Chapter 24

255 59 22
                                    







Amel berdiri mematung, netranya mengikuti setiap gerakan Dirga yang tengah mengemas baju-bajunya dari dalam lemari milik gadis itu.  Sedari tadi bertanya hendak pergi kemana, namun tidak ada jawaban malah Dirga menyuruhnya untuk diam.

"Terima kasih untuk kamar kamu."

"Kalau mau pergi, saya antar ya?"

Dirga berlalu keluar dari dalam kamar, Amel tampak linglung. Karena tak ingin kehilangan, ia berlari menyusul keluar kamar hingga tak terduga dirinya menubruk Dirga dari belakang.

"Kok ...."

"Saya hanya ingin kembali ke kamar semula saja!"

Ya, pria itu berdiri tepat didepan pintu kamarnya yang masih bersebelahan dengan kamar istrinya. Perlahan memutar knop pintu dan masuk meninggalkan Amel sendiri. Pintu coklat tua itu masih sedikit terbuka, selama ini mengintip saja Amel tak pernah.

Karena penasaran bagaimana suasana kamar pribadi itu, Amel mengintipnya sedikit. Tempat tidur besar tampak mendominasi, sungguh rapi dan terlihat sangat nyaman. Pandangan sebelah mata miliknya terganggu, tiba-tiba saja sebuah kaos putih menghalanginya mengintip. Loh, kaos siapa?

Dirga memperhatikannya dengan tatapan dingin, Amel mendongakkan wajahnya lalu berubah tegang. Tubuhnya kembali tegak dengan pandangan ia alihkan bersiap mencari alasan.

"Makan malam sudah, kenapa tidak kerjakan tugasmu siapa tahu ada?"

"Ah itu, s-saya baru mau melakukannya." jawabnya ragu.

"Lalu?"

"Itu ... oh, saya mau membahas nama panggilan kembali."

"Kenapa? Bukannya sudah ada?"

"Mas? Maksud saya, benar memanggil seperti itu?"

"Jadi mau bagaimana lagi, sudahlah saya harus bekerja besok pagi-pagi sekali." Dirga menutup pintunya cukup keras membuat Amel terlonjak kaget. Mungkin Dirga sedang tidak ingin diganggu, pikirnya.

Ia berjalan pelan memasuki kamarnya kembali, kenapa tiba-tiba aneh begini jika tidur sendirian? Awalnya juga begitu. Merebahkan tubuhnya perlahan, refleks menoleh kesebelah kanannya yang tampak kosong.

"Kenapa jadi sepi gini sih."

Amel berbalik menghadap kanan, memeluk guling lalu menatap lekat tempat yang biasa Dirga tidur disitu. Kenapa dia menjadi manja, sudahlah lupakan saja.

*

Amel berjalan menyusuri lorong-lorong kelas, sejak kejadian itu dia lebih banyak diam dan sedikit takut jika didekati orang asing. Pagi ini biasanya ia sudah melihat Johan melambai didepan gerbang, tapi sampai ke kelas pun pria itu tidak kelihatan.

Ia meletakkan ranselnya pada bangku, Amira—teman semejanya tampak menatap aneh.

Tapi itu tidak terlalu dipikirkannya, kini fokusnya tertuju pada Johan yang ternyata baru tiba. Tubuhnya mematung didepan kelas saat melihat Amel menatap dirinya, pandangannya perlahan ia turunkan. Berjalan menunduk, melewati Amel hendak ke meja belakang.

Ia masih aneh, memutar tubuh dan kembali melihat Johan. Sahabatnya itu melirik sekilas, langsung menjatuhkan kepalanya diatas meja dan tidur dengan tangan sebagai bantal. Berusaha menghindar dari tatapan gadis itu, rasa bersalah membuatnya tak punya kekuatan untuk melihat netra jernihnya secara langsung.

"Maafkan aku Amel." lirihnya memejamkan mata.

*

"Mel, lo mau ikut kelapangan basket gak?" sekumpulan siswi mendatangi mejanya.

