The Denial

42 18 8
                                    

"Saskara, hmm... Papa--oke, sori-sori. Maksud Paman... ada yang mau Payus diskusikan." Pak Yunus spontan menyerocos sewaktu ekor matanya menangkap sekelebat bayangan yang beliau yakini adalah keponakannya, tetapi segera meralat saat melihat ekspresinya.

Pasca pertemuan keluarga bersama Anulika dan mamanya waktu itu, Pak Yunus memang sudah menyetujui keinginan Saskara untuk kembali membiasakan diri dengan panggilan 'Paman' atau 'Payus' alih-alih sebutan 'Papa'. Sejujurnya itu bukanlah hal besar jika saja pria itu tidak kepalang nyaman dengan status tersebut.

Pasalnya, Pak Yunus sampai rela menyembunyikan nama 'Damian' demi Saskara, padahal teknisnya beliau tidak berkewajiban menampungnya atau bahkan--yang melampaui ekspektasi Saskara sendiri--menjadikan anak itu sebagai anak kandungnya.

Pak Yunus yakin jika dia menceritakan ini, semua akan menganggapnya bodoh atau terlalu baik. Bayangkan saja, bisa-bisanya seorang pria yang masih single bersedia mengemban tanggung jawab yang akan menciptakan tragedi. Statement ini bukannya lebay karena terbukti beberapa wanita yang terlibat asmara dengannya tidak memberikan hasil yang manis kala mengetahui eksistensi Saskara. Sesuai dugaan, anak itu disangka anaknya di luar nikah atau dengan kata lain, pria itu diduga telah menghamili seseorang di masa mudanya.

Statement itu bukannya tanpa alasan, berhubung Pak Yunus memiliki karakter yang kadang-kadang terlampau easy going untuk dijadikan guru teladan. Bahkan tidak jarang beliau terlibat di antara para siswi yang tidak segan-segan akrab dengannya, meski bukan berarti sikap mereka akan melampaui batas antara guru dan murid. Tetap saja, Pak Yunus mempunyai aturannya sendiri dalam mengakrabkan diri dengan anak yang bisa dibilang masih di bawah umur itu.

Itulah sebabnya mengapa di satu sisi, Pak Yunus menyetujui atas apa yang diinginkan oleh Saskara, ketika dia harus menyembunyikan nama belakangnya ke publik. Saskara berbeda dari anak-anak lain yang bisa sesederhana itu berteman dengan siapa saja. Bila dibandingkan, dia bahkan lebih parah dari Anulika Latief, gadis yang dikenalnya sebagai anak yang terlampau mandiri untuk berteman dengan yang lain.

Tidak, Saskara lebih kompleks daripada itu. Meski Pak Yunus sangat menginginkannya membuang kenangan lamanya yang menyedihkan sekaligus tragis, beliau sadar bahwa Saskara butuh waktu untuk menyembuhkan diri.

Karena hanya waktu dan kasih sayanglah yang bisa membantu keponakannya. Setidaknya selama delapan tahun Pak Yunus menandainya sebagai anaknya--miliknya, Saskara sudah menjadi lebih baik dan itu adalah perkembangan yang benar-benar luar biasa.

Saskara tidak berkata apa-apa, tetapi dia mau menyempatkan diri untuk ikut duduk di sofa padahal dia baru pulang. Meskipun demikian, seragamnya masih rapi seolah-olah hari masih pagi dan dia sedang bersiap-siap ke sekolah.

Saskara memang demikian; selalu tampak rapi dan jarang menunjukkan bagaimana bentukan seorang remaja yang ugal-ugalan. Terkadang, Pak Yunus geregetan sendiri karena wujudnya sangat bertolak belakang dengan sang keponakan di masa lalu. Boro-boro menunjukkan bagaimana mengenakan seragam yang rapi, beliau malah senang memperlihatkan bagaimana rasanya melanggar peraturan sekolah.

"Paman rasa ada yang salah sama Anulika. Kamu ngerasa gitu, nggak?"

"Kenapa tanya aku?" Saskara balik bertanya, bersikap seolah-olah Pak Yunus salah mengajak orang berdiskusi.

"Dia ngejar kamu ke toilet, loh."

"Kok, Paman tau aku ke toilet?" Saskara spontan mendelik horor, tiba-tiba overthinking.

"Lah. Memang ke toilet, 'kan?"

"Oh. Kirain."

"Skip. Lupain tentang toilet karena bukan itu intisarinya," pungkas Pak Yunus, tidak sabaran. "Trus, waktu itu kenapa dia ajak kamu ngobrol berdua? Ngomongin apa memangnya?"

Her Crush is My Dad [END]Where stories live. Discover now