01.

3.9K 388 12
                                        

Malam itu, Natta tidak tahu bahwa seseorang duduk di sampingnya sejak lama, karena ia terlalu larut dalam lamunan dan terlalu diam dalam kehampaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu, Natta tidak tahu bahwa seseorang duduk di sampingnya sejak lama, karena ia terlalu larut dalam lamunan dan terlalu diam dalam kehampaan. Entah sejak kapan dan dengan alasan apa seorang laki-laki tersebut rela menemani Natta yang hanya duduk diam di bawah pohon tabebuya yang bahkan tidak ada bunganya.

Malam itu juga merupakan malam yang sepi, bahkan kendaraan pun jarang yang melintas. Hanya suara kebisingan yang terdengar dari kejauhan, juga suara samar dari sirene dan gonggongan anjing yang saling bersahutan. Mungkin, itu juga yang menjadi alasan mengapa lelaki yang berprofesi sebagai pelukis itu rela menjadi orang bodoh untuk beberapa saat karena menemani Natta melamun.

Setelah beberapa waktu, akhirnya lelaki itu bersuara, "Di sini sepi, lo bisa kerasukan. Terus kalo kerasukan nggak ada yang nolong, terus kalo nggak ada yang nolong lo bisa dijadiin temen mereka-" Ucapannya terpotong oleh tanggapan sarkas dari Natta.

"Bukannya lo tau kalo gue emang temen mereka?"

Mark, alias si lelaki yang sedari tadi duduk di samping Natta dibuat terdiam sesaat kemudian sedikit tertawa, membenarkan pertanyaan dari Natta tadi yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. Bisa dikatakan, Mark adalah orang yang mengetahui banyak hal tentang seorang Nagata Arvian.

"Ada apa lagi, sih, sampe lo harus ngelamun di sini?" tanya Mark. "Sekarang weekend. Harusnya lo pulang ke rumah, kan?" lanjutnya.

Natta mengangguk pelan kemudian bersuara, "Ternyata beberapa hari lalu Jian sakit dan gue nggak tau," ucapnya lirih.

Mark manggut-manggut, tahu betul ke mana arah pembicaraan Natta. "Terus mereka nyalahin lo karena nggak bisa jagain adek lo?" tanya Mark yang dijawab anggukan oleh Natta.

Mark menghela napas panjang sebelum kembali bersuara, "Padahal kalo secara nalar, mereka yang harusnya disalahin karena terlalu sibuk sama urusan mereka sendiri sampai lupa sama anak. Bener, kan?" Nada bicara Mark masih lembut seperti sebelumnya, tetapi siapa pun pasti tahu bahwa ada rasa kesal dari ucapannya tadi.

Sementara itu, Natta hanya terdiam. Ia sudah terlalu lelah memikirkan masalah di dalam keluarganya yang seolah tanpa akhir. Sebenarnya Natta juga merasa bersalah karena memilih keluar dari rumah dan meninggalkan sang adik, tetapi ia juga sudah terlalu muak dengan perilaku kedua orang tuanya.

Tepukan pelan pada bahunya mengembalikan Natta yang tadi kembali melamun. Tentu saja pelakunya adalah Mark yang masih belum beranjak dari samping Natta.

"Mending balik sekarang, Na. Kalo lo nggak mau pulang ke rumah, ya, bisa ke kos aja. Atau kalo mau ke tempat gue juga nggak papa. Makin lama di sini makin ngeri, nih, gue," tutur Mark sembari menatap ke sekitar yang terlihat semakin sepi saja.

"Lo kalo mau balik duluan nggak papa, Bang. Gue masih mau di sini." Natta membalas tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya, pandangan matanya lurus menatap depan.

Tak ada balasan lagi dari Mark. Namun, tak ada pergerakan juga yang menandakan jika laki-laki itu akan beranjak dari sana. Intinya, Mark akan tetap di sana menemani Natta sekalipun pemuda itu memintanya pergi.

Initials (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang