Bab 2

132 7 1
                                        

Siang yang terik itu tidak membuat tiga anak kecil itu kehilangan keceriannya. Mereka berjalan dengan bersenda gurau, bermain dengan gembira. Jalan setapak yang mereka lewati membawa tubuh mungil mereka memasuki perkampungan yang siang itu terasa sepi. Kegembiraan mereka langsung pudar berganti ketakutan saat mendengar suara gaduh dari sebuah rumah sederhana yang berpekarangan luas. Dua anak yang ketakutan langsung berlari sambil mengamati temannya yang hanya diam di depan pekarangan rumahnya yang tanpa pagar.

Gadis kecil itu, Bintang Anyalani hanya mampu berdiri ketakutan saat mendengar percekcokan dari dalam rumahnya.

"Krompyang!!!"

"Braaaakkk!!!"

"Pyaaaarr!!"

Bintang dengan kaki gemetar dan berusaha sekuat tenaga menenangkan diri dan menahan air mata mencoba mendekat. Langkah kaki mungilnya terasa berat, ada rasa malu kepada dua teman yang tadi berjalan bersamanya. Malu karena mereka mendengar percekcokan kedua orang tuanya. Suara jeritan dan teriakan kedua orang tuanya samar-samar ia dengar karena seruan mereka selalu dibarengi oleh kerontangan dan pecahnya barang.

"Aku sudah tidak sanggup lagi mas!!!" Ia mendengar isakan dibalik suara keras ibunya.

"Aku tidak melakukan apapun seperti yang kamu tuduhkan!!!" Bapaknya menyahuti tak kalah keras.

Bintang yang ketakutan akhirnya jatuh bersimpuh di atas teras di depan pintu saat mendengar suara saling bentak bapak dan ibunya. Ia mencoba tegar menatap ke dalam, tapi air matanya yang jatuh berderai membuatnya harus menunduk dan menangis tersedu. Kejadian yang harus kembali dia alami setelah sebulan lalu dia jatuh sakit beberapa hari karena menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya.

"Hiks..hiks..huuuu..huuu..huuu.."

Gadis kecil itu tidak sanggup mendengar semua perdebatan keras diantara mereka. Gadis kecil itu tidak memahami apa yang terjadi kecuali ketakutan yang saat ini menderanya. Ia takut dengan suara-suara kencang penuh kebencian yang terlontar dari mulut mereka. Ia takut mendengar suara barang-barang yang terbanting sehingga menimbulkan suara keras yang mengagetkannya. Ia takut dengan kejadian yang pernah membuatnya menderita sebulan lalu.

"Pergi dari sini!!!"

"Pergi!!!!"

Suara jeritan ibunya seperti orang kesetanan semakin membuat tubuh Bintang menggigil,

"Huuu..huuu..huuuu."

Gadis itu menangis semakin tersedu. Wajahnya memelas, matanya semakin merah, hidungnya kembang kempis, dadanya bergelombang. Berkali-kali ia mengusap matanya yang tidak berhenti mengeluarkan air mata.

"Bintang."

Gadis itu masih tetap menunduk dan tersedu saat mendengar panggilan yang disertai langkah kaki cepat yang menghampirinya. Tubuhnya terangkat dan dipeluk oleh seorang lelaki tinggi kurus berwajah tampan tapi terlihat lusuh.

"Ssstttt..ssssttt.."

Lelaki itu memeluk Bintang dan berusaha menenangkannya. Ia mengelus rambut dan mengusap punggung gadis cilik yang menangis tersedu.

"Maafkan kami Bintang, jangan menangis, maafkan kami." Kata lelaki yang adalah bapaknya itu dengan terisak saat melihat putri semata wayangnya menangis sesungukan dengan bersimpuh di tanah.

"Huuu..huuuu..huuu..huuuu.."

Tangis Bintang semakin keras, tangannya memeluk erat leher sang bapak seolah meminta perlindungan dari orang yang membuatnya ketakutan. Bapaknya pun memeluk semakin erat dengan mata berkaca-kaca. Lelaki itu bisa menghadapi kesulitan apapun di dunia tanpa air mata, tapi ia tidak sanggup menahan air matanya tumpah saat melihat Bintang sesungukan akibat perbuatannya.

