4

1K 199 6
                                    

Mémoire

.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

Kehidupannnya cukup memilukan. Ditinggal sang ayah setelah mengetahui anaknya tunanetra, untung saja sang ibu masih mau merawatnya walau berat hati.

Ia tak bisa menyangkal. [Name] sadar betul bahwa ibunya tidak menyukai kehadiran [Name]. Meski demikian, gadis belia ini sangat menyayangi beliau.

Karena itu pula, [Name] merasa segan untuk meminta tongkat baru pada ibunya. Berhari-hari ia habiskan tanpa benda itu sebagai alat bantu jalan.

Namun, ada sesuatu yang janggal. Kehadiran Kurokawa Izana sangat berperan besar dalam beberapa hari belakang. Bak siap sedia, Izana selalu hadir kala [Name] kesulitan. Pada akhirnya, tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan keduanya sudah masuk dalam tahap pertemanan.

Entah apa yang merasuki pikiran pemimpin Tenjiku yang dikenal kejam ini? Itulah yang menjadi pertanyaan para anggota Tenjiku saat Izana membawa [Name] menuju markas. Pasalnya bukan sekali dua kali, Izana kerap membawa [Name] di setiap kesempatan.

Saat ini pula, [Name] sedang membantu Rindou mengerjakan tugas.

Seorang berandal tidak boleh melupakan kewajibannya.

"Kau bisa memasukkan semua angka itu ke dalam rumus yang sensei berikan tadi, Rindou-san." Rindou mengangguk paham.

"Jawabannya 57 kan?"

"Hum, betul."

Lelaki itu pun meregangkan otot setelah semua tugas usai.

"Aku akan membeli minuman dingin." [Name] membalas dengan deheman, lagipula ia juga merasa sedikit haus.

Tinggallah ia seorang diri di markas Tenjiku yang lumayan besar. Akibat merasa lelah, ia mencoba terlelap sebentar di bawah alam mimpi sembari menunggu Rindou tiba.

.

Katakanlah Izana sudah menjadi seorang stalker. Ia tidak peduli asalkan bisa memperhatikan [Name] dengan baik. Izana sudah terjerat lubang penuh ketertarikannya pada [Name]--gadis tunanetra misterius, pikirnya.

"Mata yang selalu tertutup." Izana memperhatikan wajah tertidur [Name] dengan saksama.

Pandangannya tertuju pada bibir mungil. "Terkadang bibir ini melontarkan kata kasar."

Izana terkekeh pelan. "Ternyata kau cantik juga ya?"

"Sangat tidak sopan bila kau terus memperhatikan wajah seorang gadis yang sedang tertidur, Izana-san."

"Hime-sama sudah terbangun rupanya."

"Ya dan mendengar semua ucapanmu."

Kepalanya sedikit dimiringkan, Izana tampak lugu. "Apakah aku harus bereaksi seakan malu karena tertangkap basah?"

"Tidak perlu."

Suasana menjadi hening. Tak henti-henti Izana memperhatikan setiap sudut wajah [Name]. Gadis itu sendiri tengah membaca sebuah buku penuh huruf braille.

[Name] itu sedikit sensitif, tidak bisa melihat bukan berarti tidak bisa merasa. "Ada yang salah dengan wajahku?"

"Tidak."

"Lalu? Berhentilah memperhatikan wajahku. Itu membuatku tidak nyaman."

Diam sejenak, Izana mulai mengikis sedikit demi sedikit jarak di antara wajah mereka. "Baiklah. Hanya saja ...."

Nafas si puan tercekat. "Hanya saja?"

"Aku penasaran dengan matamu." Izana menangkup wajah [Name].

"Hanya itu?" [Name] sedikit bingung. Baru Izana lah orang yang ingin melihat matanya. Padahal orang-orang sangat menghindari hal itu, takut tertular katanya.

Ilmu medis pun menggeleng frustasi bila mendengarnya.

Tanpa diketahui [Name], Izana menunggu dengan antusias.

Layaknya tunanetra pada umumnya, manik yang didominasi putih itu terlihat indah di mata Izana. Lelaki itu dibuat bergeming.

Ia kembali tersadar saat [Name] memejamkan matanya lagi. "Itu tidak membuatku nyaman, rasanya akan sangat kering jika terlalu lama terbuka."

"Ah, souka."

Beralih pada [Name], saat ini ia tersenyum lebar. "Kau sudah melihatku. Apakah aku boleh melihatmu?"

Tentu saja permintaan dari [Name] dibalas raut bingung dari Izana. "Melihat?"

"Maksudku menyentuhmu. Sebagai tunanetra, kami menggunakan indera peraba untuk melihat."

"Oh? Tentu. Kau bisa melihatku sepuasmu." Ditariknya kedua tangan [Name] hingga menyentuh wajah Izana. Lelaki itu menikmati sapuan halus di setiap sudut wajahnya.

"Sepertinya kau tampan."

"Ya, aku tahu itu."

"Seketika aku menyesal telah memujimu."

"Hei, itu fakta lho."

"Sesukamu saja."

Tidak ingin hanya berdiam diri, Izana juga ikut menyapu halus wajah [Name].

"Pertemuan pertama kita tidak bagus kan?" celetuk Izana.

"Ya, dan aku ingat betul kau belum meminta maaf padaku," sahut [Name].

"Aku tidak akan melakukannya."

Kegiatan mereka terhenti. Izana kembali menangkup wajah [Name]. Sedangkan gadis itu tengah memainkan jarinya sendiri.

"Na, Izana-san." Izana berdehem sebagai balasan.

"Aku senang memiliki teman sepertimu." [Name] tersenyum dengan tulus.

"Ya, aku juga."


•••

Saya hanya penulis amatir minim pengetahuan, bila terdapat kesalahan pembaca sekalian bisa mengoreksinya.

Pict: https://pin.it/2hthQtQ

Mémoire | Izana X Reader Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang