Prolog

340 15 6
                                        

Mendung bergelantung di atas langit yang menutupi nur mentari untuk menerangi sebagian bumi yang menghadapnya. Mendung itu pun menghampiri sebuah rumah yang terlihat asri dari luar. Tapi ke asri an itu ternyata tidak menjalar hingga ke dalam rumah.

"Aku minta cerai!!"

"Aku tidak sudi lagi hidup serumah dengan lelaki bajingan seperti mu!!"

Suara teriakan keras seorang wanita terdengar dari ruang tamu rumah itu.

"Baik!!!"

"Perempuan sundal!!!"

Suara pria itu pun tak kalah lantang.

Seorang gadis kecil bermata lebar dengan bulu mata yang lentik terisak menangis di depan pintu kamar. Anak kecil itu menangis ketakutan mendengar bentakan dan jeritan kedua orang tuanya. Dia seakan terlupakan saat emosi kedua bapak ibu nya sudah mencapai puncaknya. Badannya menggigil karena kekagetannya mendengar pertengkaran hebat yang terjadi di pagi hari itu. Ia tidak atau belum memahami apa yang terjadi diantara bapak ibu nya, ia hanya bisa menangis sesungukan tanpa ada bapak atau ibu nya yang berusaha menenangkannya. Mereka sibuk dengan egoisme dan emosi mereka yang untuk membenarkan dirinya sendiri.

Kedua manusia dewasa itu tidak pernah menyadari atau memahami bahwa apa yang mereka lakukan saat ini akan berdampak besar bagi psikologis gadis kecil itu. Ketakutan yang luar biasa mendengar suara jeritan dan teriakan serta kerontangan barang pecah belah yang terbanting berserakan di lantai menyebabkan trauma yang sangat mendalam.

"Brakk!!!"

"Krompyang!!!"

Suara-suara barang-barang pecah itu menuntun kaki gadis kecil yang gemetaran untuk memberanikan diri mendekat, mengintip di sela-sela korden antara ruang tamu dengan lorong menuju ke kamar dan area belakang rumahnya.

Vas bunga, bingkai foto, ponsel, meja kursi, semuanya pecah berantakan. Gadis kecil itu ingin sekali menjerit untuk memanggil kedua orang tuanya. Tapi ketakutannya yang amat sangat membuat lidahnya kelu, mulutnya hanya bisa menganga tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Wajah kedua orang tuanya seakan berubah menjadi dua wajah bengis yang sama-sama bersiap untuk saling menerkam dan bertarung.

Ia pun akhirnya kembali terduduk meringkuk di sudut lorong itu sambil menutupi telinga karena tidak mau lagi mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulut kedua orang tuanya. Air matanya semakin deras mengalir dari kedua bola mata jelitanya. Akhirnya ia hanya bisa memejamkan mata, menutup telinga dan menangis sesungukan. Trauma itu menggoreskan luka yang begitu dalam di relung hatinya. Luka yang dibawanya entah sampai kapan.

Hilang Dalam TerangWhere stories live. Discover now