"Iya, ayo. Kita nonton tim sahabatmu, Johan." sahut yang lain, namun terkesan lirihan mengejek.

"Maaf ya, aku ingin pulang saja sedikit tidak enak badan." ujarnya langsung memakai ransel dan beranjak berdiri.

"Tidak enak badan atau—" mereka tersenyum.

Amel melirik satu-persatu dengan sebelah alis terangkat.

"Sebaiknya lo cepetan nyari sekolah baru deh, nanti kalau ketahuan ... kan bisa kena pecat."

"Maksud kalian apa?"

Cewek berambut panjang melebihi bahu itu mengitari meja, kini berdiri disebelah kirinya. "Turut prihatin ya sama kasusmu, pasti berat banget kehilangan jati diri semasih sekolah." keempatnya menutup mulut tampak menahan tawa.

Amel merasakan perasaan aneh, sakit. "Maaf aku permisi."

"Awas nanti diculik lagi, mendingan minta Johan antarkan." seiring kakinya melangkah keluar, mereka dengan bebas tertawa.

*

Dirga senang, Devan sudah ditahan dengan kasus penculikan dan kekerasan pada wanita. Ia menyampaikan kabar itu saat usai makan malam, Amel terlihat begitu lega. Ia masih belum menceritakan, sudah seminggu sejak kasus itu dirinya mendapat perkataan buruk dari teman-temannya.



"Besok pulang dengan supir, saya ada meeting."

Amel mengangguk, "Apakah Johan masih dekat denganmu?"

Ia menatapnya lekat. "Mas, penyebab Johan jadi mengacuhkan saya?"

Dirga tersenyum, bukan karena senang karena Amel tahu. Tapi entah kenapa dia tak bisa menahan senyum jika mendengar Amel memanggilnya dengan sebutan 'Mas' suara halusnya begitu cocok.

"Saya tidak menyuruhnya begitu

Mungkin setelah hampir meninjunya kemarin, dia jadi sadar diri."

Amel membulatkan kedua matanya. "Mas, mukul Johan?"

"Hampir." Dirga mengangkat bahunya acuh berjalan meninggalkan Amel duduk di sofa dengan pikiran yang cemas.

"Mas, tunggu bentar!" ia berlari menyusul, pintu kamar Dirga terbuka lebar. Ragu melangkah masuk, namun ia sangat ingin kembali bertanya.

"Mas?" panggilnya setelah sedikit memasuki ruangan, seperti ada bayangan dibalik lemari. Ia berjalan mendekati.

Clek.

Sontak membalik tubuh dengan bulu tangan meremang, Dirga mengunci pintu kamarnya. "Peraturan kamar saya. Sudah masuk,  tidak bisa keluar lagi."

"Saya hanya mau bertanya, tolong buka lagi pintunya, Mas."

"Tidak, tidak ada alasan."

Pria itu menarik Amel untuk beristirahat, ia sedikit menolak namun tidak membatah ketika sudah berhasil duduk diatas kasur. "Amel mau bertanya, Mas."

"Rebahan dulu, baru bertanya."

Mengiyakan, ia mengikuti Dirga yang merebahkan tubuhnya bersiap tidur. Sang suami menarik selimut untuk mereka berdua, tampak Amel menunggunya hingga siap mendengarkan.

"Apa—"

"Tutup matamu dulu, baru saya akan menjawabnya nanti."

Amel dengan lugunya memejamkan mata, asal dia bisa bertanya tentang Johan lebih banyak lagi. Dengan kedua mata tertutup, ia kembali bersuara.

"Sudah boleh, Mas?"

"Hm, tanyakanlah."

"Apa Mas pernah memukul Johan?"

"Tidak Amel, itu hanya hampir. Tidak usah terlalu mencemaskannya, cemaskan saya yang tidak bisa tidur karena ocehanmu itu."

"Baiklah, Mas."

Dear Pak DIRGAOnde histórias criam vida. Descubra agora