"Bintang, Bapak mau pergi kerja lagi, masuklah sayang." Bisik bapaknya setelah melepas pelukan dan mengusap air mata di kedua pipi putri tercintanya.

"Huuuu..huuuu..huuu..."

Gadis cilik itu kembali menangis tersedu dan memeluk leher bapaknya semakin erat. Ia tidak ingin Bapaknya meninggalkannya saat ini. Ia tidak ingin memasuki rumah itu sendirian. Tapi ia tidak bisa mengatakan apapun kecuali menangis sesungukan.

Sang Bapak sepertinya memahami arti tangisan dan pelukan putri cantiknya itu. Dengan menahan emosi yang masih menggebu di dadanya, ia gendong anaknya dan berjalan memasuki ruang depan yang sudah berantakan. Sambil terisak, Bintang yang terkulai lemah digendongan Bapaknya mencoba membuka mata melihat keadaan rumahnya yang tadi bersuara gaduh.

Televisi tabung yang menjadi hiburannya sudah tergelak di lantai. Meja dan kursi berserakan, vas bunga dan bingkai foto keluarga telah hancur. Sebuah piring pecah dengan makanan yang tinggal sedikit berceceran di lantai. Dari balik punggung bapaknya, ia melihat ibu nya bersimpuh menunduk di atas lantai menangis sesungukan. Bintang berontak dari gendongan bapaknya lalu turun dan melangkah mendekati ibunya.

"Huuuu...huuuu..huuuu..."

Tangis gadis cilik itu kembali meledak saat ibunya mendongak, melihatnya dengan mata yang bercucuran air mata dan memeluknya dengan erat.

"Ssssstttt...ssssssttt..jangan menangis sayang..hiks..hiks..hiks.." Hibur ibunya dengan terisak.

Sang ibu merasa hatinya teriris saat memeluk putri kecilnya menangis ketakutan akibat pertengkaran dengan suaminya, bapaknya Bintang.

Dekapan sang ibu membuat Bintang merasa nyaman. Tangisnya mulai mereda karena bisikan-bisikan memenangkan dari ibunya. Dari pantulan cermin buffet, ia melihat wajah bapaknya yang berubah-ubah, kadang mengeras, kadang memelas.

"Huuu..bapak jangan pergi kerja..huuuu..huuu.."

Bintang akhirnya bersuara dalam tangisnya. Ia tidak ingin ditinggal bapaknya saat ini. Ia ingin bapak ibunya menemaninya setelah pertengkaran hebat diantara keduanya membuat dirinya ketakutan dan syok.

"Iya sayang, bapak tidak akan ke mana-mana."

Bapaknya menyahut lalu mengambil kursi dan menghempaskan tubuhnya duduk di atas kursi. Ia tidak ingin mendekati Bintang yang sedang berpelukan dengan istrinya. Ia hanya duduk berdiam dan memejamkan mata, entah apa yang ada dipikiran lelaki muda itu. Kekerasan hatinya seakan melunak mendengar permintaan putri kecilnya. Ia tidak ingin putrinya sakit lagi akibat pertengkarannya dengan istrinya.

Bintang digendong ibunya masuk ke dalam kamar. Ia sempat melirik bapaknya yang duduk terpaku tanpa bergeming. Ia ingin berontak dari gendongan ibunya untuk memeluk bapaknya, tapi tubuhnya terasa lemah. Dengan tetap terisak ia melihat kesedihan dan kemarahan di mata bapaknya.

Bintang meringkuk memeluk erat ibunya yang mencoba menurunkan dan menidurkannya di kasur.

"Ssssstttt..sudah sayang, jangan menangis lagi..ssssttt.." ujar ibunya sambil menciumi kedua pipi dan keningnya.

Gadis kecil itu tidak akan bisa memahami dan menerima apa yang terjadi diantara kedua orang tuanya. Ia hanya tidak ingin ditinggalkan dan diabaikan oleh kedua orang yang disayanginya.

Apa yang bisa dipikirkan oleh anak berusia sepuluh tahun menghadapi konflik rumah tangga yang menerpa bapak dan ibunya?

Apa yang bisa dilakukan oleh anak berusia sepuluh tahun saat melihat pertengkaran hebat diantara kedua orang tuanya?

Bintang hanya bisa menangis hingga kelelahan dan akhirnya tertidur pulas dalam kesedihan dan ketakutan.

Hilang Dalam TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang