi kekosongan di hati masing-masing.

"Kita senasib, hati ini juga merasa kosong. Tidak ingin berdusta, kau lah yang membantuku mengisi kekosongan ini."

"Kalau begitu, aku tidak perlu membalas budi."

Gadis itu tersentak kaget ketika Izana baru saja menyentil dahinya. "Kau harus membalasnya."

"Dengan apa?" Ketahuilah bahwa [Name] adalah perempuan pemilik sifat tidak enakan.

Elusan Izana berikan pada ujung kepala [Name]. "Tidak sekarang, aku akan menagih balasan itu lain kali."

Sebuah ingatan kembali terpikirkan [Name]. "Setelah kedekatan ini pula, kau masih tidak ingin meminta maaf padaku?"

"Apa kau penggila kata maaf?"

"Hei! Itu wajar tahu! Kau menabrakku saat itu dan aku masih memendam rasa kesal padamu."

Lelaki itu menahan rasa gemas saat [Name] tak kuasa menahan rasa kesal.

Ia pun mengelus [Name] lagi. "Yosh yosh. Aku akan meminta maaf padamu, tetapi tidak sekarang."

"Kapan waktunya?"

Dengan lugu, Izana tampak memasang pose berpikir. "Hum kapan ya? Mungkin ketika aku hendak mati."

Decakan keluar dari [Name]. "Kalau begitu, aku tidak akan meminta kata maaf dari mu lagi."

•••

Pict: https://pin.it/1G9zWtB

Mémoire | Izana X Reader Where stories live. Discover now