Natta tak pernah menyangka bila keistimewaan yang ia miliki akan membawanya pada satu kenyataan paling membahagiakan sekaligus menyakitkan dalam hidupnya.
Namun, Natta selalu percaya bahwa akan ada hikmah di balik semua yang terjadi dalam hidupnya...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
“Kamu tidak bisa seperti ini terus. Dunia nggak akan membantu, justru menertawakanmu. Wake up call, Nagata!”
Natta mendelik saat tiba-tiba suara Jo terdengar, padahal sebelumnya sosok itu meninggalkannya begitu saja. Pemuda itu bergerak mengubah posisinya menghadap Jo yang duduk di sofa. “Seharusnya lo tadi bilangnya wake up to reality. Anjing!” balasnya, diakhiri dengan umpatan.
Jo berdecak sebal. “Selesaikan semuanya. Semakin kamu seperti ini, semakin keadaan berantakan. Bicarakan baik-baik dengan Jian, dia juga terkejut, bukan hanya kamu.”
Natta bergeming. Diam-diam memikirkan adiknya. Kemarin ia benar-benar kacau sehingga lupa dengan Jian. Tujuan awal datang ke rumah adalah untuk memastikan Jian baik-baik saja, bukan menambah beban pikiran adiknya itu. Setelahnya, ia bergerak mengambil ponsel di bawah bantal—yang memang sengaja ia letakkan di sana karena banyak sekali panggilan yang membuatnya terganggu, sehingga memilih mematikan ponsel dan menghilangkannya dari jangkauan.
Saat ponsel sudah kembali menyala, Natta dibuat tak percaya saat tahu puluhan kali Jian mencoba menghubunginya dan ratusan pesan WhatsApp dari Jian pula. Juga ada beberpa pesan dan panggilan dari Raja, Jerico, dan Chandra yang memintanya makan malam serta pagi tadi untuk turun sarapan. Bahkan, ada pesan dari Raja yang berisi bahwa dia sudah meminta izin kepada dosen atas ketidakhadiran Natta hari ini karena alasan keluarga.
Natta memijat pelipisnya yang terasa pening, mungkin karena belum menelan apa pun sejak kemarin. Setelah beberapa saat, ia bergerak duduk. Natta meringis saat merasa tubuhnya seolah rontok semua.
“J-Jo ... suer, punggung gue copot, Jo,” rintihnya yang justru terdengar menjengkelkan di telinga Jo.
Jo hanya memutar bola matanya malas. Sementara itu, Natta kini mulai bergerak beranjak dari ranjang. Natta tahu, masalah tidak akan selesai bila ia hanya diam dan meratapi nasibnya seolah dunia tidak pernah adil. Bagaimanapun, ia masih punya banyak tanggung jawab.
Selesai bersih-bersih, Natta kembali mengambil ponselnya di kasur. Jemarinya dengan lincah men-dial nomor Jian, namun beberapa kali tak terjawab. Natta berdecak, sadar jika saat ini masih jam sekolah adiknya. Ketika hendak mematikan sambungan, tiba-tiba nada tunggu panggilan berubah disusul suara seseorang yang menjawab panggilan tersebut.
“Halo, Kak Natta?” sapa seseorang dari balik panggilan.
“Leksi?” balas Natta memastikan.
“Iya, Kak. Ini Leksi.”
“Kenapa lo yang jawab? Jian mana?” Natta bingung dan sedikit khawatir karena selama ini Jian tidak pernah menolak atau meminta orang lain untuk menjawab panggilannya.